•••
present"Kamu nggak mau aku antar sampai ke dalam?" Haechan bertanya. Rena cepat-cepat menggeleng, "Gak perlu, kayaknya agak ngerepotin, mending kamu pulang, udah gelap, besok sekolah, chan," alibinya.
Haechan mengangguk patuh dan segera berjalan kembali ke rumahnya, begitu pula dengan Rena, ia berjalan masuk ke rumahnya. Pertama, ia mengintup melalui jendela, apakah semua Mama san Runa sudah tidur. Lampu gelap total, artinya semua sudah tidur, aman, pikirnya.
Ia sudah berjaga-jaga dengan membawa kunci cadangan, namun ternyata pintu masih belum terkunci. Rena menghembuskan napas lega. Ia mengendap-endap ke dalam rumah, benar-benar sepi, Mamanya dan Runi benar-benar sudah tidur. sampai di kamarnya ia membuka pintu dengan sangat pelan, meminimalisir suara yang mungkin tercipta.
Rena menyalakan lampu kamarnya. click, dan hal yang pertama kali ia lihat adalah kamarnya yang benar-benar kosong. Gadis itu menghembuskan napas leganya, lagi. Ia pikir, mungkin Mama akan ada di sana, menunggunya pulang, kemudian memarahinya, tapi ternyata ia salah, dan ia bersyukur.
Secepat mungkin gadis itu mengganti baju, dan segera membaringkan tubuhnya di atas kasurnya.
besok sekolah,
Gadis itu memejamkan matanya, mencoba mengingat momen yang hari ini ia dapatkan. Kemudian, ia tersenyum, begitu indah, walaupun semu.
Pintu dibuka dari luar, menjeblak dengan keras hinggga menciptakan suara yang menggelegar. Ia menarik kembali selimutnya, kemudian duduk di kasurnya, ini dia.
"Kamu dari mana?" nadanya menusuk, kata-kata itu keluar dengan mulus dari mulut Mama.
"Sudah bosan tinggal disini? Kamu pikir kamu siapa? Pulang pergi seenaknya, tidak izin, tidak salam. Kalau memang berniat keluar dari rumah, keluar! Mama nggak butuh anak kayak kamu."
Sementara gadis itu hanya menunduk, mencoba menahan air mata yang sedikit lagi lolos dari netranya. Tidak, ia tidak mau menangis di depan orang lain. Ibunya sekalipun, ia tak mau dianggqp orang lemah.
Rasanya seperti ada yang lolos dari rongga dadanya, sesuatu yang hilang, semakin tidak terlihat. Gadis itu terbiasa dibenci takdir, ia pun membenci takdir. takdir tak penah berpihak padanya, dan selalu bermain-main. Walaupun manusia itu hidup dalam bumi yang fana, pantaskah untuk dipermainkan takdir?
"Kalau mau keluar, keluar sekarang! jangan cuma nangis!"
"Anak gak tahu diri."
"Kalau bukan karena Mama, kamu gak akan hidup, ingat itu! jangan kurang ajar jadi anak."
Rena masih berdiam ditempatnya. Kepalanya panas, terbakar nafsu untuk membalas semua perkataan Mama, namun ia menahannya. Gadis itu tak ingin membuang tenaganya sia-sia.
Plakk
Gadis itu terdiam.
"Aku juga gak minta dilahirin, asal mama tahu!" teriaknya tiba-tiba. Dia mendongak, menatap Ibunya denga mata yang berapi-api.
"Ngomong apa kamu?" Mama memasang ekspresi super terkejut.
"Aku," gadis itu tertawa. "dari awal gak pernah minta Mama buat lahirin aku,"
Plakk
Lagi. Satu tamparan kembali mendarat di pipinya. Rena kembali tertawa meremehkan.
"Kenapa ma? Kenapa gak dilanjutin mukul aku? Gak papa, aku udah biasa, mau dihajar kayak gimana aku udah biasa, Ma."
Mama diam tak berkutik dan segera keluar. Rena sedikit lega, ia sebenarnya takut, takut akan banyak hal. Belum, waktunya ia diusir, ia belum siap. Besok ia masih harus sekolah. Ia sudah berjanji pada Haechannya untuk bertemu besok. Ia tak mau mengecewakan Haecahnnya, seperti janjinya tadi.
Gadis itu mengambil selimutnya kembali dan menaruh kepalanya. Ia memejamkan matanya.
Biar aku istirahat sebentar
aku lelah atas semua ini
biarkan aku terlelap
biarkan aku lupa akan kepahitan ini
semua hal membuatku takut
tapi yang paling membuatku takut: hidup.
earlier before
"Janji ya besok masuk sekolah? Aku memiliki sesuatu buatmu." Pemuda itu tersenyum begitu lebar. Ia terlihat makin indah dari atas sini. Dari atas, semuanya terlihat begitu kecil. Yang terlihat jelas hanyalah senja dan mentari yang tengah tersenyum di hadapannya.
Gadis itu mengangguk, "Janj! Pasti aku masuk kok," katanya tersenyum begitu lebar. Senja Minggu itu jadi saksi bagaimana hatinya kembali dibuat jatuh untuk pemuda di hadapannya. Sang mentari, entah sampai kapan ia damba, sampai kapan ia memendam, tak tahu.
Dirinya takut. Takut akan banyak hal. Terutama kehilangan pemuda itu.
Saat berjanji, sebenarnya ada jutaan pikiran semrawut di kepalanya. Apakah ia bisa menepati janji? Apakah ia masih hidup hingga esok? Apakah ia bisa menahan kesakitan itu sampai esok? apakah?
Namun, ia pernah berjanji, ia tak ingin mengecewakan siapapun—apalagi mataharinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA || HAECHAN
Fanfic𝐝𝐢𝐤𝐚𝐥𝐚 𝐤𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐢𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠, 𝐚𝐤𝐮 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐦𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐫𝐢𝐧𝐭𝐢𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐭𝐮𝐡 𝐤𝐞 𝐛𝐮𝐦𝐢. sebuah kisah pendek tentang gadis pengagum matahari. amigdala 01, com...