#16

459 38 0
                                    

Love in Peron

Orang bilang, saat tengah menunggu, terkadang banyak angan-angan menyusup dalam pikiran. Mengenai masa-masa telah lalu, mengenai pertanyaan yang tak terjawab, dan perandaian yang mungkin tak logis.

Bahkan tentang cinta.

Berdiri di peron kereta, menunggu kereta yang akan kunaiki. Tiap hari selalu dalam pemandangan sama. Orang lalu-lalang, jendela berjalan yang menampilkan wajah-wajah asing, terkadang rel kosong penuh kerikil menjadi fokus pandangku.

Tak jarang tatapan kosong menarikku pada dunia hayal, membawaku untuk menjadi peran utama dalam karangan otak. Lalu, aku mulai bertanya; bagimana hidupku dalam dunia nyata? Apakah aku peran utama dalam ceritaku? Semua monoton, rutinitas yang kujalani hampir semuanya sama, bahkan aku ragu, apa aku memiliki sebuah cerita?

Tanpa terasa aku tersenyum sendiri. Suara langkah kaki yang keluar dari kereta saat berhenti di stasiun memaksaku untuk membuayarkan lamunan. Arah irisku lurus ke depan, menanti pintu kosong. Sayangnya tatap mata cerah mentari membuatku terkagum.

Seseorang berada di depanku, gayanya sedikit urakan, rambutnya terlihat acak-acakan, sebelah tangannya membawa tas gitar, meskipun begitu dia tidak terlihat seperti orang jahat, hanya kurang terurus. Ya, itu hal pertama yang kutangkap saat melihatnya.

Dia tersenyum lebar cukup ramah kemudian melangkahkan kaki melewatiku.

Laki-laki itu membuatku tertegun pada pandangan pertama ...

Hari-hari berikutnya, masih dalam rutinitas biasa, namun terselip harap untuk bisa menatap matanya lagi.

Entah sejak kapan, peron kereta menjadi tempat spesial bagiku. Di sini otak dan hatiku bekerja, menyusun rangkaian cinta fantasy dan juga menanti pria yang bersemayam di hati.

"Ini bukan cinta."

Aku mulai terkekeh. Khayalan liar dalam otakku membuatku terlalu cepat menyimpulkan sesuatu.

Sebut saja aku gadis yang tak pernah mencinta, hanya belajar melalui cerita cinta, dan mulai berani menulis kisah cinta, tanpa tahu apa itu cinta. Bukankah aku terlihat munafik?

Aku hanya berharap bahwa cintaku tak mungkin berlabuh secepat ini ... tapi, lagi dan lagi tatapan mata dan senyumannya menggetarkan hatiku. Kami memang tidak pernah berbicara, setiap hari kami bertemu di tempat ini, hanya saling memandang dan melempar senyum, kemudian berlalu.

Kisah ini terlalu munafik, pun dengan perasaan ini.

Tak pernah kusangka, hari ini berbeda. Tidak seperti hari-hari lainnya ketika ia keluar dari kereta dan pergi meninggalkanku, dia berdiri di sana dan terus memandangiku.

"Tidak masuk?"

Suaranya lembut, tidak seperti laki-laki dewasa pada umumnya, meski lembut masih terdengar maskuilin. Hatiku sedikit bergetar saat kali pertama mendengar suara laki-laki itu. Aku mengangguk, kemudian mulai menghampirinya, lalu duduk pada bangku dekat pintu masuk.

Kami tak saling bicara. Berada sangat dekat dengannya membuatku membisu, dan terlihat memalukan jika aku memulai pembicaraan terlebih dahulu, meski hatiku ingin sekali mendengar suaranya lagi.

"Kau mau ke mana?" dia bertanya sambil berjalan lalu mengenyakkan diri di sampingku.

"Kuliah," jawabku sekenanya.

Mati-matian aku menahan debaran di jantung, takut jika suara detakannya bisa didengar seluruh orang dalam kereta. Memang terdengar konyol, namun aku benar-benar gugup.

"Oh, pantas saja hampir tiap hari aku melihatmu di stasuin itu." Dia bergumam. Menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi, tas gitar yang dibawanya, ia letakkan tepat di sampingku, sebagai sekat antara aku dan dia.

Aku memandangi tas itu, lalu bertanya dalam hati, apa pekerjaannya? kenapa setiap hari dia membawa gitar?

"Aku musisi jalanan."

Tanpa ditanya dia menjawab, mungkin ia bisa mengerti arti tatapanku itu. Aku mengangguk lalu mulai menunduk.

"Tapi bukan pengamen," lanjutnya sambil diselingi tawa.

Irisku melebar, edaranku kembali padanya. Kulihat wajah sampingnya yang tampak berseri. Matanya terlihat bulat, garis wajahnya begitu tegas, bibirnya saat tengah tertawa terlihat manis, bahkan matanya sampai membentuk bulan sabit, suaranya diam-diam mencuri perhatianku, apa lagi penampilannya saat ini terlihat lebih rapi dari biasanya, dia tampak menawan. Eh?

"Pantas saja suaramu terdengar indah."

"Benarkah? Padahal aku belum bernyanyi." Dia tampak menggaruk-garuk dagunya, "Ah, bagaimana kalau kau melihat kami manggung di festival besok?" ia menyerahkan sebuah selembaran.

Aku terperangah, "Boleh, kah?"

"Tentu saja." Dia berdiri sedikit meregangkan tubuhnya. "Aku turun di sini," sambungnya sembari menunggu kereta berhenti.

"Tunggu ..." aku menahannya sesaat setelah kereta berhenti. "Siapa namamu?"

"Naruto," jawabnya sambil melambaikan tangan, "aku akan menunggumu di peron stasiun biasanya. Besok kita berangkat bersama, Hinata."

Naruto sedikit berteriak mengimbangi suara riuh penumpang, kemudian dia mulai menghilang bersamaan pintu kereta yang kembali tertutup.

Tanpa sadar aku tersenyum. Tak bisa dipungkiri, berbicara dan mengetahui namanya membuatku bahagia. Apa lagi besok aku memiliki alasan untuk bisa bertemu dan berbicara lagi dengannya.

"Besok kita berangkat bersama, Hinata. Itu katanya." Aku mengulang lagi kalimatnya, meyakinkanku bahwa ini bukan mimpi pun bukan khayalan. Ini nyata, dan dia mengajakku untuk pergi ke tempat festival bersama.

Hinata? Dalam kebahagianku yang membeludak, ada satu pertanyaan yang terselip di dalamnya. Aku terkesiap, kembali mengingat perkataannya.

"Dia bilang, Hinata?" lagi, kuulang memori saat dia mengatakan kalimat itu.

"Darimana dia tahu namaku?"

Mungkinkah ini kebetulan? Mungkinkah waktuku mulai berjalan?

—END—

NIJIKAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang