11. DUA GARIS CINTA

1.2K 54 4
                                    

Bulan suci Ramadhan telah tiba. Sebuah kebahagian untukku dan Iqbaal karena dibulan suci ini adalah ramadhan pertama kami sebagai suami istri.
Perut Teteh pun,  semakin hari semakin besar. Bahkan dibulan ini usia kandungan Teteh sudah menginjak tujuh bulan. Aku semakin bahagia, karena semenjak Abi pulang dari rumah sakit, Teteh memutuskan untuk tinggal di rumah Abi bersama kami.
Dan hari ini, tepat pukul setengah tiga subuh, aku bangun untuk menyiapkan sahur. Biasanya aku siapkan bersama Teteh, tapi sepertinya hari ini Teteh masih tidur. Aku memutuskan menyiapkanya sahur sendiri. Iqbaal yang tidur di sampingku tak pernah lepas seharipun tidak memelukku saat tidur. Maka sebelum berangkat ke dapur, aku harus berusaha pelan - pelan melepaskan pelukanya agar dia tidak terbangun.  Dan walaupun sudah berhati  - hai,  tetap saja dia aku tidak berhasil untuk  tidak membangunkannya. Dia terbangun karena gerakanku lalu menggaruk rambutnya dengan satu mata terbuka.
“ jam berapa? “ tanyanya dengan suara serak  khas bangun tidur
" baru jam setengah tiga” jawabku
“ aku mau masak dlu..." lanjutku
Dia melihat jam dinding, lalu membuka matanya lebar – lebar seperti sedang terkejut.
"oh ... iya..." ucapnya sambil beranjak dari tempat tidur
" mau kemana?" ucapku yang tak kalah kaget
" mau ngambil wudhu , mau shalat malam dulu"
Aku menghela nafas, dia benar – benar berlebihan. Aku dia melupakan pertemuan yang sangat penting
" huh ... ngagetin aja. Kirain lupa ada janji ketemu siapa gitu"
“ emang mau ketemuan, ketemuan sama Allah hehehe” ucapnya sambil berlalu setelah mencubit hidungku
Itulah rutinitasku di bulan Ramadhan sekarang. Bersama suamiku tercinta, tersholeh dan tersegalanya. Dia selalu mencontohkan hal - hal baik untukku. Sehingga aku harus menjaga kehormatanya dengan  menjaga diriku sendiri dari pandangan buruk siapapun.
Akupun berjalan menuju dapur setelah membereskan tempat tidurku. Mencari bahan masakan di kulkas yang bisa aku racik menjadi sebuah hidangan yang lezat untuk kami santap sahur ini.
Dengan wajah basahnya yang terkena air wudhu, dia menghampiriku yang sedang menyiapkan bahan masakan.
" masak apa Dek ? " tanyanya
"masak daging orang " jawabku ngasal
"iiihhh serem" ucapnya sambil bergidik dan meninggalkanku.
Tak lama dari itu Teteh keluar dari kamarnya.
"aduh Lia .. maaf yah aku kesiangan" ucap Teteh
" gak apa - apa Teh.. Teteh istrahat aja, ini sama aku aja"
"jangan ... kasian kamu, sini tinggal apa lagi? "
" ya udah ... teteh iris bawang aja" kataku
" oke "
Seperti biasa, backsound kegiatan masak kami adalah lantunan ayat yang selalu Iqbaal bacakan setelah shalat malam. Membuat kegiatan memasak kami jadi lebih mudah dan cepat. Lalu setelah itu , Abi dan A Dimas bergantian ke kamar mandi untuk siap - siap sahur. Inilah kegiatan shubuh kami di bulan Ramadhan. Aku tak pernah menyangka akan menjadi keluarga inti dari Pondok ini. Setelah dulu hanya bagian dari keluarga Pondok sebagai santri biasa.
Siang harinya, kami mengisi waktu untuk mengajar para santri . Masuk waktu ashar, kami shalat berjamaah bersama santri. Dan setelah itu para santriwati menyiapkan takjil untuk buka puasa nanti. Kami juga selalu berbuka bersama santri di Aula Pondok. Membuat kekeluargaan kami semakin terasa. Selesai makan, kami mengambil wudhu untuk siap - siap shalat Isya dan Shalat Tarawih. Biasanya Iqbaal yang menjadi Imam, sedangkan Abi yang menjadi khatib khotbah Tarawih, tapi tarawih kali ini entah mengapa di imami oleh Abi.  Pertanyaan ini muncul karena ada yang aneh dari suamiku. Wajahnya pucat dan terlihat lemas.
Kami memulai shalat dan tak ada lagi suara. Hanya suara Abi yang menggema membaca surat Al – Fatihah. Raka’at demi raka’at kami lewati . Hingga di raka’at terakhir ( selesai witir) , rasa  cemasku semakin menjadi saat melihat Iqbaal langsung buru - buru keluar dan aku segera membuka mukenaku untuk mengejarnya.
Ternyata dia lari ke arah rumah. Saat aku masuk, terdengar suara Iqbaal terbatuk – batuk dari arah  toilet.
“ Ya Allah A !!!” ucapku sambil menghampirinya memijat – mijat tengkuknya. Dia muntah sangat banyak sampai terlihat lemas. Aku menangis sambil terus memijat - mijat pundaknya.
" kamu gak enak badan? Kenapa gak bilang? "
Aku masih menangis,  Iqbaal membasuh mulutnya dan menyiram bekas muntahnya.
" gak apa – apa ... udah jangan nangis dek. Paling masuk angin"  
Dia mengusap pipiku menghapus air mataku. Masih terlihat bibirnya putih pucat dan matanya mengeluarkan air dan keringat dingin di pelipisnya. Aku pun sama, mengusap keringat di pelipis dan air mata di upuk matanya
"yaudah yuk,  aku mau tiduran” aku mengangguk
Aku membantunya jalan ke kamar dan aku baringkan dia di kasur. Aku peluk dia dan bersandar didadanya. Aku sentuh dahinya, tidak panas tapi mengeluarkan keringat dingin.
" gak apa - apa" ucapnya lembut sambil mengambil tanganku yang ada di dahinya lalu mencium tanganku itu.
"aku buatin teh manis anget ya"
" iya " jawabnya sambil senyum.
Saat aku keluar kamar, datanglah Teteh, A Dimas dan Abi.
" Iqbaal kenapa lia? "
"barusan muntah - muntah Teh -banyak"
Mereka menghampiriku dan masuk kamar untuk melihat keadaan Iqbaal dikamar
“ kekenyangan kamu le ?" canda Abi pada Iqbaal
Kami tertawa sedangkan Iqbaal mengerucutkan bibirnya tak menggubris Abi.
“ yank, mana teh manisnya?” tanya Iqbaal
“ Astaghfirullah, aku lupa hahaha” kini semua menertawakanku
“ haduuuuh” keluh Iqbaal
“ manja kamu ! “ bela Abi
Aku pergi ke dapur membuatkan teh manis untuk Iqbaal. Setelah selesai, aku membawanya ke kamar. Rupanya disana ketiga orang itu masih saja menggoda Iqbaal. Terlihat dari wajahnya, Iqbaal sangat kesal, sedangkan yang lain masih tertawa.
“ ya udah, ayo keluar, biar Iqbaal istirahat” ucap Abi
“ dari tadi kek” dengus Iqbaal
“ iiih.. kamu” ucapku sambil mencubitnya
“ abis mereka , orang lagi sakit di ledek” ucap Iqbaal dengan nada manja
“ sensitif banget sih kamu le hahaha” ledek Teteh
Aku heran denganya, dia tampak aneh dan benar kata teteh, kini dia sangat sensitif
“ ya udah ayo ayo , keluar” giring Abi kepada Teteh dan A Dimas
Aku tertawa melihat mereka. Setelah menutup pintu, aku membantu Iqbaal duduk dan meminumkan teh manis ke mulutnya.
" emmm ... enak" serunya
" diminum lagi, abisin. Biar enak perutnya. "
“ iya humaira” jawabnya dengan tatapan menggoda
Aku tersipu malu karena dia memanggilku humaira, panggilan sayang Nabi Muhammad kepada Istrinya yang artinya “pipi kemerah – merahan”. Ditambah lagi dengan tatapannya yang menurutku seperti tatapan mesra seorang suami kepada istri.
Aku membrikan gelas teh manis kepadanya dengan teh manis yang tinggal setengah. Lalu dia meneguk habis teh manisnya sampai mengeluarkan sendawa
“ alhamdulillah ... “ katanya
" pinter" ucapku seolah kepada anak kecil yang baru bisa melakukan sesuatu.
Aku menyimpan gelasnya yang sudah kosong diatas nakas. Kemudian mengambil minyak angin di lemari.
“ buka baju kamu " ucapku sambil duduk ditepi ranjang
"asiiiikkk" katanya sambil membuka resleting celananya
" aku kan nyuruhnya baju”
“ kenapa gak semuanya biar leluasa” aku mengerutkan dahi sepertinya dia sedang salah faham
“ jangan mikir macem – macem, aku mau pijit dan balur badan kamu"
"yaah...kirain" ucapnya kecewa
Dia membuka bajunya dan mulailah seni melukisku di punggung Iqbaal dengan koin dan minyak angin. Tak jarang keluar sendawa dan lenguhan kenikmatan dari bibir Iqbaal
"enak sayang..." ucapnya sambil sendawa.
" keluar tuh anginnya" kataku
"iya... kepalanya dong”
Aku pijat kepalanya dan dia menikmatinya terlihat dari matanya yang tertutup menikmati setiap pijatanku
“ udah dek, enak banget " katanya sambil berbalik
"ya udah pake bajunya" kataku
"emang kenapa kalau tidurnya gak pake baju, enak kayak gini, seger."
"nanti masuk angin lagi" ucapku kesal
" ya udah, baik ibu Ratu"
Aku pakaikan baju untuknya dan tidur disebelahnya.

__o0o__

Keesokan harinya seperti biasa aku menyiapkan sahur bersama Teteh. Datanglah Iqbaal, aku kaget karena biasanya  dia masih membaca Al – Quran setelah shalat malam.
" Dek ... masakin aa ayam kecap yah" ucapnya
Aku mengerutkan dahi , biasanya dia gak suka ayam di kecap. Dia tuh suka makanan kering  - kering sejauh yang aku tahu.
"yaaah...ini ayam nya tanggung udah di goreng" kataku
"ya tinggal tumis bawang, pake kecap pake air dikit. Pliiiisss Aa lagi pengen ayam kecap" ucapnya memohon
"hahahaha... ya udah Lia, tinggal kecapin aja. " sela Teteh
"tuh kan bisa..." jawab Iqbaal
"iya iya .. ya udah tunggu di meja makan." Ucapku akhirnya
Aku heran megapa dia masih berdiri di belakangku. Maka aku membalikan badan dan melihatnya tadinya mau mengusirnya lagi karena disini gerah ada dia. Tapi belum sempat aku membuka mmulut untuk bicara. Dia sudah lari ke Toilet dan kembali terdengar suara muntahnya lagi
" ueeek ueekkk "
Aku segera berlari menghampirinya dan memijat tengkuknya. Berbeda dengan kemarin, hari ini dia tidak memuntahkan apa – apa. Mungkin karena perutnya yang kosong. Saat dari tadi yang kulihat hanya ada Teteh di belakangku, kini A Dimas dan Abi pun sudah bergabung mengerumuni iqbaal
" udah A ga usah puasa dulu kalau lagi sakit" kataku membersihkan mulutnya dengan air
" gak apa - apa kok..." ucapnya padahal masih terlihat lemas
“ Lia bener le ... kalau kamu sakit gak usah puasa dulu. Nanti di ganti pas Syawal atau dihari lain" ucap Abi
"aku kuat kok bi ... justru kalau lagi gini ga nafsu makan minum. Jadi mending di niatkan puasa" jawab Iqbaal
" hmm.. gak nafsu makan, tapi request ayam kecap hahahaha" goda teteh
" oh iya , mana ayam kecapnya yank?" ucapnya seolah diingatkan lagi
" ya udah tunggu di depan, nanti aku buatin ayam kecapnya"
Mereka semua mengikuti Iqbaal menuju meja makan. Mereka juga terheran melihat Iqbaal, sebentar lemas, sebentar kuat lagi saat mendengar kemaunya dituruti.
  Selesai masak, aku dan Teteh menghidangkan masakan di meja makan. Abi meminpin do’a lalu sahur di mulai.


Sore harinya setelah mengajar anak - anak santri, Iqbaal mengajakku ngabuburit memakai motor ninjanya. Ngabuburit adalah kegiatan di bulan puasa sambil menunggu waktu berbuka.
Aku peluk dia di sepanjang perjalanan. Hingga sampailah kami di tempat pasar takjil yang hanya di buka selama Bulan Ramadhan saja di pusat kota. 
Pasar takjil merupakan tempat jajanan makanan pembuka untuk menu buka puasa. Aku dan Iqbaal turun dari motor, jalan kaki bersama ditengah – tengah jajanan mencari menu Takjil yang kami inginkan. Sepanjang jalan, dia menggandeng tanganku seolah dunia hanya milik kami berdua
" kamu mau apa dek? " ucapnya sambil melihat – lihat jajanan di sekitaran kami
"aku mau kolak pisang aja" jawabku menunjuk stand kolak di seberang kami
"ya udah yuk"
Kami menghampiri penjual kolak pisang. Iqbaal memesan lima porsi sekaligus. Mungkin untuk Teteh, Abi dan A Dimas. Setalah selesai transaksi kami mencari lagi jajanan.
"mau apa lagi ?"
"udah, kan untuk takjil doang. Lagian di rumah Teteh masak kan? Nanti ga ke - makan kalau kebanyakan makan takjil." kataku
"ya udah..mau kemana lagi? "
"keliling – keliling  aja dulu, sambil nunggu adzan magrib"
" siap nyonya " ucapnya sambil mengangkat tanganya di kepala memberi hormat padaku
"hahahha"
Kami melanjutkan perjalanan kami, hingga baru bebeapa langkah berjalan, dia menghentikan langkahnya
"eh bentar deh...itu ada rujak cuka. Kamu mau gak? "
"enggak ... kamu mau? Beli aja"
  "iya...kesana dulu yuk"
Dia menarikku ke arah stand rujak cuka yang terletak beberapa meter dari tempat kami berdiri.
“ ngantri” keluhku karena memang antriannya panjang sekali
“ iya, gimana dong? “
“ kamu mau banget” kataku memastikan
“ iya”
Dia mencari sesuatu dengan menoleh kanan kiri
“ nyari apa lagi? “
“ nah... kamu duduk dulu disitu, biar aku yang ngantri” ucapya sambil menunjuk bangku panjang dekat tukang bakso
“ eum... ya udah”
Aku berjalan menuju tempat bakso yang di tunjung Iqbaal
“ maaf, mang. Ikut duduk yah” kataku pada pedaganng bakso itu
“ silahkan neng”
Aku kembali melihat ke arah Iqbaal, kini dia sudah diantrian ke tiga. Aku mengerutkan dahi saat dia balik menatapku. Bahkan bukan sekedar menatap, dia memberikan kiss bye seraya berkata ‘I Love You ‘. Aku memang tak bisa mendengarnya , tapi aku tahu dia berkata seperti itu dengan membaca gerak bibirnya. Aku melihat sekelilingku takut ada yang melihat tingkah memalukan Iqbaal. Tapi syukurlah, semua orang disini sibuk dengan urusan mereka masing – masing. Mataku kembali beralih pada Iqbaal yang masih memberikan senyum jahil kepadaku.
Aku berpaling pada bapak pedagang bakso yang sibuk melayani konsumennya. Hingga dia membuka tutup panci mengeluarkan asap hingga tercium kaldu ayam dari dalamnya. Entah mengapa aku merasakan pusing dan mual tiba -  tiba. Mencium bau bakso yang biasanya aku suka.
Aku merasa ini tidak beres, aku menyusul Iqbaal yang kini sedang dilayani penjual rujak cuka.
“ kenapa kesini?” tanyanya
“ gak apa – apa, udah kan? “
“ iya, lagi di buatin”
"pedes atau sedeng? " sela ibu pedagang rujak
"yang pedes bu, pake banget" jawab Iqbaal
"bukanya kamu gak suka pedes? " timpalku
"lagi pengen yang seger – seger hehe" jawabnya
“ yang seger – seger mah makan Es” elakku
“ maksudnya yang nyegerin otak, bukan badan”
“ emang otak kamu kenapa? “
“ aduh... pokoknya pengen yang seger. Sejak mual – mual kemarin aku jadi pengen yang beda buat lambungku”
“ hahaha dasar aneh”
“ ekhem ... jadi pedes atau sedeng mas? “ tanya ibu pedagang
Tanpa kami sadari ternyata ibu itu menyaksikan perrdebatan kami dan menunggu jawaban dari pertanyaanya.
“ hahaha... pedes bu. Maaf ya, istri saya memang bawel”
“ iiiih ... “ ucapku mencubit manja lengan suamiku
Aku heran melihat tingkah Iqbaal akhir - akhir ini. Dia suka banyak makan dan selalu request makanan ini itu bahkan yang biasanya tidak dia suka.
"silahkan" ucap ibu pedagang sambil memberikan rujak cukanya ke Iqbaal.
Selesai transaksi kami melajutkan perjalanan
" Mau apa lagi ? " kini aku yang bertanya
"udah...yuk pulang bentar lagi maghrib"
Kami berjalan menuju parkiran motor. Tapi dia kembali salah fokus dengan menghentikan langkahnya tiba - tiba.
"dek ... bentar aku mau pisang ijo. Kamu mau gak? "
Aku megernyitkan dahiku mencari pisang ijo yang dia maksud. Ternyata pedagang tersebut ada dibelakang tempat parkir dimana kami berdiri sekarang.  Aku kembali menatapnya yang masih menunggu jawabankku
“ mau gak? “ tanya nya lagi
Aku menghela nafas dan menyisir poninya seolah memanjakannya
"suamiku ini kenapa sih? Semenjak sakit jadi doyan makan? " ucapku sambil mengacak manja poninya.
" hahaha kan aku udah bilang,  Kenapa yah? Yaudah yuk ... kita beli pisang ijo dulu" ucapnya
" iya “
Dia merangkulkan tangannya ke pundakku berjalan bersama menuju belakang parkiran tempat jualan pisang ijo tersebut,
“ pak, bungkus satu yah” kata Iqbaal ke bapak pedagang pisang ijo
“ pesen lima, buat Teteh , Abi dan A Dimas" timpalku
" oh ... lima bungkus pak"  koreksinya pada bapak pedagang tersebut
“ iya, mas”
Setelah itu, kami kembali menempuh perjalanan untuk pulang. Tepat saat Adzan Magrib berkumandang, kami baru sampai di Pondok. Kami menyantap semua takjil yang kami beli tadi.
Tapi , disaat kolak pisangku belum habis, justru Iqbaal sudah menghabiskan tiga menu takjil sekaligus. Rujak cuka, pisang ijo dan kolak.
"kamu lapar apa doyan le? " goda Teteh yang juga menelan ludah saat Iqbaal makan dengan sangat aneh
"pelan - pelan makanya, gak baik makan seperti itu le" ucap Abi
"iya Bi ... enak banget ini. Segerrr"
Aku membersihkan bekas makan yang tersisa di bibir Iqbaal. Dia makan dengan sangat rakus sehingga menyisakan noda makanan di bibir dan pipinya
"kamu tuh yah ... makan kok tumben rusuh gini" ucapku
"segerr dek, enak, cobain deh"
Dia menyuapiku rujak cuka yang sedang dia makan. Baru sampai lidah saja, rasanya isi mulutku sudah terbakar. Aku menelan  masuk ke tenggorokanku hingga terbatuk - batuk. Menurutku ini bukan makanan, tapi racun.
"nih minum - minum.." ucap Iqbaal sambil menepuk – nepuk punggungku
Dia memberiku minum dan mengusap air mata dan keringatku karena aku terbatuk hebat.
"pedes ssshhh banget hah  " ucapku terbata – bata karena kepedasan
"masa sih? " ucap Teteh tidak percaya
“ cobain” kataku sambil memberikan mangkok rujak kepadanya
Benar saja, meminum air nya saja sudah membuat wajah Teteh memerah kepedasan
“ hahaha iya ikh, Ya Allah” dia mengambil minum air hangat untuk meredakan rasa pedasnya
"kok kamu bisa lahap banget sih le makan ni rujak. Bukannya gak suka pedes? " ucap Teteh heran
"ini enak...seger Teh"
“ ikh, ini racun, bukan makanan tahu gak”
Semuanya tertawa, hingga di hentikan Abi karena gak baik jika makan bersuara. Kami kembali menyantap menu Takjil. Setelah itu kami siap – siap untuk shalat Maghrib.

Malam harinya saat sedang terlelap tidur, Iqbaal membangunkanku dengan menepuk - nepuk pipiku.
"apa sih A? " tanyaku kesal. Karena mimpi indahku diganggu olehnya.  Aku lihat ke arah jam dinding  menunjukan pukul sebelas  malam.
"di kulkas ada mangga ga? "
"gak ada, adanya jeruk. Mau? " ucapku malas membuka mata
"pengenya mangga " ucapnya
Aku membuka mata melihat dia dengan tatapan heran
"kamu tuh kenapa sih A ? kan bisa besok" ucapku kesal
"oh iya .. di pinggir pondok puteri ada pohon mangga kan? "
"tapi kan belum mateng A"
" gak apa – apa .. nanti kamu bikinin bumbu rujak yah, Aa yang manjat,  mau rujak buah"
" hoaaam... iya" ucapku malas sambil berbaring lagi di tempat tidur.
"dek ... ko tidur lagi sih"
"apalagi sih? " ucapku kesal
" anter ke halaman pondok nya,  kan mau ngambil mangga"
"astaghfirullah A., besok kan bisa"
"mau nya sekarang sayang, ayo dong"
"uuuh" ucapku sambil mencubit pipinya.
Dan akhirnya, disinilah kami. Tengah malam di bawah pohon mangga dengan bunyi burung hantu yang membuat suasana mencekam. Iqbaal mulai naik ke pohon mangga menggunakan tangga
"tangkap dek !!" ucapnya setelah berhasil mengambil mangga dari tangkainya
Aku mencoba menangkapnya, belum sempat aku menangkap yang satu, dia sudah melempar mangga yang lain hingga terkena kepalaku. 
"awww" ringgisku
"astaghfirullah, maaf dek" dia langsung bergegas turun dan menghampiriku. Dia memelukku sambil mengusap kepaaku
"maaf sayang" katanya lagi sambil meniup – niup  kepalaku yang sakit.
"udah..gak apa – apa , ayo. Udah cukup kan? Ini udah banyak lo” kataku
“ iya ayo”
Kami kembali masuk ke rumah dengan Mangga di tanganku dan di tangan Iqbaal . Aku langsung ke dapur untuk  membuat bumbu rujak yang Iqbaal pinta. Sedangkan dia bertugas memotong dan mengupas mangga.
Setelah selesai, dia benar - benar melahap habis rujak mangganya. Aku menelan ludah saat Iqbaal menyantap potongan mangga satu persatu – satu. Bukan karena ngiler, melainkan karena aku coba satu potong saja, mangganya terasa sangat masam. Sedangkan Iqbaal makan dengan lahapnya
" eurrrgh ... udah kenyang"  ucapnya sambil sendawa dan masuk ke kamar meninggalkanku yang masih ingin muntah mengingat kerakusannya
“ hei yank... kok masih disitu?  Ayo tidur lagi”
"kamu aja, aku mau masak untuk sahur."
"kamu rajin banget sih, harus jaga kesehatan, aku takut kamu sakit karena kurang tidur. Udah biarin Teteh aja yang masak"
" aku kalau udah kebangun, susah buat tidur lagi. Nanti juga kalau ngantuk aku tidur kok. Kamu kalau mau tidur, tidur aja”
Dia berjalan menghampiriku dan aku merasa takut
“ ya udah, jangan capek – capek yah” ucapnya sambil mengusap kepalaku dan mencium keningku.
Aku mengangguk , dia tersenyum dengan mata yang terlihat sudah terasa berat. Lalu dia berjalan ke kamar dan aku dapur mencari bahan masakan yang akan aku masak untuk sahur 
Setelah selesai masak untuk sahur, Teteh keluar kamar dan membuang sampah. Tapi dia terlihat cukup lama memandangi kresek sampah yang dia pegang
"ini kulit mangga muda? Banyak banget, siapa yang makan Li?"
" iya ... tadi Iqbaal mau mangga. Jadi dia manjat pohon mangga di halaman pondok putri" jawabku
"haaah? Serius? Tengah malam manjat - manjat pohon mangga? " ucapnya kaget
"beneran Teh ...  aku juga aneh banget semenjak sakit dia jadi rakus kayak gitu"
"hahaha ... iya, aku juga merasa seperti itu. Ya udah Teteh buang sampah dulu sambil bangunin yang lain"
"iya Teh"
Beberapa saat kemudian, aku membawa semua hidangan sahur ke meja makan, sudah ada Abi , A Dimas dan Iqbaal di meja. lsai sahur kami berbincang di meja makan. Kami mulai berdo’a dan menyantap sahur bersama
" Bi ... si Iqbaal aneh banget deh sekarang. Selain jadi rakus, masa dia manjat pohon mangga tengah malam. Hanya karena dia pengen mangga muda, nyuruh Lia anter lagi. Kan kasihan Lia"
"bnran Lia? "
Aku mengangguk sambil tersenyum sambil melihat ke arah Iqbaal yang sedang menyiapkan jawaban untuk melawan Teteh
"emang kenapa? Lia itu istri yang baik, dia aja gak masalah nurutin suaminya " bantah Iqbaal
"jangan - jangan kamu ngidam Le" timpal Abi tiba – tiba. Membuat aku tersedak dan Iqbaal membantuku mengambilkan minum.
"Abi apaan sih? masa laki - laki ngidam" bantah Iqbaal lagi
"kamu jangan salah, waktu almarhumah Umi kamu hamil kalian. Dua kali dalam seumur hidup Abi  ngidam. Mual, muntah  dan ingin makan ini itu, seperti kamu sekarang
Aku berfikir keras dan memang aku juga telat datang bulan hampir mau dua bulan
"kamu hamil dek? " tanya Iqbaal sambil memegang perutku.
"gak tahu, kan belum di cek"
" ya udah, nanti kan Teteh mau ke Bidan buat kontrol, kamu sekalian periksa aja. “
“ hah? Aku belum siap Teh. Makasudku, aku takut, di suntik ga? “
“ hahaha ya eggaklah Lia, Cuma di cek dan disuruh buang air kecil . Nanti di celupkan testpack ke dalamnya. Kalau enggak aku nanti aku beliin test pack dulu deh. Kalau positif, baru kamu cek ke bidan sama Iqbaal"
"iya teh, nitip yah" ucap Iqbaal
Lalu berkumandanglah Adzan Shubuh. Kami shalat berjamaah di Musholla. Lanjut belajar tahfiz bersama santri dan kembali ke rumah.
Di kamar, aku dan Iqbaal merenungkan apa yang dikatakan Teteh tadi. Sambil menatap langit – langit kamar sambil berpelukan.
“ kalau kita punya anak, kamu mau di panggil apa? “ tanya Iqbaal
“ hemm... Umi Abi gimana? “
“ bagus, kayak aku ke Abi dan Almarhumah Umi”
Tiba – tiba dia melepas pelukannya dan beralih berbaring di samping perutku sambil mengelus - elus perutku.
" hahaha ... kok di elus sih? ‘kan belum tahu hamil atau enggak" kataku
" ya... semoga aja bener, aku gak sabar" ucapnya sambil mencium perutku
“ aamiin” aku mengelus rambutnya yang sekarang tengah memeluk perutku
"sebenarnya aku juga telat datang bulan"
Dia langsung  terperanjat dan kembali tidur di sampingku. Menatapku dengan tatapan penuh intograsi seperti sudah menebak bahwa sesuatu memang sudah hadir dalam rahimku.
" berarti bener yank,kamu hamil”
“ semoga aja ya “ ucapku sambil menelusup kedalam pelukannya
"aamiin..."
Dia mengelus rambutku dan mencium pucuk kepalaku yenderkan kepalaku. Kami terlelap dengan hati bahagia menunggu kabar baik dari Tuhan
Siang harinya, aku menyiapkan baju koko untuk dia pakai mengisi ceramah pengajian ibu – ibu  komplek. Karena semenjak dia menggantikan Abi ceramah waktu Abi masih pemulihan, jadi banyak undangan acara pengajian untuknya
Aku memakaikan bajunya dan mengancingkanya satu persatu kancing bajunyna
"awas yah jangan sok ganteng, banyak ibu - ibu lho disana" ancamku
Dia mengalungkan tanganya ke pundakku yang masih mengancingkan baju koko nya
"ini kenapa sih? masa cemburu sama ibu - ibu" ucapnya lembut
"bukan cemburu, tapi kamu suka sok ganteng ke mereka. Mereka kan jadi gemes sama kamu"
"hahaha ... merekanya aja yang suka sama aku, ya aku bisa apa?"
“ iya kamu nya jangan genit"
"aku gak pernah genit" ucapnya mencoba meyakinkanku
"terserah deh, pokoknya jangan sok ganteng" ucapku sambil melepaskan rangkulan tanganya dari pundaku. Lalu aku pergi mengambilkan tasnya yang di gantung dekat lemari pakaian
"nih... hati - hati yah"
"iya sayang" ucapnya sambil menciun keningku.
Kami keluar kamar dan Iqbaal pamit kepada Teteh , A Dimas dan Abi. Setelah Iqbaal pergi, Teteh dan A Dimas pun pamit untuk kontrol ke bidan.
"aku juga pamit Bi ... mau ngajar anak - anak dulu. Abi gak apa - apa sendiri? " kataku
“ iya gak apa - apa , Abi juga mau keliling pondok. Kamu kunci pintu ya"
" iya Bi "
Aku mengajar di kelas Akhlak hari ini. Aku menghirup udara pondok yang sangat sejuk. Mengingat hari pertama kesini, membuat aku tak menyangka akan mendapatkan jodoh disini. Kini aku sudah menjadi istri Iqbaal, pria yang dulu aku intip kedatangannya dari balik kerumunan orang.

__o0o__

Selesai mengajar di sore hari, aku pulang dan ternyata Iqbaal, Teteh dan A Dimas sudah pulang. Aku mencium tangan Iqbaal setelah mengucapkan salam. Tapi ada yang aneh dengan ekspresi mereka. Semua menatap sebuah map yang ada di meja
"baru dateng A? "
"iya sayang" ucapya sambil menghela nafas
Aku duduk disamping Iqbaal. Hingga datanglah Abi keluar dari kamarnya dengan wajah yang tak kalah serius dengan Iqbaal dan Teteh.
“ Abi gak nyangka, selama berpuluh – puluh Tahun tanah ini di wakafkan oleh sahabat Abah, ternyata wakaf berjangka”.
“ apa gak ada bukti yang kuat untuk kita memenangkan pengadilan Bi? Kita bisa bawa hal ini ke jalur hukum. Abi sendiri kan yang bilang tanah ini dulu di wakafkan selamanya untuk pesantren ini” ucap Iqbaal. Sedangkan aku masih bingung dengan apa yang mereka bicarakan
“ gak ada le, bukti mereka lebih kuat dengan sertifikat kepemilikan tanah. Dan mereka memiliki tanda bukti juga tanah ini di wakafkan berjangka. Dan tahun ini sudah akan habis waktunya”
“Sedangkan Abi, surat perjanjian wakaf pun entah dimana. Abi sudah cari tapi gak ada. Abi ingat betul isinya bahwa tanah ini di wakafkan kepada Abah untuk pembangunan pesantren ini” lanjut Abi
Satu hal yang aku mengerti bahwa Abah yang Abi maksud adalah Abahnya Abi atau Ayah kandung Abi.
Semua menghela nafas menampakkan wajah kekecewan mereka
“ udah, kita bicarakan nanti saja. Mereka memberi waktu tiga bulan untuk mengosongkan lahan. Abi akan pergunakan waktu ini untuk mencari bukti untuk memenangkan lahan ini” ucap Abi
“ Abi gak sendiri, aku juga akan bantu” kata Iqbaal
“ aku juga” ucap A Dimas
Setelah itu, semua bubar menuju kamar – masing, tapi Teteh menghentikan langkah kami
"nih Lia, test pack nya. Di cobanya besok pas bangun tidur" ucap Teteh
" Ya Allah... aku sampai lupa dek” ucap Iqbaal membelai rambutku
“ makasih teh” ucapku pada teteh
“ iya, semoga ada kabar bahagia di tengah kesedihan keluarga kita”
“ aamiin ... emang ada apa sih teh”
“ Iqbaal aja yang cerita”
“ iya Teh, makasih ya testpacknya”
“ harus besok ya teh? Gak boleh sekarang? " tanya Iqbaal
"boleh sih ... tapi lebih akurat pas baru bangun tidur"
"ya udah tunggu besok aja" kataku
“ ya udah aku ke kamar dulu ya” pamit Teteh
“ iya”
Aku membaca  prosedur pemakaiannya. Tapi belum sempat aku baca satu hurufpun, sudah di ambil oleh Iqbaal.
" Jalan - jalan lagi yuk" ucapnya sambil menggenggam tanganku.
"jalan – jalan  terus kayak pengantin baru hahaha"
"kan biar awet hahaha"
Aku menghela nafas sambil menggelengkan kepala. Mungkin dia ingin melepaskan penat fikirannya yang tengah di landa masalah pondok ini. Maka aku memilih mendengar penjelasannya di jalan saja nanti.
" aku nyimpen ini dulu ke kamar" ucapku
"iya aku tunggu di motor yah"
"iya"
Begitulah keseharianku di bulan ramadhan. Ngabuburit dengan suamiku tercinta keliling kota Bogor. Sepanjang perjalanan, pelukanku tak mau lepas dari Iqbaal, seolah dia hanya milikku seorang.
Masih diatas motor ngabuburit berdua, Iqbaal selalu salah fokus dengan makanan di pinggir jalan.
"aku mau itu" ucapnya sambil menunjuk ke sostel (sosis telor) sebrang jalan tempat kami berhenti.
"ya udah beli"
Iqbaal menyebrangkan motornya menuju tukang sostel tersebut. Dia pesan lima seperti biasa untuk yang lainya. Setelah selesai transaksi, kami menaiki motor kembali.
" dek ... aku mau yang pedes - pedes"
"mau rujak cuka yang kemarin? " tawarku
"gak ah bosen"
"terus? "
"aku mau seblak ... ada gak yah? ".
"ya udah kita nyari seblak"
Motor melaju perlahan di tengah - tengah dagangan takjil. Tapi kami tidak menemui seblak yang Iqbaal mau.
"kita ke pasar aja yah .... beli bahan - bahan buat bikin seblak. Aku bikin aja seblaknya sendiri"
"beneran? kamu gak capek? "
"enggak" ucapku sambil senyum menatapnya
"makasih sayang" ucapnya sambil mencubit gemas pipiku.
Kami bergegas ke pasar dan membeli semua bahan seblak yang di perlukan.
“ A sebenarnya apa sih yang di maksud Abi tadi?” tanyaku
“ Tadi ada yang datang ke rumah mengaku sebagai putera pewaris tunggal dari pria bernama Adrian. Nah, Adrian ini adalah anak dari  sahabat Abahnya Abi yang Abi ceritakan tadi. Dia membawa bukti surat - surat tanah pondok yang dulu di wakafkan ayahnya. Lalu dia memberitahukan bahwa tanah yang di wakafkan ini di wakafkan hanya sampai tahun ini. Disitu tertera tanda tangan Kakeknya dan Abi. Sedangkan Abi merasa tanah ini diwakafkan selamanya oleh sahabat Abah tersebut.”
“Terus gimana A? “
“ ya itu, kita harus ada bukti yang kuat. Sedangkan Abi lupa nyimpen berkasnya dimana”
“ terus, kalau gak ketemu? Pondok ini akan jadi milik dia? “
“ ya, pondok ini diambil mereka dan santriya pun akan di bubarkan karena dia akan membangun perumahan disini”
“ Ya Allah ... kok tega banget sih A? “
“ Kita berdo’a aja semoga itu tidak terjadi”
Aku menghela nafas, berat sekali rasanya jika harus menyaksikan anak - anak santri menenteng koper keluar dari Gapura Pondok Pesantren Al – Hijrah.
Sesampainya di pondok, terlihat Abi tengah fokus membaca tumpukan berkas – berkas di atas meja dengan kacamata yang bertengger di atas hidungnya.
“ ini berkas – berkas apa Bi? “  tanya Iqbaal
“ berkas – berkas dari bagian administrasi pondok, siapa tahu ada surat perjanjian Wakaf. “
“ sini aku aja yang cari”
Iqbaal mengambil alih berkas – berkas tersebut dari tangan Abi . Terlihat mata Abi sangat lelah dan dia menyenderkan punggungnya di kursi yang dia dudukki.
“ aku ke dapur dulu yah” timpalku
“ dek “ panggil Iqbaal meghentikan langkahku
"cabe nya yang banyak"
" iya  tiga cukup? “
“ kurang dong, lima”
“ Ini cabe domba lho,  pedes banget satu juga"
"tapi aku pengen pdes banget sayang" ucapnya manja
“ ini apa sih? Mau masak apa emang Lia? “ tanya Abi
“ hehe seblak Bi, tuh anaknya ngidam kayaknya hahaa”
“ waah... udah positif? “
“ belum di tes sih, semoga aja positif”
“ aamiin”
“ ya udah Lia ke dapur dulu ya? “
“ iya”
“ lima ya yank”
“ iya” ucapku akhirnya
Setelah makanan sudah masak dan seblak Iqbaal pun sudah jadi, Adzan magrib pun berkumandang. Aku melihat Iqbaal masih sibuk dengan tumpukan berkasnya.

“ Bi... A ... udah adzan” ucapku
Mereka seperti tersentak mendengar suaraku. Ternyata benar, jika sedang serius, kita kadang lupa apa yang sedang terjadi saat ini
“ Astagfirullah, “ gumam Abi
“ Alhamdulillah dong bI, masa denger Adzan bilangnya Astaghfirullah hahaha” ucap Teteh
“ Abi hanya merasa khilaf, dikasih satu ujian aja, membuat Abi gak denger suara Adzan. Makanya Abi minta ampun, supaya pendengaran dan Hati Abi normal lagi” jelas Abi
“ Iya, ya udah ayo makan dulu. Gak baik menunda – nunda waktu berbuka” ucap Teteh
Kami berdoa dan langsung menyantap makanan kami. Berbeda dengan Iqbaal, dia langsung menyantap seblaknya dengan lahap. Aku menghentikan makanku dan mengelap keringat dan air matanya yang keluar karena kepedesan.
" enak huh banget hah dek ... makasih huh yah hah" ucapnya terbata - bata
"jangan sambil ngomong, keselek nanti" ucapku sambil masih mengelap keringat di seluruh wajahnya
"kamu tuh le ... perut kosong di kasih yang pedes" ucap Abi
"iya ... panas lo nanti perutnya" Timpal Teteh
"enak Bi .. seger"
"udah jangan di abisin ... muka kamu udah merah gitu" ucapku
" sayang, mubazir. Lagian ini seblak terenak yang pernah aku makan. Besok bikinin lagi ya"
"huh susah yah di kasih tahu..." ucapku kesal
Kami menyantap makanan kami hingga habis. Dilanjut shalat magrib
Selesai shalat magrib Iqbaal langsung ke kamar dan tengkurep sambil nahan perutnya dengan kedua tanganya. Membuat aku menghampirinya karena cemas
“ kenapa kamu? “ tanyaku
"panas perut " ucapnya sambil merintih kesakitan
"tuh kan ... susah sih di bilangin"
Aku memijat pinggangnya dan ku balur menggunakan minyak gosok.  Setelah itu, aku beranjak untuk Pergi ke warung membeli susu penyegar supaya perutnya stabil. Tapi dia menarik tanganku dan menahanya.
"mau kemana? "
"beli susu penyegar, biar perut kamu  seger"
"ga usah ... aku udah enakan ko barusan di pijit. Mending sini aja temenin aku tidur"
"bentar lagi kan teraweh. Ko malah tidur? "
"bentar aja ... sampai adzan Isya. Ayo cepet sini"
Aku berbaring di sisinya dan masih dalam keadaan tengkurep dia memelukku dan menatapku.
"maaf ya dek ... aku ngerepotin".
"ngerepotin apa? "
"gara – gara aku banyak mau, kamu jadi cape" ucapnya sambil membelai rambutku.
"aku ga cape kok" ucapku sambil tersenyum balas menatapnya.
"kamu emang istri yang baik" ucapnya sambil mengecup keningku.
" ada yang bilang jodoh itu cerminan diri kita. Jadi kalau aku baik, karena kamu nya juga baik" balasku
Dia tersenyum menatapku, tapi tiba – tiba terdengar suara Teteh dari luar.
" Le, Lia ... mau bareng gak ke mesjidnya?”
"duluan Teh, kita nyusul" teriak Iqbaal.
"iiih ... kenapa gak bareng aja? " protesku
"bentar aku masih betah meluk kamu"
"iiiihhh, ayo ... bentar lagi adzan"
"bentar aja sayang, sampai adzan aja"
"huft...." lenguhku kesal
Aku menyenderkan kepalaku di dadanya. Kini dia sudah terbaring. Kami tidak berbicara, hanya menikmati pelukan saja. Hingga akhirnya adzan Isya berkumandang.
" naaah adzan ... yukk..."
"iya..."
Kami mengambil wudhu dan aku mengenakan mukenaku. Kami berjalan bersama menuju mesjid dan selanjutnya kami shalat berjamaah bersama para santri di mesjid pondok.

Keesokan harinya, sesuai pesan Teteh, begitu aku terbangun jam 2 pagi. Aku langsung mencoba testpack dari Teteh. Dan hasilnya keluarlah dua garis merah pertanda aku positive hamil. Aku langsung ke kamar dan menindih Iqbaal supaya dia bangun. Dia terlihat meringgis kesakitan dan membuka matanya yang masih berat
" bangun..." ucapku  sambil menepuk – nepuk pipinya.
" eummmh"  lenguhnya belum bisa membuka mulut tapi sudah bisa membuka sebelah matanya
"aku hamil" ucapku antusias
Barulah dia bisa membuka matanya dan beranjak duduk mengahadapku sambil memegang pundakku
"Beneran?" Tanyanya antusias
Aku mengangguk dan memperlihatkan test pack nya kepada Iqbaal. Dia memeluku dan menciumi pipi dan keningku.
"alhamdulillah..." serunya
Kami berpelukan sangat lama. Hingga aku tak sadar bahwa aku belum menyiapkan sahur. Aku melepaskan pelukanya dan mencium pipinya.
"aku nyiapin sahur dulu yah"
"jangan ... kamu istrahat aja. Dari kemarin - kemarin kamu udah capek banget ngurusin aku yang ngidam. Sekarang aku aja yang ke dapur. Kamu tidur lagi yah" ucapnya
" aku gak bisa tidur lagi kalau udah bangun"
"ya udah berbaring aja sambil main handphone" titahnya
" aku ikut aja ke dapur, liat kamu masak , gimana ?" tawarku
"mau jadi mandor nih ceritanya?" godanya
“ iya hehe ,”
“ ya udah yuk” ucapnya sambil menggendogku
“ ikh... kenapa harus di gendong?
“ nanti kamu kecapean”
“ lebay banget sih haha ... turunin gak? “ ucapku dengan nada mengancam
“ hemh... di manjain gak mau”
“ manjainnya lebay tahu gak, kan malu kalau diliat yang lain”
“bener ya, perempuan tuh, di manjain di bilang lebay, gak di manja dibilang gak perhatian”
“ jadi kamu ngerasa selalu salah jadi laki – laki?”
“ enggak, memang perempuan selalu benar”
“ jadi mau masak jam berapa? “ ucapku mengingatkannya
“ hehe sekarang sayang, ayo”
Kami berjalan menuju dapur dengan dia merangkul pundakku
Di dapur, Iqbaal dengan cekatan mengiris bawang dan memasak makanan sahur kami. Aku memperhatikannya sambil duduk di kursi dapur. Hingga datanglah Teteh yang sepertinya akan ke kamar mandi tapi terhenti karena adiknya sedang memasak .
"tumben Le, ada angin apa nih? ".
" angin segar dari rahim Lia”
" haaah??? kamu udah coba test pack nya? " tanya Teteh sepertinya sudah tahu apa yang di maksud ‘angin dari rahim Lia’ yang Iqbaal katakan
Aku menjawabnya dengan anggukan kebahagiaan
"alhamdulillah...nanti anak kita gak akan jauhan dong umurnya"ucapnya senang
"iya biar rame nih rumah Abi" sahut Iqbaal
Datanglah Abi dengan wajah baru bangun dari tidurnya
"apa nya yang rame di rumah Abi? " tanya Abi
"Abi akan dapat dua cucu sekali gus ! "jawab Teteh
"hah? " ucap Abi sambil setengah sadar
"iya .... Lia hamil Bi"
" alhamdulillah..” ucap Abi sumringah
“ kalau gitu Le, Kamu stop ngerepotin istri kamu ini" lanjut Abi
"iya ..makanya sekarang aku gantiin Lia masak" jawab Iqbaal
"iya bagus itu. Teruskan" ucap Abi sambil berjalan ke toilet
"nanti anter Lia ke bidan Le, biar tahu umur kandunganya" kata Teteh
"iya nanti siang kita ke bidan" jawab Iqbaal sambil mengoyak – ngoyak bumbu di wajan
Selanjutnya kami sahur seperti biasa. Hingga obrolan menjadi tegang kala Abi mengeluhkan tidak ditemukannya surat bukti tanah Wakaf pesantren ini
“ jadi gimana dong bi? Bagaimana kita meyakinkan mereka bahwa tanah ini sudah di wakafkan? “
“ Abi juga bingung , andai ada surat bukti wakaf itu, pasti kita bisa bawa masalah ini ke jalur hukum. “
Semua menghela nafas lelah
“ kasihan para santri jika mereka harus keluar dari pondok ini” Lanjut Abi
“ kita demo aja, para santri pasti mau kita ajak demo. Kali aja mereka takut jika kita serang” ucap Iqbaal
“ jangan, ini masalah Abi. Santri gak usah kita bawa – bawa ke masalah ini. Lagian umur mereka tuh masih labil. Abi takut emosi mereka menyeruak dan berakhir pada kekerasan. Naudzubillah” bantah Abi
“ sudah lah, kita fikirkan nanti. Kita bisa tanya ke RT/RW kalau gak salah, ada rekapan surat itu di kelurahan”
“ iya semoga ada Abi”
“ Dimas juga lagi cari pengacara terbaik Bi, semoga dia bisa bantu kita” Timpal A Dimas
“ Terimakasih Dim, sebenarnya Abi juga punya pengacara. Pas kemarin di telephon, dia sedang tidak ada di Indonesia. Tapi dia akan mengirim anak buahnya untuk membantu kita”
“ syukurlah kalau begitu, pokoknya Abi jangan banyak fikiran.  Masalah orang tua adalah masalah anaknya juga. Jadi ini masalah kita bersama, jadi selesaikannya pun bersama – sama”
“ betul” kata Iqbaal
“ semoga cepat selesai, aamiin”
“ aamiin”





 Jadi ini masalah kita bersama, jadi selesaikannya pun bersama – sama”
“ betul” kata Iqbaal
“ semoga cepat selesai, aamiin”
“ aamiin”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
UHIBA LIA ( SUDAH TERBIT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang