#13

531 55 0
                                    

Jawaban

—Future—

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia masih terpekur dalam dunianya. Bermain handphone, entah apa yang dikerjakannya. Tak ada sepatah kata atau balasan dari berbagai cuapan yang kulontarkan untuk mengisi kosong. Tak biasanya.

Ini sudah terlalu malam untuk seorang gadis berada di kamar laki-laki, kendati aku adalah kekasihnya. Masa bodoh jika dia akan menginap dan atau meminta diantar pulang, aku hanya berharap bisa keluar dari jerat senyap ini.

Dia membisu, dia tergagu, dia termangu.. dia... apa dia marah padaku?

Wanita, mengapa sulit sekali menebak isi hati wanita. Astaga, aku bukan cenayang apa lagi paranormal.

"Ne, Hinata—"

"Naruto-kun."

Akhirnya. Suara kecil yang kurindukan itu berayun manja di bibir peachnya. "Ya?"

"Apa kau... tidak memiliki niatan untuk menikahiku?"

"Eh?"

"Lupakan."

~

Satu pertanyaan yang sulit dimengerti menjadi momok dalam pikiran selama satu hari tiga belas jam dua puluh menit dua detik. Rasanya Naruto mulai gila.

Seingatnya, kekasihnya itu begitu pendiam dan malu-malu. Mendapati ucapan sensitif dari Hinata sontak membuat Naruto bertanya-tanya, sejak kapan Hinata menjadi agresif seperti itu?

Tangannya sedari tadi bergerak di atas laptop namun kepalanya lelarian pada pikiran kalut yang kini serupa labirin.

"Naruto?!"

Ia berjengit mendapat pukulan pada pundaknya. Sakura—sahabat sekaligus rekan kerjanya menunjukan wajah tak mengenakan. Dia mendelik kesal.

"Ada apa denganmu? Aku memanggilmu sedari tadi, tahu."

"Maaf, aku tidak dengar," balasnya dengan wajah kikuk.

"Melamun ketika bekerja. Lebih baik kau pulang saja sana. Lihat, semua data yang kau kerjakan sangat kacau. Apa sih yang sedang kau pikirkan?" wanita musim semi itu menggerutu, menunjuk-nunjuk hasil kerjaan Naruto. Kemudian berkacak pinggang memerhatikan perubahan mimik Naruto.

"Apa ini ada kaitannya dengan Hinata?" senyum menukik tajam ketika melihat pupil Naruto mengecil. "Kalian bukan anak kecil yang masih kasmaran dengan dunia roman picisan. Bukan pula pasangan baru yang masih dimabuk cinta. Ingat, usia kalian sudah dua puluh tujuh tahun. Bukan masanya untuk bertengkar lalu saling mengacaukan hari dengan melamun." Sakura menceramahi panjang lebar.

"Kami tidak bertengkar," ujar Naruto lirih.

"Lalu? Apa kau melamun karena merindukannya? Makanya cepat menikah sana, agar bisa melihat Hinata setiap hari."

Serupa tombak yang langsung menancap di hati Naruto, ucapan sakura benar-benar membuatnya telak.

"Ini tidak semudah yang kau katakan, Sakura-chan.." Naruto berseru frustrasi.

"Lalu, apa yang membuat ini sulit? Kalian saling mencintai, dan usia kalian sudah matang. Apa lagi? Bahkan aku dan Sasuke langsung menikah setelah setahun berpacaran. Bagaimana denganmu yang sudah menjalin ikatan selama delapan tahun?"

"Aggrrhh.. aku tidak tahu." Naruto menggeram, dia menyambar tasnya kasar lalu melenggang meninggalkan Sakura.

~

Ini bukan sebuah pikiran sederhana. Bukan pula mencoba meremehkan ikatan sakral tersebut. Bagi Naruto, ucapan itu harusnya tak terlontar begitu saja dari bibir Hinata, dan mengakibatkan Naruto tak memiliki harga diri sebagai laki-laki.

Apa kau tidak memiliki niat untuk menikahiku?

Jauh sebelum itu Naruto memikirkannya. lebih dari siapa pun. Apa yang akan ia ucapkan ketika melamar, cincin apa yang akan mereka pilih, dan pesta seperti apa ketika mereka menikah nanti. Naruto memikirkannya. Dia juga menabung untuk itu.

Setelah pertanyaan singkat dari Hinata yang tak bisa Naruto jawab malam lalu, Hinata pergi meninggalkan bayangan wajah sedih di dalam memori Naruto.

Khayalan yang tiba-tiba terbentuk dari ekpresi itu tiba-tiba menghardiknya sebagai laki-laki pengecut yang tak berani melamar gadis yang dicintainya.

Ini tidak mudah, bagaimana pun Naruto berpikir bahwa ini tidak lagi mudah setelah malam itu. apa yang akan Naruto katakan semuanya menguap. Naruto berpikir keras tentang apa yang akan dilakukan kalau-kalau dia bertemu dengan Hinata saat ini?

Berpikir tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Konyol. Jelas mereka dalam keadaan sadar malam itu. tak ada beer, tak ada alkohol, dan tak ada yang mabuk, apa lagi kesurupan. Pun tak ada yang mengalami benturan di kepala untuk menjadikan alasan agar Naruto bisa bertingkah seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Jika mengatakannya. Jelas itu seperti bukan ucapan dari inisiatif sendiri. Seolah Naruto harus dipancing dengan kata-kata itu untuk melamar Hinata.

Kenapa asmara begitu rumit? Padahal hanya mengatakan, "ayo kita menikah? Tidak. tak sesederhana itu juga.

Langkanya terseret pada jajaran ruko yang entah mengapa semakin membuat drama di hatinya menjadi galau. Di sebuah toko terpajang gaun pengantin putih mengembang lebar. Dan pikiran sinting yang tak pernah jernih itu seketika membayangkan Hinata mengenakan gaun tersebut. Tampak cantik dengan make up minimalis dan sebucket bunga mawar putih. Lalu.. lalu.. Naruto menggeleng keras, melempar jauh-jauh sepotong adegan romance yang tengah mempermainkan kegundahannya.

Tentang apa yang dikatakan Hinata. apa tidak bisa menunggu setahun dua tahun lagi?

Pikiran itu memukulnya telak setelah netranya menangkap sosok wanita berambut indigo tengah berdiri di ujung jalan. Mereka saling bersitatap, dan sudah terlambat untuk mengelak apa lagi kabur dari sini.

Naruto menyusun berjuta kata yang berjubal mengantre untuk dipilih mana yang lebih baik diucapkan atau tidak. kata apa yang pantas untuk menyapa gadisnya.

"Y-yo.." sial!

"Sedang istirahat makan siang?" Hinata bertanya begitu santai seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Dia berdiri di samping Naruto dan kini visualnya melihat sesuatu yang sedari tadi dipandang Naruto. Gaun pengantin.

Sial!

Sudah terlambat untuk mencoba tak terjadi apa-apa. Naruto tak bisa kabur dari topik pembicaraan serius ini. usianya sudah dua puluh tujuh tahun. Dua puluh... tunggu. Naruto menatap lekat kekasih yang sebaya dengannya.

Sial!

Naruto mengerti mengapa Hinata nekat menanyakan prihal pernikahan dengannya. Pasti begitu berat untuk mengungkapkan pertanyaan itu. Pasti hatinya hancur ketika tak mendapati jawaban yang memuaskan dari si pria. Pasti hatinya berpacu kala mata mereka bertemu.. pasti... Hinata memiliki beban dalam hidupnya. Di usia dua puluh tujuh tahunnya. Hanya dia wanita yang belum menikah diantara teman-teman sebayanya.

Lalu Naruto? teman laki-laki sebayanya masih banyak yang melajang, dan berpikir tak apa menunda setahun atau dua tahun lagi.

Ini bukan sebuah kopetisi, tapi tak beralasan pula untuk menunda. 'Lantas, apa yang membuat ini menjadi sulit?'

Naruto termangu menatap mata Hinata. Dia menemukan jawaban tentang apa yang harus ia katakan pada Hinata ketika bertemu.

"Kapan Hiashi-san memiliki waktu luang?"

"Huh?"

"Aku akan melamarmu."

—END—

NIJIKAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang