Elf

701 102 1
                                    

—Bunga Matahari

—Canon

—Ficlet

Ini adalah kencan. Berulangkali lelaki berambut blonde itu berucap, mengiring langkah sang istri yang berjalan penuh hati-hati. Berlainan dengan Hinata yang hanya menanggapinya dengan seulas senyum.

Tak banyak hari senggang yang Naruto dapat. Harinya selalu dipenuhi oleh misi dan pelajaran-pelajaran lainnya untuk masa ketika Kakashi rihat. Dirinya harus mempersiapkan semua itu. Dengan menggendong sang buah hati yang baru menginjak usia satu tahun, Naruto mengajak keluarga kecilnya jalan-jalan di taman.

Suasana musim semi selalu terlihat lebih berwana, kendati hari mekarnya bunga sakura sudah berlalu satu minggu. Tak melunturkan warna cerah dari musim yang disukai semua gadis, tak kecuali sang istri, meski Hinata bukan gadis lagi, melainkan ibu dari anak-anaknya.

"Apa kau masih kuat berjalan, Hinata?"

"Jangan meremehkan ibu-ibu hamil. Mereka memiliki stamina yang luarbiasa, tahu," ujar Hinata sedikit membanggakan diri.

"Ah.. aku lupa.. staminamu saat di ranjang juga luarbiasa—"

"Naruto-kun, ada Boruto. Jaga bicaramu," Hinata memekik kesal. Cepat-cepat dia melirik buah hatinya yang masih memberi tatapan menakjubkan pada kupu-kupu yang hinggap di hidungnya.

Hinata memapar senyum senang. kemudian, bersemu merah. Mereka sudah membuat perjanjian tidak ada kata-kata kasar, kata-kata erotis dan apa pun itu di hadapan Boruto, dan tentunya calon adik Boruto yang masih ada di kandungan. Hinata tidak mau otak anak-anaknya diracuni kata-kata seperti itu.

"Hihi.. maaf." Naruto memindahkan Boruto yang tadi di gendongannya, kini berada di pundaknya. Merentangkan kedua tangan Boruto lalu berlari kencang menentang angin. "Ayo ibu hamil, kejar kami kalau bisa," ledek Naruto.

Hinata tertawa kecil, sambil berusaha berjalan cepat menyusul suaminya.

Mereka beristirahat pada bangku panjang di taman. Boruto yang masih tak begitu mahir berjalan, kini mencoba menangkap kupu-kupu yang entah mengapa suka sekali berterbangan di sekitar bocah kuning tersebut.

Naruto dan Hinata terus mengawasi. Sampai netra Hinata menatap sekumpulan bunga matahari yang ada di hadapannya. Tampak begitu mengagumkan.

"Bunga matahari? Kau menatapinya terus.."

Hinata memalingkan wajahnya, "Menurutmu bagaimana?"

"Apanya?" Naruto tak mengerti.

"Bunga matahari?"

"Hum, yang aku tahu, dia disimbolkan dengan semangat dan keceriaan. Aku tidak begitu tahu banyak tentang arti bunga, kau bisa menanyakan langsung pada Ino."

Hinata menukikkan senyum, "Jadi?"

"Apanya? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Hinata. meski aku mengatakan kita sedang berkencan, bukan berarti kita harus bersikap seperti sedang berpacaran. Katakan saja apa yang kau inginkan?"

"Bunga matahari," ujar Hinata singkat.

Naruto menghela napas panjang, dia berpikir mungkin istrinya tengah ngidam bunga matahari. "Baiklah, aku akan ambilkan."

"Bukan begitu.." Hinata menahan, "Bagaimana jika kita menamai anak kita Himawari?"

Naruto mendadak menjadi orang bodoh. Dia mengerutkan keningnya, mengingat tiap penggal perkataan yang terlontar baru saja. Astaga, jadi ini soal nama? Bukan soal bunga matahari?

"Bagaimana?" tanya Hinata sekali lagi.

"Jangan terburu-buru, masih ada banyak macam-macam bunga di dunia ini. Apa kau yakin menginginkan bunga matahari? Aku bisa memesan bunga mawar pada Ino saat kembali nanti—"

"Naruto-kun!" Hinata memekik.

"Habisnya, kau tidak mengatakan itu nama untuk anak kita." Naruto merajuk.

"Jadi bagaimana?" Hinata memasang wajah tanya, matanya sengaja dibesarkan dan bibirnya menukik menurun, berharap Naruto akan menyetujuinya.

Lelakinya meraba perut Hinata, kemudian membisikkan sesuatu pada sang jabang bayi, "Kau dengar itu? Kata Mama, nama namamu Himawari. Jadi, Himawari.. saat kau lahir nanti, Papa harap kau akan memberikan keceriaan pada siapa pun di sekitarmu."

"Pa.. Pa.." Boruto menjawab sambil meraih-raih tangan Naruto.

"Begitu juga denganmu, Boruto.. Papa harap kau akan menjadi kuat untuk melindungi orang-orang di sekitarmu."

Tak berkesudahan rasanya Hinata bersyukur atas kebahagiaan yang bersumber dari keluarga kecilnya.

"Iya, Papa.. Boluto akan menjadi kuat, Hima juga.." timpal Hinata dengan suara yang dibuat-buat.

"Hahaha.. kau ini, jangan membuatku ingin menciummu di sini."

—V—

NIJIKAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang