#14

490 41 0
                                    

-Imajinasi-

Future

Apa pekerjaan membuat cerita itu bisa membuat orang menjadi gila?

Seringkali Hinata bertanya mengenai imajinasinya yang sulit dikontrol. Terlalu banyak menonton drama dan terlalu banyak berhadapan dengan cerita yang ia buat seringkali kehilangan kontrol akan dunia imajinasi dan dunia nyata.

Hidupnya berwarna entah itu benar adanya atau hanya imajinasinya saja. Bahkan suaminya seringkali menjadi object imajinasi yang tiada habisnya.

Salah siapa memiliki sifat tidak peka? Pikir Hinata menjadi dalih dari setiap omelan Naruto ketika memergoki Hinata melamun sendiri kendati mereka saling berhadapan.

Dan kini imajinasinya meluap-luap bagai kembang api liar yang memenuhi ruang pikirnya. Ini mimpi? Ini mimpi, kan? Iya kan? Astaga?

Seperti gadis yang baru mengenal apa itu cinta dan mendapati lelaki yang dicintainya memiliki perasan yang sama. Kiranya seperti itu gambaran hati Hinata saat ini. Pola pikir sederhana tentang dunia merah jambu membuatnya terhanyut begitu saja.

Semua itu akibat prasangka yang sudah sebulan lalu ia pikirkan, dan pagi ini baru ia coba yakinkan melalui test peck. Terdapat dua garis di sana. Senyumnya sontak melebar, memotret dan berselfie dengan alat pendeteksi kehamilan tersebut. Ingin rasanya dia mempostingnya ke akun sosial media, tapi ia urungkan lantaran Naruto belum mengetahui hal itu.

Kini hatinya bertalu-talu melewati tiap detik kosong menanti sang suami pulang dan tak sabaran mendapati reaksi seperti apa yang akan didapatnya.

Imajinasinya terbang ke sana-kemari merangkai puluhan cerita indah yang diperankan oleh dirinya sendiri dan Naruto.

Gambaran tentang wajah terkejut sang suami, begitu heboh lalu memeluknya erat, dan bergelimang tangis. Kemudian mengecupnya singkat dan berkata, "Terima kasih, Hinata."

Lalu, kembali terbayang ekspresi pasi, terkejut, kelu, kaku tak bersuara, kemudian berteriak gembira dan mengabarkan pada semua orang.

Hinata terkikik jika benar hal itu yang terjadi.

Dia duduk di atas ranjang, kakinya berayun berkali-kali, netranya mengabsen tiap sudut tempat tidurnya, kemudian terkunci pada pintu. Di sana imajinasinya kembali bekerja, melihat Naruto membuka pintu lalu duduk di sampingnya. Hinata berbisik manja menyampaikan berita bahagia dan mereka berpelukan lalu berciuman.

Aaaa... Hinata menutup wajahnya dengan tangan. Kini mukanya sudah memerah. Senyumnya tak sedikit pun memudar barang sejenak saja, terus melebar memaparkan kebahagiaan.

Kini ia berbaring, seolah di atasnya ada Naruto tengah membelai rambutnya mesra kemudian mengecup keningnya. Hinata tersenyum-senyum, "Naruto-kun aku hamil."

Astaga. Hentikan semua kegilaan ini. Hinata berguling-guling. Dia menahan teriakan dengan menutup wajahnya pada bantal. Mencoba mengusir bayangan yang membuat degub jantungnya berpacu.

"Naruto-kun, kapan kau pulang?" Hinata mendesah kesal. Bibirnya mengerucut dengan pipi mengembung.

Kembali diliriknya test peck yang kini tergeletak di nakas. Hinata meraih benda itu. ia tengkurap dengan kaki yang masih berayun-ayun bak remaja yang tengah dimabuk asmara.

"Bagaimana jika aku sembunyi, sampai Naruto-kun menemukan ini di atas kasur? seperti apa wajahnya, ya? Aaaa..." Khayalan Hinata tak terkendali, tentang apa pun yang akan terjadi.

Hinata merubah posisi menjadi duduk. "Ini masih siang.. huh. Kenapa Naruto-kun harus pulang larut? Bagaimana kalau aku sudah tertidur nanti?" bukan kekecewaaan yang didapat, melainkan lengkungan kebahagiaan lantaran ia kembali membayangkan Narutonya membangunkannya dengan mengecup bibirnya, lalu berkata, "Kau tidak menelponku untuk memberitahu kabar bahagia ini?"

Hinata akan berkata, "Aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu." Kemudian adegan-adegan dewasa pun mulai memenuhi otak Hinata yang mulai sulit dikendalikan. Astaga.

Hinata ingin pingsan rasanya.

"Dia akan berkata apa, ya? Dia akan berkata apa? Aaaa.. aku penasaran."

Dia terus saja menerka-nerka apa yang akan Naruto katakan, hingga malam dan dia berjengit mendapati suara pintu yang terbuka. Hinata mengatur napasnya. Detak jantungnya bak genderang, wajahnya begitu merah. Senyum di bibirnya? Jangan ditanya sudah mengembang sejak kapan.

"Tadaima.."

Rasa penasaran yang semakin membuncah menemani langkahnya. "Okaeri."

"Ne, Naruto-kun.. ada sesuatu yang ingin aku sampaikan."

"Huh? Apa itu?"

"Aku...—"

—END—

Sisanya lanjutin dalam imajinasi kalian sendiri ya..

NIJIKAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang