Prolog

86 9 7
                                    

Jika seorang anak dapat memilih dari keluarga mana ia akan lahir, mungkin aku akan memilih untuk tidak di lahirkan ke dunia ini.

Terlalu banyak rintangan yang harus aku hadapi dengan sendirinya. Terlalu banyak penderitaan untuk mencari sebuah kebahagiaan. Terlalu sulit untuk berkata demi mengutarakan sesuatu yang benar.
Kejujuran sudah tak terlalu berharga disini, hanya kedustaan yang mengisi hari hariku.

Iri rasanya melihat anak seusiaku tumbuh dengan keluarga yang utuh dan bahagia, dengan kasih sayang dari orangtua mereka, dengan pelukan hangat, dengan perkataan manis dan lembut yang selalu di ucapkan orangtua mereka tanpa ada kata dusta.

Mendengar kata Mama dan Papa, selalu menjadi hal asing yang seakan akan akupun tak pernah mengucapkannya. Terlalu sakit untuk mengingatnya. Terlalu panjang kisah kelam yang aku derita.

Tak pernah aku mendapatkan kata sayang dari mereka, hanya teriakan dan makianlah yang sering aku dengar tak kala usia ku belum menginjak satu tahun.

Suara merdu dan belaian dari seorang Ibu seharusnya dapat meredakan suara tangisanku saat itu. Namun yang ku dapat hanya makian dan ruangan gelap yang selalu menjadi temanku.

Hingga aku mulai memasuki taman kanak kanak, mereka terus saja bermakian dan memecahkan barang apapun di rumah, dan tak menganggap keberadaanku saat itu. Aku yang terlalu lemah dan lugu tak bisa berbuat apa apa, hanya tangis ketakutan yang selalu aku keluarkan di setiap harinya.

Aku terus tumbuh dengan berada di lingkungan keluarga yang tak sehat. Seorang ayah yang tak pulang pulang, seorang ibu yang mabuk mabukan, membuat masa kanak kanakku hilang tak kala aku harus menjadi babu di rumahku sendiri.

Sabut, penyapu, pengepel, dan kain perca lah yang menjadi mainanku kala itu. Impianku yang ingin mendapatkan mainan cantik seperti teman temanku yang lainnya, tak dapat aku kabulkan. Kata memohonku sering kali berakhir dengan sebuah teriakan dan amukkan.
Lagi lagi hanya tangisanlah yang dapat menemani keseharianku.

Waktu terus berputar sampai aku beranjak remaja, saat itu keluargaku menjadi semakin buruk, hampir disetiap harinya aku berbuat sesuatu yang salah yang aku sendiripun tak tau telah melakukan apa. Pukulan dan cubittan selalu aku dapatkan di pagi maupun malam hariku.

Di tambah lagi dengan kehadiran seseorang pendamping baru mama yang membuat papa murka, hingga akhirnya perceraian menjadi jalan terbaik untuk kedua orangtuaku.

Perceraian tersebut memang sangat baik untuk mereka, namun tidak untukku. Semakin hari mama dengan pesonanya selalu membawa pria lain kerumah, dan itu semakin membuat hatiku sakit. Seorang wanita yang kini telah ku pandang rendah, aku tak bermaksud untuk membencinya, namun dia sendiri yang menimbulkan perasaan benci ini di diriku.

Hingga akhirnya aku di pertemukan dengan seorang malaikat paruh baya, seseorang yang aku tak pernah berfikir tentang keberadaannya, seseorang yang menyelamatkanku dari kesengsaraan ini.

Ia yang biasa di panggil Nenek.

Kehidupanku mulai membaik saat aku tinggal di rumah nenek dengan sepupu sepupuku. Nenek selalu menjadi orang pertama yang selalu membuatku semangat menjalani hidup.

Sejenak aku mulai lupa dengan masa kelam ku dahulu. Hari hari ku mulai ceria semenjak aku menginjak bangku SMP dan bertemu dengan teman sekaligus sahabat, serta orang orang yang baik kepadaku. Akupun menjadi gadis periang.

Pagi hari selalu di hiasi dengan indahnya dentingan garpu dan sendok di meja makan, serta senda gurau yang kami berikan. Nenek selalu menjadi orang terbahagia saat mendengarkan celotehan kami. Sejenak aku menjadi anak terbahagia di dunia.

Memiliki seorang yang sangat berarti melebihi apapun di dunia ini memang sangat menyenangkan, dan orang tersebut selalu dapat membuat kita bahagia. Tak pernah aku pikirkan untuk pisah dengan nenek saat itu.

Namun kehidupanku memang tak selalu bahagia, tiga tahun setelahnya, aku melihat dengan sendirinya perkelahian hebat antara mama dan nenekku. Mama yang murka dengan ringan mendorong nenek hingga terjatuh dan membentur meja yang kala itu berada di belakangnya.

Om, Tante, dan semua keluargaku menghampiriku dan mengirim mama ke penjara, setelah di periksa lebih lanjut, ternyata mama menderita penyakit jiwa.

Sedangkan nenek saat itu tak sadarkan diri dan koma selama satu bulan di rumah sakit. Aku merasa sangat hancur, di saat aku mulai menemukan arti kebahagiaan kini lenyap seketika. Dan yang paling membuatku sedih, saat dokter datang ke hadapanku dan keluarga dan memberitahukan bahwa nenek terkena amnesia.

Penyakit tersebut membuat nenek berubah 180 derajat dari sifatnya yang dulu, nenek yang ku kenal selalu manis, lembut, dan tak pernah memerintah, kini menjadi nenek yang paling aku takutkan di dunia ini. Penyakit tersebut membuat nenek lupa kepadaku, hanya kepadaku. Dan menganggapku sebagai pembantu di rumahnya.

Om dan Tanteku seakan tak perduli dengan nasibku, serta semua saudara sepupuku yang mulai menjadikanku sebagai babu mereka.

Setelah hampir tak lulus saat ujian sekolah, kini aku menjadi gadis yang teramat diam, gadis yang tak memiliki etika, gadis nakal yang tak pernah memikirkan perasaan orang lain, dan gadis tomboy yang selalu membuat onar di sekolah. Sekarang tak ada lagi harapanku untuk bahagia.

AleyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang