3. PATAH HATI

1.2K 69 0
                                    

Setelah kejadian kemarin, hatiku belum bisa normal sepenuhnya. Detak jantungku juga memacu senyumku yang datang tiba- tiba setiap terngiang kata - kata dari Iqbaal.

Aku senang mendengar kabar kedatangan ayah. Aku menghampirinya di rumah Abi. Disana ada Iqbaal, teteh, Abi dan ayah. Aku mencium tangan ayah dan duduk disebelah nya.


"Nah...nanti Lia juga harus ikut " ucap Abi tiba - tiba melanjutkan obrolannya yang tidak aku mengerti karena baru datang.

"Ikut kemana, Bi?" tanyaku heran

"Ini Iqbaal mau khitbah Bunda dan Ayahmu akan ikut. Kamu juga harus ikut ya. Kita 'kan sudah jadi keluarga"

Jedeeeer....

Sambaran petir seolah berada diatas ubun - ubunku. Entah mengapa mata ini langsung melirik Iqbal yang sedang tersenyum dengan santainya. Lihatlah , bahkan dia tidak merasa menyakitiku sama sekali. Sedangkan aku, merasa tidak rela Iqbaal akan mengkhitbah perempuan lain. Tapi aku ini siapa? Kenapa harus merasa seperti ini? Dalam otakku seperti ada air panas yang saling bersemburan. Aku merasa sakit hati yang tak pernah ku tahu mengapa harus merasa seperti ini. Kata ' keluarga' dari mulut Abi sangat indah dan damai di telingaku. Tapi , kalimat sebelumnya begitu menyiksa hatiku.

" Lia.... kok bengong? " suara ayah mengagetkanku

" Oh iya... Lia pasti ikut"

"Iya dong harus... " ujar Abi bahagia

"gimana pak Haji, puteriku ini udah hafal berapa juz? "

"ya belum lah ayah...baru juga beberapa minggu..." jawabku bernada protes.

"udah pinter ko Liannya om, udah hafal Juz 30" entah pujian macam apa dari Iqbaal ini. Karena sampai ke telingaku hanya sebuah ledekkan.

" ngeledek kamu?"

Dia tertawa puas meledekku, melihat senyuman dan tawanya untukku, aku kembali merasa tidak terima akan kenyataan bahwa dia milik orang lain.

"ya udah yah... Lia masih ada kelas. Lia tinggal dulu ya" ucapku pada ayah

"oh iya sayang... semangat belajarnya" jawab ayah

" aku juga tinggal dulu ya om, ada jadwal mengajar" ucap Iqbaal tiba - tiba.

"iya baal..."

Kami menyalami mereka satu persatu dan akhirnya berjalan bersama menuju kelas, walau beda tujuan. Selama perjalanan kami mengobrol untuk mengusir kecanggungan.

" aku baru tahu kamu lagi ta'aruf ? Sejak kapan? " tanyaku

" aku dikenalkan sama Abi sebulan yang lalu, lewat video call. Dia anak pemilik pesantren di daerah Tasik. Tapi dia menetap di Bogor sama ibunya. "

"oh..selamat yah " aku mengucapkan itu sambil tersenyum, tapi percayalah hatiku tak se - berseri senyumku.

"selamat? " tanyanya heran

" iya...kamu akan menempuh hidup baru."

"ini kan baru khitbah, bukan nikah"

" tapi biasanya gak lama dr khitbah itu nikah".

"iya sih hehe..."

Tak terasa sudah sampai di depan kelas,

"ya udah...aku masuk dulu ya..."

"iya..."

Di dalam kelas Yori sedang sibuk menulis tugasnya. Seperti biasa aku duduk disebelahnya.

" Yor...kamu tahu Iqbaal mau khitbah? " bisikku berusaha berbicara sepelan mungkin

"haaaah?????" Teriaknya.

Aku langsung membekap mulutnya dan menganggukkan kepala pada semua santri yang refleks melirik ke arah kami, sebagai tanda permintan maaf karena kebisingan yang diciptakan oleh Yori.

"jangan berisiik" bisikku lagi pada Yori

" aku syok" ucapnya sambil menahan dadanya dengan nafas tersenggal - senggal.

"aku juga syok ... aku fikir dia sedang tidak ta'aruf dengan siapapun"

" kalau dia jomblo, kamu mau yah? " godanya

"mau apa? "

"ta'aruf sama dia..." jawabnya dengan nada jahilnya

" ngawur kamu.."

Lalu datanglah Ustad riza untuk mengisi pelajaran di kelas kami. Dan kami belajar dengan aku yang memikirkan tentang khitbah Iqbaal.

Sore harinya aku dan ayah mengantar Iqbaal khitbah. Dan hatiku teriris saat bersalaman dengan calonnya Iqbaal. Namanya Nabilah. Dia sangat cantik dan anggun, aku semakin menciut karena dia memang lebih cocok dengan Iqbaal. Yang harus aku lakukan sekarang adalah menghapus perasaanku yang bertepuk sebelah tangan. Aku harus move on dan kembali ketujuan awalku datang kesini. Yaitu belajar dan menjadi anak kebanggaan ayah.

Selama perjalanan pulang aku terngiang ceramahnya pak Ustadz, bahwa jika hati sedang gelisah, ambilah air wudhu lalu shalat atau baca Al-Qur'an. Maka itulah yang aku lakukan setelah sampai di Pondok. Aku segera mengambil air wudhu dan membaca Qur'an di kamar.

Hatiku sedikit lega dan tidak terlalu berharap. Allah memang selalu membulak - balikan hati manusia. Dengan ikhlas kini aku merelakan Iqbaal untuk Nabilah. Dan aku akan pada tujuan awalku, aku ingin introspeksi diri. Aku ingin merubah hidupku sendiri.

Aku ingin doaku untuk mamah yang sudah di syurga, terkabul. Karena yang di butuhkan orang meninggal adalah doa dari kita yang masih hidup.




UHIBA LIA ( SUDAH TERBIT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang