My Happiness

552 55 1
                                    

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Author: Vinara 28

Genre: Family

.

.

Duduk termenung menatap mahakarya yang terpahat membentuk wajah-wajah. Lekukan urutan terakhir membuatnya mengulum senyum, mengingat saat masih kecil ia sesumbar bahwa dia adalah calon hokage.

Meski dipandang sebelah mata dan berakhir dengan cacian, tak lantas membuat niatnya surut untuk menggapai mimpi.

Dia yang selalu sendiri. Berdiri di antara punggung yang menjauh. Bisikan yang terus melukainya membuat keputusan untuk diakui, dipandang sepenuhnya, dengan senyum yang mengembang meneriakkan namanya sebagai sang pahlawan.

Dia tersenyum mengingat semua masa yang telah dilewati. Terdiam seperti ini bukan sebuah rutinitas biasa. Tiap hari dirinya selalu dikejar berkas-berkas dan lain halnya. Bekerja begitu keras karena ini adalah titik yang diingin-inginkan. Semua ini tak lepas dari kerjakeras sang sahabat yang menyandang sebagai penasehat hokage. Juga para shinobi lain yang membantunya, hingga kini ia bisa duduk lebih santai, meregangkan otot-ototnya.

Naruto, memandang Shikamaru yang tengah membaca koran, duduk di ujung ruangan, wajahnya tampak serius namun dialihkan menatap Naruto karena terganggu dengan tatapan Naruto.

"Ada apa?" tanya Shikamaru datar.

Naruto tak menjawab, ia terus memandangi sang sahabat, lebih tepatnya menatap wajah Shikamaru dengan tatapan memohon.

Shikamaru memutar bola mata bosan, kemudian melipat koran menyimpannya lalu fokus pada Naruto, "Hah... baiklah." Shikamaru menyerah, ia membiarkan Naruto pergi. Untuk hari ini saja.

Tersenyum sangat lebar kemudian melompat dari jendela dan berteriak, "Terima kasih, Shikamaru." Naruto berlari begitu kencang melompati bangunan-bangunan gedung modern. Berbeda ketika saat dia masih kecil. Desa ini berkembang begitu pesat setelah perang dunia shinobi ke-empat usai.

Napas Naruto tersenggal. Berdiri di depan bangunan yang lumayan besar. Tempatnya pulang, dimana ada istri dan anak-anak yang menyambutnya. Kehangatan yang selalu ada ketika memasuki rumah.

Tak seperti dulu saat berada di apartment kecil yang ia tinggali sejak bayi. Tempat itu dingin, bahkan enggan untuk memasukinya. Rumah adalah mitos bagi Naruto. Tak ada yang menyambutnya, untuk apa pulang. Toh dia tetap sendiri, meringkuk di atas kasur dengan spray yang menjamur dan kumal karena berbulan-bulan tak pernah dicuci.

Namun berbeda dengan saat ini. Setelah menemukan sosok yang paling berharga baginya, meski dia tahu, dirinya tak peka untuk menyadari perasaan sang gadis. Namun ia berjanji akan memberi kebahagiaan pada Hinata, sampai maut memisahkan. Apalagi sekarang ada dua malaikat kecil yang berisik dan sedikit bandel.

Naruto melangkah membuka pintu, diam-diam ia mengintip berniat memberi kejutan karena hari ini ia pulang lebih cepat dari biasanya. Sudah terbayang dalam benaknya wajah-wajah terkejut dan bahagia yang menyambut lalu berlari memeluknya.

Tapi ...

Rumah ini sepi. Naruto menelan harapannya itu, ia berjalan memasuki rumah dengan pandangan sendu. Di mana anak-anak dan istrinya? Dia sangat rindu. Ingin sekali memeluk mereka dan menghabiskan waktu lebih banyak. Belakangan ini pekerjaan selalu menyita waktunya. Setidaknya hari ini dia ingin bersama mereka.

Satu per satu ruangan ia masuki, mencari-cari sang buah hati, namun tetap saja tak ada.

Ah, Naruto lupa. Ini masih siang, pastinya mereka sedang pergi. Boruto yang sedang di akademi dan Hinata yang biasanya mengunjungi manshion Hyuuga lalu Himawari mungkin ikut dengan Hinata atau pergi bermain dengan teman-teman sebayanya.

Naruto berdiri sendiri di ruang tengah. Dia merasa sepi. Ah, oke jika dulu dia selalu sendiri. Namun ini kali pertama dia merasa sendiri di rumah ini.

Biasanya ada Hinata yang tersenyum manis menyambutnya, 'Okaeri Naruto-kun.' Melepaskan jubah hokage lalu dengan nakal Naruto akan memeluknya dan mencium pipinya, dan jika tak ada anak-anak Naruto lebih berani lagi mencium bibir sang istri.

Sayangnya selalu ada langkah kecil yang turut serta menyambut kepulangannya. Senyum polos yang mengembang tak mungkin dinodai dengan adegan dewasa antara ayah dan ibu. Naruto akan membungkuk memeluk Himawari lalu menggendongnya.

Setelah itu muncul si sulung dengan raut yang ditekuk dan mulai mengumpat tak jelas. Namun setelah Naruto mendekat dan mengusap rambut Boruto, anak itu akan tersenyum dan memeluk sang ayah.

Tanpa terasa Naruto tersenyum. Rutinitas biasa tak disangka akan ia rindukan. Naruto memandang kursi panjang yang biasa Hinata duduki ketika tengah merajut lalu beralih menatap boneka katak. Tak banyak yang Boruto lakukan selain bermain game, kadang membuat Naruto kesal karena Boruto seperti mempunyai dunia sendiri. Mungkin itu efek karena Naruto semakin jarang bermain dengannya.

Irisnya beralih menatap dinding dengan garis-garis warna merah yang selalu bertambah tiap tahunya. Ia mendekat lalu menyentuh dinding itu. Tempat biasa yang digunakan untuk mengukur tinggi badan Boruto dan Himawari. Tangan yang diperban itu merambat menyentuh garis paling atas.

Teringat ketika pertamakali ia meminta Boruto dan Himawari untuk berdiri dan mengukur tinggi mereka. Dulu kedua buah hatinya tampak sangat imut dan menggemaskan. Bukan berarti sekarang mereka tak imut lagi, hanya saja sekarang mereka mempunyai karakter yang akan terus berkembang seiringnya waktu.

"Tak terasa, mereka sudah sebesar ini." Naruto tertegun, melihat tinggi Boruto yang sudah melewati tingginya ketika baru pertamakali memasuki akademi.

Setitik airmata menetes dari sudut mata. Naruto bahagia dengan kehidupannya saat ini. Ya sangat bahagia meski selalu disibukkan dengan pekerjaan. Setidaknya keluarga kecilnya selalu menyambutnya, ditambah seluruh warga desa yang sudah mengakuinya.

"Kita harus cepat-cepat, harus selesai sebelum Tou-san pulang."

Naruto tersentak mendengar langkah-langkah yang berlari dari depan. Ia melongok mendapati Hinata, Boruto dan Himawari yang datang menenteng belanjaan.

Seketika Hinata, Boruto dan Himawari terpatung ketika melihat Naruto sudah berada di dalam rumah dan tengah menatap dengan tatapan kaget.

"Tou-san kenapa sudah pulang?!" Boruto berteriak shock lalu menunjuk-nunjuk Naruto.

Bertanya-tanya dengan rekasi mereka yang tak biasa, Naruto mendekat dengan menggaruk pelipisnya, "Memangnya kenapa? Apa aku tidak boleh pulang?"

"Bu-bukan begitu, hari ini kita akan memberi kejutan pada Tou-san, tapi kenapa Tou-san sudah pulang? Kuenya saja belum dibuat." Himawari mendekap tangan di depan dada, wajahnya sangat kecewa. Padahal dia sangat antusias mempersiapkan semua ini.

Hinata tersenyum melihat anak-anaknya, kemudian menghampiri Naruto, menyambutnya, "Okaeri Naruto-kun, kenapa hari ini pulang cepat?"

Naruto semakin kesal kenapa Hinata juga bertanya tentang dirinya yang pulang lebih awal. Memangnya dia tidak boleh pulang cepat, apa? "Hinata, kau juga?"

"Hari ini kita akan mempersiapkan kejutan ulangtahun untuk Tou-san, bukan kejutan lagi namanya jika Tou-san ada di sini." Boruto masih kesal. Ia meletakkan dengan kasar kantong belanja yang berisi bahan-bahan untuk membuat kue.

Naruto terdiam. 'Kejutan ulangtahun? Tanggal berapa ini?' beralih menatap kalender yang menunjukan tanggal 10 oktober. Naruto lupa. Ia tersenyum kikuk, sedikit menyesal karena merusak antusias anak-anaknya.

"Sekarang Tou-san harus pergi!" Himawari mendorong Naruto, namun pria yang menyandang gelar nanadaime itu memberontak dengan berpegangan pada Hinata—lebih tepatnya memeluk Hinata.

"Tidak mau!"

"Tou-san harus pergi dan kembali malam nanti!" kali ini Boruto turut andil mengusir sang ayah.

Diusir di rumahnya sendiri, seharusnya Naruto merasa sedih, tapi tentu saja tidak! Naruto sangat bahagia karena seluruh keluarganya mengingat hari ulangtahunnya, meski dirinya sendiri lupa.

Naruto duduk termenung di teras, karena Boruto dan Himawari tak mengijinkannya untuk masuk. Kata mereka, 'Ini hukuman karena Tou-san pulang lebih awal.'

—END—

NIJIKAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang