16. DUNIA BARU

1.1K 52 0
                                    

Hari ini aku dan papah dari anak – anak sedang mendekorasi ulang kamar anak – anak. Tepat dua hari yang lalu, Aqsha dan Alesha genap berumur enam tahun. Kamar yang tadinya di tempati Abi, kini menjadi kamar Aqsha dan Alesha. Alhamdulillah mereka tumbuh dan berkembang dengan baik. Karena dari bayi merka selalu ikut kami mengajar di pondok, maka mereka sudah terbiasa dengan ayat – ayat AL- Qur’an. Maka diumur lima tahun, mereka sudah selesai Iqra jilid enam.
Hari ini mereka ada test bacaan dengan Omar dan Yori. Oh iya, Yori juga sudah mempunyai seorang puteri cantik bernama Hana. Hana baru berusia dua Tahun. Aqsha dan Alesha sangat senang memiliki anggota baru.
Sementara Teteh, hampir seminggu sekalli datang setiap hari sabtu menginap disini. Teteh pernah bilang, ingin datang berkunjung setiap hari. Tapi Zakiya selalu menangis jika harus pulang meninggalkan Aqsha dan Esha. Maka hari yang paling aman adalah hari sabtu agar Zakiya bisa bermain sepuasnya dengan sepupunya ini.
"udah beres sayang? " tanya Iqbaal yang telah selesai mendekorasi kamar Aqsha. Sedangkan aku sedang membuat gorden cantik untuk jendela kamar mereka.
"sedikit lagi..."
Iqbaal menghampiriku untuk membantuku mengerjakan dekorasi nya.
"kenapa kita harus pisah tidur nya mah? " tanya Aqsha
"iya....aku  gak bisa tidur sendiri" timpal Alesha
"kalian ‘kan sudah besar...nanti mamah temenin sampai kalian tidur"
"hemmmh" keluhnya.

_o0o_
Malam harinya dengan kegiatan baru kami, yaitu menidurkan anak – anak di kamarnya. Selesai itu, kami masuk kedalam kamar dan tidur sambil berpelukan.
"huuuhh... udah lama banget gak tidur kayak gini" ucap Iqbaal
Aku tertawa mengingat kami sudah tak pernah tidur dalam posiisi seperti ini semenjak lahir anak – anak.
"haha lebay...."
"iya....dulu ada spasinya, anak – anak hahaha"
"hahahaha... untung mereka mau ya di paksa tidur terpisah”
“ ya harus mau, ‘kan udah waktunnya. Masa mau sampai akhir baligh tidur sama kita”
“ hahaha bisa aja kamu”

Keesokan harinya, saat adzan subuh berkumandang, kami bangun dan seperti biasa kami shalat di mushola pondok bersama anak-anak. Semenjak Abi gak ada, Iqbaal-lah yang menjadi imam besar di pondok ini. Kadang aku suka memberi candaan kepadanya agar mau memanjangkan jenggotnya supaya bisa seperti Abi. Tapi dia tidak mau, dia ingin memimpin pondok ini senatural mungkin. Tidak mau dibuat – buat sehingga membuat perasaan tidak nyaman untuknya.
Setelah shalat, Iqbaal mengetes bacaan anak – anak. Suara anak kecil begitu merdu terdengar walau bacaan tajwidnya belum sempurna.
"pinter-pinter anak mamah..." pujiku sambil memberikan dua gelas  susu kepada mereka
"jadi , kapan kita beli Al -Qur'an baru? Ini kan Al- Qur’an pondok, ada cap pondoknya, tuh liat !  " ucap Aqsha sambil menunjukan cap yang mereka aksud.
Aku bertatapan dengan Iqbaal dan tertawa karena kepolosan mereka.
"ya udah..kalian ikut papah, kita belajar tajwid" ucap Iqbaal
" kok tajwid sih? Kita kan mau Al- Qur’an baru" keluh Esha
“ benerin dulu tajwidnya, kalau udah bener papah beliin Al- Qur’an yang gede”
“ kalau kita gak bisa – bisa tajwidnya gimana? “
“ ya, pake Al- Qur’an di Mushola ... sampai kalian bisa “
Aku dan Iqbaal mengernyitkan dahi kala mereka berbisik – bisik entah membicarakan apa.
“ okei Pah, kita pasti bisa” ucap mereka setelah adegan berbisik tadi
“ harus dong, anak papah”
Mereka saling tosh dan berpelukan
“ anak mamah juga” ucap Iqbaal sambil mengulurkan satu tangannya kepadaku agar aku bergabung dalam pelukan mereka.
Semua terasa sempurna, anak yang dulu selalu jadi candaan Iqbaal untuk menggodaku sebelum menikah, kini menjadi kenyataan. Mereka sangat diluar dugaan kami, mereka pintar dan penurut.
Mereka tampak serius belajar tajwid dengan papahnya. Aku memandangi mereka semua. Ingatanku jadi kembali ke masa laluku. Dimana aku manusia yang jauh dari kata baik. Tapi Allah karuniakan suami dan anak-anak yang sholeh.
Tak sengaja air mataku mengalir di pipiku. Iqbaal menatapku khawatir.
"kalian cari hukum Idghom bigunnah dalam surat Al- Waqi’ah. Tulis lima saja, kalau selesai bawa ke kamar papah ya.”
“ siap pah”
Aku yang menyadari Iqbaal akan menanyakan sesuatu, pergi duluan menuju kamar sambil menghapus air mataku.
"kenapa mah? " tanyanya sambil menutup pintu lalu menghampiriku disisi ranjang
"kamu tahu masa laluku pah, aku hanya merasa malu sama Allah . Dia sangat baik, memberikan kamu dan anak-anak yang luar biasa di hidupku. Aku merasa tidak pantas hiks hiks"
Percayalah, dinakas ada persediaan tissue, tapi selama dalam pernikahan kami, Iqbaal selalu menghapus air mataku dengan jarinya.
" Kamu udah menjadi manusia yang jauh lebih baik. Jauh dari sebelum hari ini. Jadi aku mohon, jangan bilang kamu tidak pantas. Kamu sangat pantas dan kami (aku dan anak-anak) bahagia punya kamu"
Iqbaal memelukku dan mengusap kepalaku dengan lembut
"Allah gak akan merubah suatu kaum, jika kaum itu tidak merubahnya sendiri. Jadi ini berkat niat baik kamu untuk berubah ke arah yang lebih baik. Bagiku, kamu jauh dari kata sempurna”
Aku mengeratkan pelukanku padanya. Ku tumpahkan sisa tangisku di pundaknya. Dia terus mengusap pipiku dengan tisu dengan ibu jarinya. Dalam peluknya, semua resah dan kegelisahan terasa pudar.
_o0o_

Setelah hari itu, dua tahun kemudian, Aku dan Iqbaal sedang menulis buku raport para santri. Aqsha dan alesha menghampiri kami terlihat ragu. Mereka saling menyenggol lengan masing – masing seolah tidak bisa memulai pembicaraan
“ Ada apa? “ tanyaku  to the point . Tentu saja itu mengejutkan mereka”
“ um.. ma-h...kita mau ngomong" ucap Aqsha
"iya , mau ngomong apa ? Sini duduk" ajakku
Mereka duduk di sebelahku diantara aku dan papahnya. "boleh gak kalau kita ikut audisi hafiz di IqshaasTv?" tanya Aqsha
Aku saling menatap dengan iqbaal.
"kalian yakin? Itu ada karantinanya lho. Dimana kalian akan tinggal jauh sama papah mamah selama sebulan." Ucap Papahnya
"kita tahu kok pah" jawab Esha

Aku kembali bertatapan dengan Iqbaal. Aku tidak yakin bisa jauh dari mereka. Membayangkannya saja tidak pernah. Walau hanya dua sampai tiga bulan, tapi aku belum bisa berjauhan dengan mereka. 
"kalian pergi ke kelas dulu, sekarang ada kelas kan sama Teh Sasha? Papah obrolin dulu sama mamah yah " ujar Iqbaal
Mereka mengangguk dan pergi.
"jujur aku berat pah, aku ngebayangin akan pisah sama mereka aja gak pernah" ucapku tergesa- gesa seperti ingin meledakkan semua uneg – unegku yang tertahan sedari tadi
" ‘kan sementara, hanya saat karantina aja mah"
"aku blm siap pah"
Iqbaal menghampiriku dan menggenggam tanganku.
"mah kamu tahu gak? kalau dengan ketidak siapan kamu bisa memperlambat langkah mereka" Tanya Iqbaal
"tapi mereka gak pernah jauh dari kita" jawabku
"kita percayakan sama mereka, kita harus dukung keinginan positif mereka" ujar Iqbaal
Aku mengangguk cemas dan Iqbaal memeluku.

_o0o_

Malam harinya, selesai shalat Isya berjamaah dengan anak-anak di rumah,  Aku dan Iqbaal memantapkan hati untuk mendukung si kembar ikut audisi hafiz tersebut. Walaupun sebenarnya aku pribadi belum rela harus jauh sementara sama anak-anak. Iqbaal membalikan badan selesai salam.
"Aqsha... Esha... sini duduk dekat papah"
Mereka mendekat pada papahnya
"papah sama mamah udah obrolin tentang niat kalian kemarin. Kita juga udah liat websitenya untuk mendaftar. Kalian akan segera kami daftarkan. Nanti yang jadi wali Esha, Papah. Dan yang jadi wali Aqsha, mamah yah."
Mereka terlihat senyum bahagia sambil bertatapan satu sama lain.
"alhamdulillah... makasih papah" ereka menghambur memeluk ayahnya
"makasihnya sama mamah, karena mamah yang bertarung dengan batinnya untuk mengizinkan kalian”
Aku tersenyum haru dan mereka beralih memelukku
"makasih mamah" sambil memelukku dan Iqbaal ikut memeluk kami semua.
"tapi ada syaratnya" ucapku setelah melepaskan pelukanya.
"haaaaah?" ucap mereka dengan raut kecewa
" Syaratnya kalian harus serius saat karantina. Kalian tahu ‘kan, selama karantina, kalian akan belajar tajwid dan bahasa arab. Semua pelafalannya harus dipelajari dari sekarang"
" siap boss"


Dan tibalah hari ini, hari dimana kami harus melepas mereka untuk karantina. Disaat anak yang lain menangis tak mau ditinggalkan oleh ayah ibunya. Hanya sikembar yang terlihat ceria dan tanpa beban. Justru akulah yang sudah merasakan perih dimata dan hatiku saat melihat keceriaan mereka yang tak akan aku lihat sebulan kedepan. Tapi Aku sebisa mungkin tidak menangis depan mereka supaya mereka kuat.
Begitu aku melepaskan tangan mereka dan mereka mulai melambaikan tangan menjauh dari pandanganku, barulah aku buru-buru menarik tangan Iqbaal dan masuk ke dalam mobil. Disitulah tangisku pecah dalam pelukan Iqbaal.
"aku benar – benar akan jauh dari anak-anaku pah hiks hiks
"cuma sebulan sayang..." ucap Iqbaal mencoba menguatkanku
Dan adegan itu berlanjut sampai kami pulang ke pondok semakin jauh dengan anak – anakku.
Yang kulakukan setelah sampai pondok adalah berdiam diri didalam kamar sambil memeluk foto sikembar. Dari mereka bayi aku sama sekali tak  pernah jauh dari mereka.
Aku kembali menangis sambil mengarahkan pandanganku ke jendela luar. Iqbaal menyadari aku sedang menangis. Dia tarik kepalaku dan di senderkan di pundaknya. 
"anak itu titpan mah, kelak mereka akan di ambil pemilik aslinya yaitu Allah, jadi kita harus belajar merelakan mereka menuntut ilmu yang jauh dari kita" ucapnya sambil mengusap kepalaku
"justru karena mereka kelak akan di ambil yang punya pah hiks hiks, selagi masih dititipkan padaku, aku gak mau jauh-jauh dari mereka. Tapi apa daya, memang sekarang udah jauh" keluhku
"ini untuk bekal mereka dunia akhirat. Dan insyaallah akan menjadi penolong kita juga nanti di akhirat. Kamu ‘kan tahu amalan yang kita akan bawa ke akhirat cuma tiga, Amal Zariyah, ilmu yang bermanfa’at dan do’a anak yang sholeh. Kita biarkan mereka mencari Ilmu yang menjadikannya menjadi anak yang sholeh. “
Aku menenggelamkan wajahku di pundak Iqbaal. Usapan tangannya di kepalaku tidak berhenti sampai aku terlelap dipangkuannya.

_o0o_

IQBAAL POV

Sudah seminggu kami jauh dari anak - anak. Dan sudah seminggu pula aku  tak melihat senyum Lia. Dia masih bisa melayaniku dan perhatian padaku. Tapi sama sekali itu terasa hambar karena fikiranya ada di tempat lain. Aku tahu harusnya aku mengerti dengan apa yang dia rasakan. Dia gak pernah sejauh ini sama anak-anak. Tapi dia melupakan semua yang ada disini, termasuk aku.
Yang aku lihat setiap hariku hanya pandangan kosong dari Lia, seperti sekarang. Aku menghampirinya saat dia menatap ke luar jendela sambil melipat tanganya diperut. Aku memeluknya dari belakang dan dia tampak terkejut dengan pelukanku.
"eh...pah" lalu dia membalikan badan
"kamu mau kopi pah? " ucapnya
"enggak, aku cuma kangen kamu”
Dia tersenyum dan menyatukan dahinya dengan keningku. Jarak kami sanngat dekat sehingga selanjutnya adegan romantis seperti di drama korea terjadi.
“ Aku juga,” ucapnya
“ terus kalau, kenapa kangen yah? Padahal tiap hari ketemu” ucap Lia lagi
“ mungkin karena hati kamu ada di tempat lain” sindirku dengan senyum semanis mungkin
Dia mengerutkan keningnya mencari apa maksud dari perkataanku
“ hahaha maaf sayang. Lupakan aja, seperti kamu melupakan hari ini”ucapku sambil membalikan badan
Baru berjalan beberapa langkah, terdengar suara langkah Lia mengejarkkun dam menubruk tubuhkku memelukku dari belakang.
" hiks hiks maafin aku pah. Terlalu banyak dosaku, sampai aku lupa ulang tahun suamiku"
Aku tersenyum dan melepaskan pelukanya. Kini aku sudah berhadapan dengannya. Dia tampak menyesalinya sampai mengeluarkan air mata yang sangat banyak. Seperti biasa, aku menghapus air matanya dengan jariku. Tubuhnya bergetar karena tangisannya menumpahkan beban yang selama ini ada dipundaknya. 
"tolong di hari ini aja, kembalikan Lia-ku yang dulu. Aku rindu senyuman kamu, tawa kamu, canda kamu. Akhir – akhir ini pandangan matamu padakku saja tampak kosong. Aku seperti sendiri dirumah ini"
"maafin aku...hiks hiks. Aku selalu memikirkan yang gak ada disini.  Sedangkan  yang disini, malah aku lupakan hiks hiks"
Aku tersenyum dan mencubit hidungnya yang merah jambu karena menahan tangis. Lalu aku memeluknya membawanya dalam kehangatan agar semua kesedihannya berkurang. Tapi dia melepaskan pelukannya dan menangkup rahangku.
“ mau kado apa” ucapnya sambil tersenyum dengan wajah sembabnya
"aku cuma mau Lia-ku kembali" ucapku sambil menatap wajah merahnya sisa tangisan.
Dia tersenyum balik menatapku
"kamu akan mendapatkanya, gak cuma hari ini. Tapi, esok dan seterusnya aku akan kembali. Maaf" ucapnya.
Keluar lagi air matanya melintasi pipi merah itu. Aku menghapusnya dan kami kembali berpelukan.
"harusnya aku percaya, mereka akan baik-baik aja. Mungkin kamu gak akan terlantar  seperti ini"
"yang penting mulai sekarang kamu harus lebih menerima jauh dari anak - anak"
"iya.... "
Tiba – tiba dia melepaskan pelukan kami dengan sangat cepat. Membuat aku kaget dan menatapnya
"kamu tunggu disini yah" ucapnya
"mau kemana?" tanyaku mengernyitkan dahi
"ke dapur, sebentar. Kamu jangan ngikutin yah..."
"iya..."
Lalu dia ke dapur, meninggalkanku yang garuk – garuk tengkuk karena kebingungan. Beberapa lama kemudian terdengar suara Lia menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan membawa sepiring bakwan yang ditengahnya ada lilin yang menyala. Aku tertawa bahagia, ada saja idenya untuk membahagiakanku.
"tiup dong" ucapnya setelah ada  beberapa meter di hadapanku.
"berdoa dulu" ucapku
Dia mengangguk sambil tersenyum manis.
Aku menutup mata dan mulai berdoa diluar hati
" doaku:  1 . Smoga istriku ini seperti ini terus"
Dia tertawa sambil mencubit perutku
“ aww... sayang, aku lagi berdoa. Bukannya aamiinin malah di cubit” protesku
"aamiin" ucapnya
“ kedua: semoga anak – anak lama dikarantinanya biar kita bisa berduaan terus”
“ iiikhhh... aku diemin lagi kayak kemarin – kemarin mau? “ ancamnya
“ hahaha jangan dong, abis aku kangen berduaan sama kamu”
“ ayo cepet tiup lilinnya, berdoa juga kamu gak serius”
“ serius itu tadi”
“ ayo tiup !”
“ huh” Aku meniupnya lilinya
Dia tersenyum dan aku mencium kenignya. Dia mengambil satu bakwanny dan menyuapiku. Kami saling suap – suapan sampai bakwan di piring habis. Aku percaya dengan ungkapan Bahagia itu sederhana. Karena sesederhana bakwan dan lilin bisa menjadi kebahagiaan yang tak mungkin kulupa sampai kami menua bersama.
_o0o_
Malam harinya saat pulang shalat Isya, aku tak melihat keberadaan Lia di rumah. Padahal dia bilang akan shalat di rumah dan gak ikkut ke mushola. Kucari dia disetiap sudut ruangan, tapi tak menemukanya.
Aku mulai cemas, ku telepon dia tapi kunjung ada jawaban. Aku chat dia, tapi tak di baca. Ku telpon lagi berkali-kali tapi tetap tak ada jawaban. Aku ke rumah Yori dan Omar, tapi mereka tak membukakan pintu. Sepertinya mereka sedang pergi karena rumahnya gelap.
Ku cari di setiap sudut pondok, tetap tidak menemukanya. Hingga pandanganku tertuju pada Aula yang gelap, padahal lampu aula tak pernah di padamkan. Mungkin lampunya habis, maka aku masuk ke Aula dan ku cek saklarnya. Ternyata lampunya memang harus di ganti. Aku ambil lampu cadangan di rumah, tapi saat kembali ke aula aku heran, kenapa lampunya sudah nyala.
Aku masuk ke Aula dan...
" surpriseeee" teriak para santri yang langsung menyambutku dengan melantunkan sholawat. Mereka terlihat membuka jalan sampai terlihat Lia dari arah belakang mereka. Aku tersenyum saat dia membawa kue ulang tahun dengan lilin di atasnya. Aku peluk dia, karena rasa cemasku kini hilang.
"paah..lepasin..maaalu" ucapnya dengan nada manjanya.
Aku melepas pelukanku dan tersenyum bahagia
"kamu tuh ya, aku cari – cari. Cemas tahu”
"hahaha... ngomelnya nanti dirumah aja. Sekarang, berdoa dulu, tapi yang serius do’anya.
"makasih sayang"
Aku ingin sekali menciumnya, tapi ku urungkan niatku karena banyak santri disitu. Akhirnya aku menutup mata dan berdoa. Setelah itu meniup lilin dan semua bertepuk tangan.
Lia mengajak para santri untuk menyantap hidangan yang telah disiapkan.
"kamu nyiapin ini semua sendiri? "
"enggak, aku minta tolong Yori untuk pesankan cathering. Kalau aku siapin, nanti ketahuan sama kamu"
Dia tertawa dengan sangat manis sedangkan aku menggelengkan kepala.
"oh iya...aku ada hadiah buat kamu. Tutup dulu matanya" ucapnya
Aku menuruti perkataanya yaitu menutup mata menunggu perintah selanjutnya untuk dibuka. Tapi yang dia lakukan malah menutup mataku dengan kain  dan menuntunku berjalan entah mau kemana.
Langkahku terhenti saat dia menghentikannya. Dia mulai membuka tali penutup mata dan aku terkesima.  Halaman pondok yang mengarah ke kamar pondok puteri tempat aku telephonan dulu dengannya. Dia menghias semmuanya dengan lamp dan bunga – bunga. Ada gitar yang sepertinya baru di bangku taman tersebut. Aku menghampirinya dan menyentuh gitar itu.
"kamu beli ini kapan? Tadi kan seharian sama aku" ucapku  terkejut
"aku minta tolong Omar belikan ini. Sambil dia nganter Yori pesen Catering"
Aku masih tak menyangka melihat gitar yang sejak lama aku impikan
"makasih ya "
Dia mengangguk
"mainin dong" pintanya
Aku mengalungkan gitarnya dan mulai memainkan nada
"mau di nyanyiin apa? "
"lagu lemonede aja" jawabnya
Aku mulai menyanyikanya sambil menatap wajah Lia dengan senyum manisnya. Dan kami menikmati malam berdua dengan lagu dan irama romantis sambil disaksikan bulan dan bintang.



_o0o_

Beberapa minggu kemudian, akhirnya sampailah disaat kami bertemu dengan anak-anak kami. Mereka senang sekali saat kami datang.

"mamaaaah paaaapaaah" seru mereka sambil berlari dan memeluk kami . Aku melihat Lia mengeluarkan air mata. Aku usap pipinya sambil menggelengkan kepala, memberi tanda bahwa kita jangan terlihat sedih di depan mereka. Lalu dia mengangguk tanda setuju dan melepaskan pelukanya dan menatap wajah mereka.
“ gimana? Tajwidnya udah bagus belum? " tanyaku kepada mereka
"aku udah, tapi Esha belum hahaha" jawab Aqsha dengan nada meledek kepada Alesha
"enak aja, aku juga udah ko pah. Ka nadia ngasih dua jempol untuk  aku" timpaal Alesha
" Kak Nadia? “ tanya Lia bertanya – tanya
“ iya, Ka Nadia itu mentor kita di Pondok Hafiz. Dia cantik dan baik. “
“ hemmh... masih cantikan mamah pasti “ timpalku
“ huusssh... sekarang, mamah mau denger bacaan kalian. Katanya dikasih dua jempol"
Lalu mereka melantunkan surat Al-Waqi'ah dengan suara yang lebih lantang dan pelafalan yang bagus dari semenjak terakhir mendengar mereka mengaji. Disini mereka benar – benar diasah dengan sebaik – baiknya sampai bisa membaca sesempurna ini di usia sedini ini.

_o0o_
Kini kami akan tinggal di Jakarta untuk mendampingi mereka tampil. Ayah sangat bahagia menunjukan bekas kamar Lia yang sudah rapi dan wangi. Aku memang memberitahukan ayah dari seminggu yang lalu bahwa aku akan tinggal sementara disini. Dan ayah pasti menyuruh bibi merapikan kamar tempat aku menjemput Lia dihari pernikahan kami.
“ kok senyum – senyum? “ tanya Lia
“ Inget wajah malu – malu kamu waktu aku jemput kesini setelah ijab kabul” jawabku
“ hahaha .... ini kamar bersejarah buat aku. Jadi saksi betapa buruknya aku zaman dulu” kenangnya
Aku segera menutup bibirnya dengan telunjukku
“ jangan pernah menilai buruk diri kamu, ingat itu !!”
“ iya maaf... aaaarrrrghhh” teriaknya saat ku angkat tubuhnya ala bridalstyle
“ hahaha... malam pertama kita aku gak lakukan ini” ucapku
“ emang harus? “
“ biar kayak di film – film hahaha”
“ hahaha” tawanya lepas saat aku menggendongnya sambil gerakan berputar. Ku jatuhkan dia dengan lembut diranjang. Membuat tatapn romantis kami semakin intim dan jantung berdetak lebih cepat.
“ opaaaaaaa !!!! “ teriak anak – anak didepanpintu
Aku melupakan sesuatu bahwa sejak tadi pintu terbuka lebar. Datanglah sosok ayah dibelakang mereka yang langsung menutup mata mereka dengan tangannya.
Ayah menggiring mereka ke luar dan menutup pintu kamar. Sementara posisiku dan Lia masih sama seperti tadi. Lia terlihat kaget dan mendorong tubuhku sampai terguling ke samping. Dia menghela nafas dan beranjak keluar.
“ kemana? “ tanyaku
“ keluar lah... udah kepergok masih aja santai”
“ hahaha.... kan kita gak ngelakuin apa – apa sayang. Lagian kalau ngelakuin juga gak apa – apa. Kita kan pasangan sah”
“ Anak – anak liat, kalau mereka bertanya apa kamu bisa menjawab? “
“ bilang aja kamu jatuh ke pangkuan aku saat benerin gorden, beres kan ? “
“ kalau kamu jawab gitu, jangan salahkan mereka kalau mereka berbohong sama kamu, toh kamu yang ajarkan” ucapnya sambil berlalu
Aku tersenyum kagum padanya. Dia sangat memperhatikan kami sampai ke masa depan yang belum tentu akan kami temui. Tapi dia sangat mempersiapkannya bahkan ke urusan akhirat yang belum pernah kami temui. Sebagai orang yang mempelajari islam lebih dulu darinya, aku sangat malu karena dia mampu belajar sampai ke akar – akarnya.

_o0o_

Keesokan harinya adalah hari pertama mereka tampil.  Ayah juga datang untuk memberi support pada kedua cucunya ini.
Aqsha di dampingi Lia, dan aku mendampingi Alesha.  Aku tak menyangka ternyata salah satu Juri acara ini masih mengingatku. Namanya Ka Irfan, sekarang sudah terlihat tua karena terlahir bertemu saat aku masih seumuran sikembar.  Mengingat aku pernah karantina disini waktu aku dititipkan Abi kepada Ayah Lia waktu kecil. Itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Lia, Ketika aku masih sekecil si kembar saat ikut acara Hafiz ini juga.
"ini Iqbaal yang dulu jadi peserta kan? " tanya Ka Irfan
"hehe .... iya Ka, apa kabar?”
"Allhamdulillah sehat, subhannallah, ternyata si kembar ini anak-anak kamu?"
"iya ka, ini ibunya" aku memperkenalkan Lia kepada ka Irfan. Mereka saling memberi salam tanpa bersentuhan
"subhannallah, ibunya cantik, papahnya ganteng. Pantesan anak - anaknya manis-manis kayak gini"
"hahaha...makasih Ka Irfan"
Kami berbincang cukup lama, sampai akhirnya  tibalah saat acara akan dimulai. Satu persatu peserta melafalkan ayat yang di minta juri dengan pelafalan yang harus sesuai dengan yang sudah diajarkan. Tak banyak juga peserta yang memiliki (maaf) aggota tubuh yang normal. Ada sekitar empat peserta yang tidak bisa melihat dan mendengar. Ada juga yang tampil dengan kursi roda. Subhannallah, aku justru tak mellihat kekurangan itu saat mereka memulai membacakan ayat Al- Qur’an. Meenurutku, bacaan mereka bahkan lebih bagus dari anak yang normal , bahkan dari orang dewasa sepertiku. Aku sangat ingin naik ke panggung dan mencium tangan mereka. Sungguh mereka menaikkan derajat orangtuanya didunia, apalagi diakhirat. Tapi yang bisa aku lakukan disini hanya duduk dikursi penonton sambil menghapus airmataku.
  Sampai pada saat Aqsha yang melafalkan ayat, aku lihat Lia sesekali mengusap air matanya karena mendengar hafalan anaknya itu. Juri pun memuji Aqsha karena gak ada pelafalan yang cacat atau salah. Selang beberapa peserta, kini tinggal Alesha yang tampil. Dia melafalkanya dengan sangat sempurna. Rupanya selama karantina mereka belajar dengan sangat baik. Hingga pada acara penutup, juri harus menentukan siapa yang pulang hari ini. Distulah kami melihat Aqsha dan Alesha menangiskarena salah satu temannya bernama “ Zahrana” harus pulang.
Kami ikut sedih tapi juga senang , karena Aqsha dan Alesha masih bertahan. Setelah selesai, kami ke belakang panggung bersama anak-anak menikmati konsumsi yang di sediakan.
Lalu kami kembali pulang ke rumah ayah dan akhirnya bisa tidur lagi sama anak-anak yang sudah tertidur  pulas. Entah mengapa rasanya dulu saat mereka dipinahkan kamar, aku sangat bahagia karena bisa tidur sambil berpelukan dengan Lia. Tetapi saat sekrang tidur satu ranjang dengan anak – anak justru membuat aku lebih bahagia, mungkin saking rindunya aku kepada mereka.
"kamu tuh mah...anak lagi tampil malah nangis" protesku
"abis aku bangga punya anak-anak istimewa seperti ini" ucapnya sambil membelai rambut mereka
"mereka seperti ini karena punya Ibu sebaik kamu" pujiku
" ‘kan kamu yang selalu ajarin mereka mengaji, jadi itu karena kamu"
"ya udah, karena kita"
"hahahaha"
"tapi besok jangan nangis kayak tadi lagi yah. Aku suka gak kuat kalau liat kamu nangis, bawaannya jadi pengen meluk kamu"
"sebel deh, gombal mulu
"beneran.... " ucapku dengan nada menggoda.
" udah ah aku mau tidur”
"kebiasaan deh kalau di romantisin suaminya suka mendadak ngantuk? " protesku
Dia tidak menggubrisku malah tarik selimut sampai menutupi kepalanya. Dengan cekatan, aku langsung pindah ke sisi dimana Lia tidur. Aku menelusup masuk ke selimut bersamanya membuat dia tertawa kegelian.

_o0o_

Satu bulan bulak – balik ke kantor  stasiun Televisi, setiap harinya peserta semakin berkurang karena tereliminasi. Alhamdulillah Si Kembar masuk tiga besar. Ini akan menjadi pertarungan yang sengit karena challenge hafalan yang akan semakin bertambah. Tapi Aqsha dan Alesha bisa melewatinya.
Hingga pada saat akhir acara, Si kembar masuk dua besar. Lia tak mampu lagi membendung air matanya. Karena kedua anak kami akan saling bertarung dengan hafalanya masing-masing.
Kami bersiap-siap untuk babak penentuan juara 1 dan runner up. Walaupun siapapun yang juara satu, kami akan tetap senang karena dua - duanya anak kami.
"siapa yah yang akan jadi juara satu? " godaku kepada mereka
" Esha aja pah..." ucap Aqsha. Aku mengerutkan kening keheranan karena biasanya anak – anak akan mengagungkan masing – masing. Tapi Aqsha malah melempar kemenanganya pada Alesha
"gak akh Aqsha aja" balas Alesha. Aku semakin heran beralih menatap ke arah Lia yang sedang menertawakan mereka
"Kenapa jadi saling lempar begini?  Emang gak ada yang mau jadi juara satu?" tanyaku
"soalnya walaupun Esha yang juara satu, tetep aja Aqsha akan ikut Umroh sama Esha, mamah dan papah. Kan hadiah umrohnya untuk satu keluarga" jawabnya
"hahahaha...oh iya yah...pinter-pinter anak papah" ucapku sambil memeluk mereka berdua
"anak mamah juga" protes Lia.
"iya...anak mamah semuanya, papah juga anak mamah" jawabku sambil membawa Gabung ke pelukan kami
“ eh ? “ ucap Lia
"hahahaha” semuanya tertawa juga Lia
“ Denger yah anak-anak, sebenernya kalian itu udah jadi juara dari kmarin- kemarin juga. Karena dengan umur kalian yang masih kecil. Kalian mampu menghafal Al- Quran berikut tajwidnya yang sempurna. Mamah bangga sama kalian" ucap Lia
"bener tuh kata mamah, kalian itu udah jadi juara di hati mamah dan papah" Timpalku
"siapa tahu dengan kalian seperti ini, kalian bisa jadi inspirasi untuk orang lain" ucap Lia
"iya...karena kalian mampu melafalkan hafalan kalian dengan baik"
"makasih papah..makasih mamah"
Kami berpelukan berempat, lalu sampai pada saat mereka tampil dan penentuan juara satu. Dan akhirnya Aqsha lah yang jadi juaranya. Kami mendapat paket umrah ke tanah suci sekeluarga. Kami bangga, anak -anak yang masih seumur jagung, mampu memberangkatkan orang tuanya umroh. Bahkan aku saja ketika itu hanya bisa masuk sampai tiga besar saja. Dan Allah memberikan kemenangan yang tidak aku dapatkan dulu lewat anak – anak .
"Fabi ayyi ala i robbikuma tukadziban." Maka nikmat apalagi yang akun engkau dustakan.
Setelah hari itu , kami sekeluarga umroh ke Tanah Suci Mekkah. Disana kami melakukan rukun – rukun umroh dan berwisata rohani.
Kami menungggangi unta dan bersua foto depan ka’bah. Sampai di Pondok, kami memajang foto itu dan menjadi kenangan terindah bagi hidup kami berempat.
Dipondok, aku dan Lia melakukan aktivitas seperti biasanya. Kami mengajar dan mengantar anak – anak sekolah. Pondok pesantrenpun di pegang oleh Omar, walaupun kadang-kadang aku juga ikut andil mengontrol para santri. Kini kami juga mendatangkan guru-guru lulusan Al-Azhar, Mesir.  Karena sekarang semakin banyak donatur yang berdatangan ke pondok untuk menyumbangkan sebagian harta-nya untuk pondok ini.
Panggilan ceramahku juga semakin banyak dan tak jarang keluar Pulau Jawa. Seperti hari ini aku kedatangan tamu penting yaitu walikota Palu bernama Pak Sigit. Aku tak percaya orang sepenting ini jauh- jauh dari Palu datang ke Pondok untuk mengundangku dakwah di aara ulang tahun Palu.
"iya Ustad...saya ingin mengundang Pak Ustad. Barangkali Ustad dapat meluangkan waktu untuk mengisi ceramah tabligh akbar di kota kami. Semenjak bencana alam setahun yang lalu, kami sadar bahwa tiada perayaan lebih penting dari rasa syukur kita kepada Allah. Maka , kami harap Pak Ustad bisa menghadiri acara ini sekaligus mengisi ceramah disana. Bantu kami membangun jiwa kami dengan ceramah Ustad.”
Aku saling bertatapan dengan Lia, tentu saja aku harus berbicara dulu empat mata dengan Lia, karena ini adalah ceramah terjauh yang pernah aku terima.
"saya harus berunding dulu denga istri saya. Karena istri saya ini, hanya mengurus kedua anak kami sendirian. Saya takut dia kerepotan kalau gak ada saya. Karena kalau ke luar kota, pasti saya harus menginap beberapa hari disana"
"gak apa - apa kok pah.. ini kan tugas suci. Rasulullah aja sering pergi meninggalkan istrinya untuk berdakwah. Jadi kenapa papah engga. Lagian anak-anak udh besar. Aku ga terlalu repot kok mengurusnya." Jawab Lia
Aku terdiam sejenak mendengar penuturan Lia dan senyuman manisnya
"kamu yakin? " tanyaku
"iya...” jawabnya sambil tersenyum manis
"kalau gitu kapan saya bisa berangkat? " tanyaku
"minggu depan akan saya utus orang untuk menjemput ustad. Sebenarnya jika istri dan anak-anak ustad mau ikut juga gak apa-apa. Biaya kami yang tanggung. Sekalian liburan"
" terimakasih Pak, kami memang sangat ingin melihat kota Bapak, tapi sayang sekali anak-anak baru masuk lagi ke sekolahnya. Jadi kasian kalau izin terus, banyak pelajaran juga yang ketinggalan" jawab Lia
"gak apa - apa mah...pihak sekolahnya juga pasti izinin"
" Kasian anak-anak, pah. Pasti mereka rindu sama teman-temannya. Kalau papah mau ngajak orang, papah ajak aja Omar. Biar Yori tinggal disini sampai kamu pulang, itu juga kalau Yori izinin Omar pergi" Jawab Lia
Aku merasa ngga enak hati harus meninggalkan istri dan anak- anakku. Pasalnya terakhir aku ninggalin Lia, waktu Teteh melahirkan membuat Lia mengalami trauma. Jadi aku merasa takut harus jauh-jauh darinya. Takut terjadi sesuatu pada Lia tanpa sepegetahuanku.

" bagaimana Ustad? " tanya Pak Sigit memecahkan lamunanku.
"baiklah , minggu depan saya tunggu" ucapku akhirnya
"alhamdulillah...makasih ustad"
"kalau begitu, silahkan di cicipi dulu pak minum sama makananya"
“oh iya makasih bu"

Mereka mencicipi makanan yang Lia siapkan. Setelah mereka pamit pulang. Aku langsung  jatuhkan pelukanku pada Lia.
"aku takut kayak dulu waktu terakhir aku ninggalin kamu. Aku takut kamu kenapa-kenapa  disini" ucapku masih memeluknya
"justru karena kejadian waktu itu, aku jadi semakin kuat pah. Aku jadi gak takut darah. Disetiap kejadian pasti ada hikmahnya" ucapnya tegar
" kenapa kamu begitu yakin melepas aku keluar kota? " tanyaku setelah melepas pelukan kami
"karena aku percaya pada suamiku ini. Lagian , apa alasan aku untuk gak percaya sama kamu? " tanyanya sambil tersenyum manis
Aku membelai kepalanya dan menatap wajah cantiknya. Ku cium keningnya cukup lama. Aku sangat beruntung memiliki istri seperti dia.
"ya udah, udah siang. Kita jemput anak- anak yah" ucapku setelah melepas kecupanku
"yuk..."
Kami berangkat menjemput anak-anak di Sekolah. Mereka tampak sedang menunggu kami di pos satpam.
"aduh pak, ngerepotin yah" ucap Lia basa – basi pada satpam sekolah
"gak kok Bu, saya lagi belajar ngaji  sama mereka. Kalau bisa tiap hari aja telat ngejemputnnya" Jawab Pak Satpam
Aku memang melihat Buku Iqra di tangan bapak itu.
"hahaha...terus gimana? Udah selesai? " tanya Lia
"blm sih...tapi gak apa- apa besok bisa di lanjut"
"ya udah kalau gitu, Pak.  Kami pulang dulu yah. Ini tadi saya bikin kue, icip-icip yah Pak, kalau enak, saya bawa lagi besok" tawar lia sambil menyodorkan sekantung kue pada Pak Satpam.
"waaah...pasti enak ini. Makasih ya bu" ucap Pak Satpam
"iya..sama-sama, mari Pak, Asslamualaikum" Pamit Lia
"walaikum salam"
Kami semua masuk kedalam mobil. Di perjalanan, anak-anak menceritakan tentang  pelajaran tadi di sekolah.
“ pokoknya, kalian harus kaya Bapak satpam tadi.” Ucap Lia
“ haah? Belajar Iqra? Kan Kita udah AL- Qur’an” Jawab Esha
“ maksud mamah, tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China. Kalian jangan merasa puas dengan ilmu yang sekarang kalian miliki. Kejarlah ilmu sampai ke ujung dunia, bahkan walau kalian sudah setua bapak tadi. Dia mau belajar walau usianya sudah tua. Gak ada batasan usia untuk belajar. Ingat, ilmu yang bermanfaat akan dibawa kelak sampai kita meninggal” jelas Lia
“iya, Mah” jawab mereka bersamaan
“ emang pinter mamah ini” ucapku sambil mencolek dagunya
“ siapa dulu dong gurunya” balasnya sambil mencolek daguku
Selama perjalanan , yang ada hanya tawa bahagia kami. Hingga kami sampai ke rumah dan Lia mulai memberitahu anak-anak tentang rencana kepergianku ke luar kota. Anak-anak langsung memelukku penuh kesedihan
"papah lama disana? " tanya Aqsha
"gak kok...cuma tiga hari"
" tiga hari tuh lama papah" jawab Alesha dengan nada manja
"kita kan bisa Video Call -an... ya kan pah? " timpal Lia
"iya...nanti tiap papah ada waktu, pasti papah akan selalu sempetin buat Video Call anak-anak papah yang pinter-pinter ini" jawabku
"bener yah pah" ancam Alesha
"iya..."
"ya udah kalian makan dulu yah ... " ucap Lia
"mau di suapin papah boleh gak? " Tanya Aqsha
"iya.. Esha juga" timpal Alesha
"iya - iya...papah suapin, mana mah piringnya" ucapku
"yeeeee" seru mereka
Lalu Lia mengambil makan untuk mereka ke dapur dan aku mengikutinya
"anak-anak kamu itu, manja nya persis kayak kamu" ejekku sambil memeluknya dari belakang
"hahaha kayak kamu gak manja aja" balasnya
Ketika hidangan sudah siap, yang kusuapi bukan hanya anak – anak, tapi Ibunya juga. Awalnya dia menolak, tapi aku memaksanya dengan nada memohon karena minggu depan aku tak bisa menikmati kebersamaan ini. Anak – anak juga terlihat senang setiap kali aku memanjakan ibunya. Aku berharap kasih sayangku ini bisa ditiru oleh mereka kelakjika sudah dewasa. Karena anak – anak akan meniru apa yang kita contohkan, dan inilah PR-ku sebagai orangtua. Memcontohkan dan mengenalkan kebaikan kepada mereka.


_o0o_

Seminggu kemudian,
Akhirnya tiba saatnya aku akan berangkat ke ke Palu. Setelah   shalat Isya, tim walikota Palu menelponku bahwa mereka sedang dalam perjalanan menjemputku ke Bogor. Jadi, aku harus siap - siap dari sekarang mungkin mereka akan sampai besok.
Dan benar saja, pada pukul enam pagi, mereka kembali menelpon bahwa sudah sampai Bogor kota. Mereka meminta share alamatku. Anak - anak sudah siap – siap untuk sekolah. Mereka masuk sekolah pukul tujuh. Sehingga aku masih sempat mengantar mereka ke Sekolah.
“ nanti kalau mereka datang gimana? Udah aku aja yang anter, sebentar kok” ucap Lia resah
“ gak apa – apa, justru karena sebentar, aku ingin ikut mengantar mereka”
“ hmmmh” Lia menghela nafas sambil memakaikan jaket padaku
“ jangan cemberut dong”
“ aku bingung obat keras kepala kamu tuh apa? Susah banget di sembuhinnya” sindir Lia membuat aku tertawa kecil memandangnya
Aku memeluk Lia dengan erat. Karena semakin dekat waktu perpisahan kami. Kami menangis seperti akan berpisah selamanya. Lia melepaskan pelukan kami dan menghapus air mataku di kedua pipiku. Ku pandangi dia dengan senyuman. Dia juga tersenyum dengan sedikit air matanya yang mengalir. Ku hapus air matanya dengan satu tanganku dan satu tangan lagi masih kuletakan di pinggangnya yang ramping.
"udah punya anak dua, tapi kamu masih seperti gadis mah” pujiku
“ aku akan rindu gombalan kamu kayak gini, cepat pulang yah” jawab Lia
“ Hahaha... belumjuga pergi udah disuruh pulang”
“ ya udah, cepet katanya mau nganter anak – anak dulu, nanti keburu mereka datang lo”
“ iya” ucapku kembali mengecup keningnya
Dalam kecupan ini, entah mengapa aku merasakan perasaan yang aneh. Semacam fierasat buruk tapi entah apa yang aku takutkan. Aku kembali menguatkan hatiku dengan berfikir mungkin ini hanya perasaan sedih karena akan berpisah dengan mereka.
“ kenapa? Kok bengong? “ tanya Lia
“ ah enggak, ayo”
Kami berjalan ke depan melihat anak – anak yang sudah siap menunggu di depan teras.
“ Pah, ada yang cari” ucap Aqsha sambil menunjuk  pria dengan peci putuh dan baju koko cokelat
“ assalamua’alaikum ustad, saya dari balaikota Palu. Di utus Pak Walikota untuk menjemput Ustad”
“ walaikum salam”
Aku dan Lia saling berpandangan
“ silahkan masuk bapak – bapak, sarapan dulu” tawar Lia
“ terimakasih Ibu, kami sudah sarapan tadi di Bandara. Barangkali Ustad mau sarapan dulu, kami siap menunggu” ucap salah satu pria itu
“ saya juga udah sarapan, kalau begitu marikita mulai perjalanan saja” jawabku
“ mari Pak”
Mereka berjalan kearah mobil. Sementara aku menatap Lia dan anak – anak. Rasanya berat sekali harus meninggalkan mereka. Hingga kulihat Yori yang juga sembab karena akan ditinggalkan Omar suaminya.
“ kalian hati – hati ya disini, kalau ada apa – apa asih tahu aku”
Yori dan Lia mengangguk.aku lihat Hana, Aqsha dan ALesha yang juga murung.
Aku berjongkok agar sejajar dengan anak – anak itu lalu memeluk mereka.
“ Papah akan Video Call kalian nanti kalau sudah sampai. Tapi kalian janji jaga mamah baik – baik ya”
Aku melihat ke arah Lia yang memalingkan muka mencoba menyembunyikan sir matanya.
Aku berdiri berhadapan dengan Lia yang masih tak berani menatap wajahku. Maka kurengkuh bahunya dan ku cium keningnya lama.
“ maaf ya aku gak jadi ikut antar anak -anak” ucapku
Dia mengangguk tak mampu mengeluarkan kata - kata
Aku mengulurkan tanganku untuk dia cium. Saat dia mencium tanganku, aku menariknya kepelukanku. Disitulah air mata kami pecah. Yori yang juga dari tadi menangis tertahan, kini ditumpahkan bersama kami.
Aku melepaskan pelukanku, menghapus air matanya lalu air mataku. Aku berjalan menuju mobil dengan tas gendong di pundakku. padahal hanya tiga hari disana tapi aku merasa akan berpisah sangat lama dengan mereka.
Aku dan Omar masuk ke mobil dan ku pandangi wajah Lia dari jendela kaca mobil. Dia tersenyum sambil melambaikan tangan. Dalam hatiku bergumam, aku pasti akan merindukanya. Tapi, aku lihat dia berlari menghampiriku saat mobil sudah sedikit melaju.
Aku mencoba meraih tangannya dan hampir sampai
“ hati – hati pah”
"iya sayang..." ku cium keningnya lagi
Dan dia semakin terlihat jauh. Mungkin setelah ini dia akan kerepotan menenangkan anak-anak kami . Tapi Lia ibu yang hebat, dia sangat mampu dalam urusan anak – anak.


UHIBA LIA ( SUDAH TERBIT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang