Vier

1.4K 160 7
                                    

—Malam Pertama

—Canon

—Ficlet

Untaian dua janji suci mengiring langkah awal dua insan menjadi satu. Menyesap cairan pada cangkir yang ditujukan untuk para dewa. Menghaharap pada takdir yang mengikat untuk terus merekat.

Acara pernikahan dan pesta telah usai, menyisa deru detak yang menyimpulkan tanya. Kata ambigu yang tersumpal pada tenggorokan menyekat otak untuk berpikir jernih. Selalu terdapat seluet erotis mengisi detik yang kritis.

Naruto menegang, memapar senyum wajar, menatap Hinata mengenakan kimono tidur, lalu tertuju pada rambut lembab menempel pada wajah dan leher, semakin terlihat jelas bahwa rasa ambigu yang Naruto usir sedari tadi adalah perasaan ingin memiliki, menyentuh, merengkuh dan mencumbu.

Kedua wajah mereka terpapar semburat merah malu ketika saling bersitatap. Memaling lalu mengatur napas.

Pada ruangan yang tak terlalu kecil ini. dua manusia terjebak waktu yang berjalan begitu lambat, memainkan hati perasaan dan pikiran yang terus memutar pada pikiran-pikiran tentang sebuah hasrat.

Hinata melangkah kaku, menuju sang lelaki yang tampak semakin menegang ketika jarak keduanya menipis. Padahal Hinata hanya ingin duduk di sampingnya. Tak seperti bayangan liar bahwa dia akan duduk di pangkuan lalu mulai mengecup bibir yang menganga itu kemudian bergumul menghabiskan malam panjang yang tak akan dilupakan. Tidak. lupakan pikiran ini. Dirinya terlalu malu untuk menatap sang lelaki jika dijejali hal demikian.

"Kau sudah mandi?"

"Uhm."

"Apa kau lelah."

"Uhm."

"Kalau begitu tidurlah."

"Uhm."

Sialnya tiap pertanyaan yang Naruto lemparkan, tak mampu ia jawab dengan benar. Kata-kata yang ia susun sedemikian rupa agar malam pertamanya memiliki percakapan panjang dan menarik, telah luluh-lantah ditelan gugup. Hinata merasa menjadi wanita membosan saat ini.

"Tidak tidur?" Naruto bertanya sekali lagi lantaran Hinata termangu, tengelam dalam dunia pikir yang menggerogoti rasa percaya diri.

Hinata mengangguk. Dia mengambil posisi, membaringkan diri di sana. Disusul dengan Naruto yang turut berbaring. Detak jantung yang sudah bergenderang semakin menggebu, memompa darah untuk naik ke wajah hingga semburat itu merata menjadi merah padam. Hinata menarik selimutnya sampai pada wajah. Menutupi perasaan panas yang berkumpul di sekitar pipinya.

"Ne..." Suara Naruto lirih, "aku tidak bisa tidur," lanjutnya masih menggantung, "Apa kau benar ingin tidur, Hinata?" Naruto menoleh, menatap mata Hinata yang menyembul dari selimut. Wanitanya menggeleng.

"Mau mengobrol?"

Hinata mengiyakan dengan menganggukkan kepala, sontak seulas senyum mengembang pada wajah Naruto. Lelaki itu mengerti bahwa wanitanya tengah malu, gugup, atau tegang.

Lelaki itu menarik tangan Hinata, membawa wanitanya untuk menyandarkan kepala pada lengannya. Merengkuh hangat gadis yang diam berwajah merah merata, kedua tangan Hinata pun terasa kaku, jelas sekali bahwa Hinata tengah gugup.

"Humm.. aku tidak punya tema untuk bahan obrolan. Menurutmu apa yang mengasyikan?"

Hinata tak langsung menjawab, dia memeluk tubuh Naruto, menenggelamkan wajahnya pada dada Naruto lalu menghirup dalam-dalam aroma lelakinya. "Aku tidak yakin."

"Apa?"

"Masa depan? Membayangkan masa depan yang akan kita jalani bersama. Apa itu cukup mengasyikkan sebagai tema obrolan?" ujar Hinata masih menutup wajahnya malu.

"Benar juga.." Naruto berpikir, "Bagaimana jika kita mulai dengan.. humm.. Hinata, kau ingin memiliki anak berapa?"

Sial, itu pertanyaan sensitif bagi pengantin baru yang belum melewati malam panasnya. Dan itu begitu sulit untuk dijawab. Namun Hinata memberanikan diri untuk bersuara, "Berapa pun yang Naruto-kun inginkan."

"Kalau aku.." Naruto menyunggingkan senyum jail, dia mulai menampakkan taringnya, "Karena aku anak tunggal, jadi aku ingin memiliki anak yang banyak."

"Ba-banyak?" Hinata mendongak, menatap seringai suaminya.

"Uhm, kau suka anak-anak, kan, Hinata?"

"Y-ya.."

"Membayangkan gemuruh langkah kaki ketika mereka menyambutku pulang dari misi. Aku yakin akan mengurangi separuh lelahku.."

Hinata menyetujui, "Aku bisa membayangkan, kebahagiaan yang tak bisa dipungkiri ketika mereka memanggil Papa, Mama, dengan dua mata manja mereka."

"Atau ketika mereka merusak hari dengan kepolosannya. Membuat rumah kotor atau memainkan senjata, aku ingin segera bertindak tegas lalu melihat tangisnya."

"Tidak, Naruto-kun, kau tidak boleh terlalu keras," sela Hinata merengut.

"Tentu saja tidak, mereka akan menjadi buah hatiku yang sangat berharga. Namun seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Sekeras apapun ia, tetaplah mencintai anak-anaknya." Pandangan Naruto melembut, "Seperti halnya Hiashi-san. Dia mendatangiku sebelum acara pernikahan berlangsung, dan mengatakan banyak hal mengenai peran suami dan ayah."

"Apa itu sebab dia tak berkata banyak ketika mendatangiku pagi tadi?" Hinata bergumam.

"Aku yakin dia tak sanggup berkata banyak saat di depanmu. Ketika melihat wajah cantik putrinya yang akan pergi menanggalkan marga Hyuuga, Hinata Uzumaki."

Wajah Hinata memerah ketika Naruto memanggilnya dengan marga baru. "U-uhm, sepertinya begitu."

"Ingat perkataanku mengenai mawar?" Naruto meninggikan posisi tubuhnya, merengkuh tubuh Hinata.

Hinata terpaku.

"Membicarakan banyak hal mengenai anak. Bagaimana jika kita memulainya dengan satu?"

"Sa-satu?"

"Uhm, satu malam panjang.. untuk penyatuan."

Tak menolak satu sentuhan lembut, meluncur ke sekujur tubuh, melumat, mengecup, lalu bergumul, menenggelamkan lengguhan panjang pada malam sayup penuh peluh.

—V—

NIJIKAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang