8. HALAL

1.1K 56 6
                                        

Lima hari telah berlalu dari semenjak aku dan Iqbaal melangsungkan acara khitbah. Semua undangan telah tersebar. Rumahku pun telah di dekor sedemikian rupa. Semua persiapan sudah selesai, tinggal menunggu hari suci dimana aku dan Iqbaal akan menjadi pasangan halal.
Tak banyak yang aku lakukan setelah ini. Kadang aku duduk disofa dengan ayah sambil menonton tv, atau menerima Video Call dari Iqbaal yang tak pernah terlewat seharipun setelah acara khitbah, seperti sekarang ini.
"lagi apa? "
"lagi nnton tv sama ayah..." aku arahkan kameraku ke ayah.
"ya ampun baal ... buat apa pingit - pingit, kalau kalian masih bisa tatap muka kayak gini" seru ayah
Aku tertawa, ayah gak tahu aja selama ini kami selalu bertatap muka lewat video call jika sedang berjauhan
"abisnya anak ayah ngangenin" jawab Iqbaal yang membuat aku menghentikan tawaku
"ih apaan sih..." ucapku sambil beranjak meninggalkan ayah. Aku malu jika ayah mendengar gombalan Iqbaal lebih jauh lagi
"kok pindah..." tanya Iqbaal
"malu sama ayah ... kamu sih bikin aku malu"
"hahahaha emang kamu ngangenin" ulangnya lagi
"pliis stop baal"
" Lia..." uapnya dengan wajah serius.
"apa? "
"nanti kalau kita udah nikah, gak apa - apa ya kita tinggal serumah sama abi. " ucapnya sedikit gugup
"ya iya lah baal aku mau, itu harus. Kasian Abi, udah ditinggal teteh, masa sekarang mau ditinggal kamu juga. Pokoknya suamiku mau dimanapun aku ikut" ucapku
"makasih ya lia ... sekarang abi lagi sakit"
"sakit kenapa? " ucapku dengan nada terkejut.
"gak tahu ... tadi tiba - tiba bilang pusing. Terus aku bawa ke kamar aja."
"kenpa gak ke dokter? "
"abi gak mau ... katanya cuma kecapean"
"teteh tahu? "
"aku belum kasih tahu, takut ngeganggu teteh sama suaminya"
"baal... gak ada kata keganggu bagi anak buat urusan orang tua. Percaya deh, suaminya juga akan ngerti. Teteh berhak tahu baal"
Dia terdiam seperti sedang mempertimbangkan perkataanku
" iya deh nanti aku kasih tahu teteh" ucapnya akhirnya
"sabar yah... abi pasti cepet sembuh"
" iya..aamiin..."
" kamu telephon tth dlu gih...aku yakin skrg tth lagi ga enak hati"
"iya... ya udah aku tutup dulu yah. Nanti di telephon lagi."
"iya..."
"assalamualaikum"
"walaikum salam"
Aku kembali menghampiri ayah dengan helaan nafas berat mendengar berita sakitnya abi"
"yah.. Abi sakit" kataku pada ayah
"sakit apa?" ucapnya sangat terkejut.
"gak tahu karena belum dibawa ke dokter, abinya gak mau. Katanya sih cuma kecapean "
"ya Allah semoga cepet sembuh"
"aamiin..."

POV IQBAAL
Setelah menelephon sasha, aku langsung hubungi teteh dengan sedikit ragu karena tak enak
"assalamualaikum teh"
"iya le ... walaikum salam"
"teh Abi sakit, mau aku bawa ke dokter gak mau. Teteh bisa kesini gak? siapa tahu kalau di bujuk sama teteh abi mau"
"Ya Allah ... pantesan perasaanku gak enak dari tadi. Ya udah teteh kesana sekarang sama A Dimas"
" iya teh"
Setelah kututup teleponya, aku memutuskan untuk pergi ke kamar Abi. Tapi abi tidur sangat nyenyak sehingga aku tutup lagi pintu kamarnya dan pergi ke kamarku untuk shalat dan berdoa untuk kesembuhan Abi. Saat aku keluar kamar setelah shalat dan baca Qur'an. Aku lihat Abi sedang duduk di teras, aku menghampirinya.
" kok abi diluar sih? Anginnya gak enak, masuk yuk "
"udah enakan kok sekarang, alhamdulillah"
" teteh juga lagi di perjalanan mau kesini"
"kamu kasih tahu teteh abi sakit? "
"iya ... hehe"
" dibilangin Abi cuma kecapean"
" gak apa - apa, lagian teteh juga pengen ketemu Abi. Kangen katanya"
Tiba - tiba ada mobil teteh masuk ke gerbang pondok. Kami berdua berdiri untuk menyambutnya. Keluarlah teteh dan A Dimas dari mobil. Teteh langsung memeluk dan menyalami Abi.
"Iqbaal tuh jangan di percaya teh, orang Abi hanya kecapean ko" ucap Abi
"tapi Abi sakit kan, gak apa - apa dong lagian teteh mau ko kesini, udah kangen juga sama suasana pondok"
" ya udah ayo masuk... masuk" ajak Abi
" ini bi Kita beli martabak tadi dijalan, maaf ya Cuma jajanan pinggir jalan" kata A Dimas
" kalian ini, kalau kesini tuh jangan bawa - bawaan kayak gini, kalian dateng aja abi udah seneng" ucap Abi
Kami masuk dan menyantap martabak yang A Dimas bawa. Setelah kedatanga teteh, Abi sudah bisa kembali tertawa bahagia, gak lesu seperti tadi. Memang benar, obat satu - satunya seorng ayah adalah anak perempuannya. Ini bisa menjadi pembelajaran untukku yang akan memulai hidup baru bersama Lia. Aku harus sering jengukin ayahnya saat nanti kami sudah berumah tangga.

UHIBA LIA ( SUDAH TERBIT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang