Fünf

1.3K 155 2
                                    

—Buah Hati

—Canon

—Ficlet

Ini seperti apa yang telah ia impi-impikan. Kadang ia berpikir apakah ia hidup di dunia mimpi? Seperti ketika perang dunia shinobi ke empat beberapa tahun lalu, ketika dirinya terkena jutsu yang membuatnya bermimpi indah. Ada sebuah ketakutan di sana. Dia berpikir memilih untuk bangun dari mimpi panjang ini lalu menerima kenyataan yang berlainan, atau terus terlelap agar tetap bersama orang yang disayang?

Astaga, kembalikan kewarasannya. Hinata terlalu beranggapan bahwa hidupnya ini layaknya sebuah jalan lurus yang dipenuhi bunga di setiap sisi jalan. Begitu indah. Bunga-bunga itu mereka tatkala dia mendapatkan sebuah kabar bahagia.

Keresahannya tentang perubahan tubuhnya membuatnya memutuskan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit konoha. Di sana Hinata bertemu dengan Sakura. Lalu berkonsultasi, dan mendapatkan sebuah kenyataan yang selalu ia bayangkan sebelumnya.

Setiap orang yang menikah pastilah membayangkan bagaiaman reaksinya kala mendengar tentang kehamilan. Hinata tak mampu berkata, dia begitu bahagia sampai meneteskan air mata. Pikiran pertamanya ketika mendengar hal itu adalah bagaimana reaksi Naruto saat mengetahui hal tersebut.

Ini terlalu membahagiakan, sampai Hinata terpekur menatap selembar kertas yang menyatakan bahwa dirinya hamil. berpikir berkali-kali bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata. Ini terlalu nyata untuk dihadapi. Kini Hinata gugup, dia bingung apa yang akan ia ucapkan untuk memberitahukannya pada Naruto.

Sontak ia tersentak ketika pintu rumah mereka terbuka. Sebuah rumah besar yang Naruto beli untuk ditempati mereka berdua. Kadang Hinata merasa sepi, ketika tidak mendapatkan misi dan harus menunggu Naruto pulang, namun rasanya hal itu tak berlaku lagi. Hinata berdiri, menyembunyikan kertas tersebut.

"Okaeri, Naruto-kun." Sambut Hinata, "Mau aku siapkan air hangat untuk mandi?"

Naruto menyetujuinya, "Aku lelah, aku ingin membersihkan badan lalu beristirahat."

Hinata bergerak cekatan ketika melayani permintaan suaminya. Dari menyiapkan air hangat sampai menyiapkan pakaian untuk ganti. Begitu pun ketika Naruto keluar dari kamar mandi, Hinata menyambut Naruto dengan handuk kecil untuk mengusap rambut blonde suaminya yang selalu tak pernah becus mengeringkannya.

"Bagaimana misinya?"

"Tidak begitu berjalan lancar. Tapi bukan Naruto Uzumaki namanya jika aku tidak bisa menyelesaikan misi ini."

"Apa Naruto-kun bertemu dengan lawan yang kuat?"

Naruto menurunkan tangan Hinata yang tengah mengusap rambutnya. "Hum, sepertinya memang cukup kuat."

Sontak Hinata melirik beberapa lebam pada tubuh sang suami, dia merasa terenyuh, matanya berkaca, dan langsung menatap Naruto sebal.

"Ada apa?"

"Naruto-kun tidak apa-apa, kan?"

"Hey, apa-apaan ini? Bukankah aku sudah terbiasa pulang dalam keadaan babak-belur begini. Begitu pun denganmu. Kita seorang ninja, jadi luka seperti ini tidak berarti banyak."

"Aku hanya khawatir.."

"Aku tahu," potong Naruto mengecup lembut bibir sang istri, berharap bisa meredakan kemarahan Hinata.

"Tidak, Naruto-kun harus berjanji akan pulang dengan keadaan baik-baik saja."

"Ya..." Naruto menuruti.

"Jangan terbunuh," lanjut Hinata lirih.

Naruto tertawa, "Apa kau takut kehilanganku?"

Hinata mengangguk, dia menunduk dalam-dalam. "Karena sekarang, bukan hanya aku yang menunggumu," ujarnya penuh penekanan.

Naruto tak mengerti, ia menaikkan sebelah alisnya lalu meraih dagu Hinata, membawa mata sang istri untuk menatapnya. "Apa yang kau katakan?"

Rona merah menjalar pada wajah Uzumaki Hyuuga, dia meraih tangan Naruto, menuntunnya untuk menyentuh perut datar miliknya. Sontak mata Naruto melebar, wajahnya memanas, bibirnya membeku.

"A-a-apa..."

"Uhm." Hinata mengangguk. "usianya baru tiga minggu."

"Be-benarkah? Bagaimana ini? apa yang harus aku lakukan? Hinata, aku bingung." Naruto tak dapat mengatur bicaranya.

Hal tersebut membuat Hinata bertanya-tanya, "Apa yang membuat Naruto-kun bingung?"

"Aku bingung, Hinata. aku bahagia, tapi aku merasa ingin menangis. Bagaimana ini?" lelaki itu menutup wajahnya, menolak untuk ditatap oleh sang istri.

Wanita itu mengerti perasaan apa yang tengah bergejolak di dada lelakinya. Begitu pun dengannya, saat pertama mendengar kabar itu Hinata menangis dibuatnya. Wanita itu meraih tangan Naruto, mengecup bibir sang suami.

"Aku juga begitu," bisiknya menitikan air mata.

Lelaki itu tak kuasa untuk menahan diri. Mereka berpelukan, membagi kebahagiaan yang berpusat pada sang buah hati. Seperti sebuah keajaiban dan semua terasa begitu indah.

Benarkah ini mimpi?

—V—

NIJIKAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang