(5)

48 6 5
                                    

Leo pov.

Jadi ibunya si dia gila? wah bisa jadi berita bagus nih. Hah rasain lo, berani macem macem ke gue.

Lagian siapa suruh berurusan dengan seorang raja hutan, nama gue Leo yang pasti gue ini penguasa, nggak ada yang bisa ngehalangin langkah gue.

Normal pov

"Ngapain sih pake dateng segala"

Satu batu berhasil terlempar ke danau.

"Niat banget pengen malu maluin gue"

Satu batu lainya terlempar juga ke danau.

"Kalo ga suka sama gue, kenapa nggak sekalian aja bunuh gue"

Batu lainnya terlempar ke danau.

"Siapa yang mau ngebunuh lo?"

Satu batu meleset, akibat suara tersebut.

"Ngapain lo kesini? belom cukup tonjokan dari gue" ucap Aleya tanpa menoleh ke arah Leo yang kini berdiri di sebelahnya.

Tak sengaja Leo melihat darah beku yang masih berada di sudut bibir Aleya.

"Lo nggak obatin memar lo? nanti makin parah loh"

"Siapa elo? peduli banget sama gue!" jawab Aleya masih dengan memandang danau di depannya.

"Gue cuma mau bilang, anak orang gila kayak elo nggak pantes berurusan dengan gue, jadi mending lo jauh jauh deh dari gue."

"Lo! — arkhh" erang Aleya saat luka dibibirnya terasa sakit.

"Udah lah, kalo masih lemah dan emang lemah, nggak usah sok sok an ngelawan gue, lo bakalan tau akibatnya kalo lo punya masalah sama gue."

"Trus lo pikir gue bakalan diem aja? bakalan mewek trus merasa hidup gue hancur gitu? ck pikiran lo salah. Gue tau nyokap gue gila, gue tau gue bukan orang kaya atau apalah, tapi gue cukup nyadar diri buat nggak ikut campur urusan orang. Gue juga nggak selemah lo yang baru di ancam udah melipir ketakutan!" Ucapan Aleya tersebut membuat Leo bungkam diam seribu bahasa. Tak lama Aleya pergi meninggalkan Leo yang tengah menahan malu dan emosinya.

Di perjalanan Aleya merasa ling lung, tak tau akan kemana, tak mungkin ia pulang kerumah, karna ia malas bertemu dengan keluarganya.

Sampai akhirnya ia memutuskan untuk ke minimarket dan membeli obat obatan untuk mengobati lukanya, tak lupa ia membeli sapu tangan dan es batu untuk mengompres luka memarnya.

Setelah membeli semua itu, ia pergi ke sebuah cafe dan memesan minuman kemudian ia mengobati luka lukanya.

"Arkhh sakit banget sih" ujarnya sambil menekankan kompres ke lukanya.

"Mba ini pesanannya" ujar seorang pelayan wanita sambil meletakan secangkir teh ke meja.

"Makasih mba" ucap Aleya sambil tersenyum. Sang pelayan tadi menatap Aleya dengan raut wajah kasihan sebelum akhirnya ia pergi dan melayani pembeli yang lain.

"Duh perih banget, udah berapa kali pipi gue di tampar, gue kira bakalan kebal, tau nya malah tambah sakit" ocehnya sambil menekan wajahnya dengan kompres.

Saat ini hampir seluruh isi cafe memandangnya, bagaimana tidak, Aleya masih menggunakan seragam sekolahnya yang lusuh dengan wajahnya yang babak belur.

Bahkan ada beberapa orang yang membicarakannya. Namun ia tak ambil pusing dan tetap melanjutkan aktivitasnya.

Kebetulan Daniel tengah berada di kafe yang sama dengan Aleya, dia melihat Aleya dan mendatanginya.

"Al lo kenapa?" tanya Daniel yang langsung duduk di hadapan Aleya.

"Gue berantem sama Leo" jawab Aleya  seadanya.

"Lah kok bisa? jadi yang ribut ribut tadi itu elo?" tanya Daniel dengan nada khawatir. wajar saja khawatir, toh Aleya kan sahabat Daniel juga.

Aleya mengangguk dan terus membersihkan lukanya.

"Kalo gue tau itu lo, pasti bakalan gue bantu, ah bodo banget si gue, malah gue ngejauhin Dhenis dari tempat itu, sorry banget ya Al" cerocos Daniel dengan wajah kesalnya.

"Biasa aja kali, nggak usah bacot gitu, gue cuma luka dikit doang, lagian besok juga reda sakitnya" ucap Aleya santai.

"Eh gue cabut dulu ya, bayarin tu teh gue" Sambung Aleya, kemudian pergi meninggalkan Daniel yang tengah menggeleng gelengkan kepalanya.

Keesokan harinya

"Aleya! sini kamu" panggil bu Leni saat bertemu dengan Aleya di gerbang sekolah.

"pagi pagi udah kangen aja sama gue" batin Aleya.

"Kenapa bu?" tanyanya saat sudah di depan bu Leni.

"Ikut keruangan ibu sekarang, ada yang mau ibu bicarakan sama kamu"

Aleya pun mengikuti bu Leni ke ruangannya, sesampainya disana dia di sungguhkan lagi dengan Leo yang sudah duduk manis di kursi ruangan tersebut.

"Buat kamu Aleya dan kamu Leo" tunjuk bu Leni ke arah mereka dengan penuh penekanan.

"Kalian sudah sangat keterlaluan, berita kalian itu sudah sampai di SMA SMA lain, kalian udah menjelekan nama sekolah apa lagi kamu Aleya, kenapa kamu malem malem masih berkeliaran menggunakan seragam sekolah"

"Ya gimana lagi bu, saya nggak bisa pulang awal" jawab Aleya santai.

"Ya wajar kalo ibu kamu marah sama kamu, kamu itu anak perempuan, nggak seharusnya kamu berantem sampe babak belur kaya begitu"

"Ibu nggak tau apa apa tentang saya, kalo ibu mau kasi saya hukuman kasi aja bu, ibu nggak perlu ngomong kaya gitu ke saya" ujar Aleya dengan nada dinginnya.

Sang guru hanya bisa menggeleng dan menghela napasnya, kemudian beralih ke Leo.

"Kamu Leo, kalo sudah merasa jago jangan kamu berantem sama anak perempuan, dan kalo mau berantem jangan di sekolah, sekolah itu tempat belajar bukan tempat berantem, ingat itu."

"Iya bu iya"

"Kalian berdua ibu hukum bersihkan toilet yang ada di dekat kantin, tetapi nggak sekarang, pulang sekolah nanti" keputusan yang di beri oleh bu Leni membuat Leo mebelalakan matanya, sedangkan Aleya tetap santai menerima hukuman.

Di luar ruangan Leo tiba tiba saja menarik tangan Aleya yang hendak pergi ke kelasnya.

"Apaan sih" Aleya menepis tangan Leo.

"Gue nggak sudi harus ngebersihin toilet, dan gue mau lo yang ngebersihin semuanya."

"Ngaca dong mas nya, udah bikin masalah, malah nyuruh nyuruh orang lagi. Heloo emang situ siapa bisa nyuruh nyuruh gue!" teriak Aleya tepat di wajah Leo.

Sesampai Aleya di kelas, semua mata temannya menuju kearahnya, bahkan guru yang sedang mengajarpun berhenti karena Aleya datang tiba tiba tanpa permisi.

"Heh kamu, kenapa telat datang ke kelas?" tanya pak tony, selaku guru matematika ter killer.

"Hukuman apa yang akan bapak kasih ke saya?"

Sontak satu kelas kaget dengan ucapan Aleya.

"Karna kamu yang minta, bapak mau kamu berdiri di lapangan, sampai pelajaran selesai!" ujar pak Tony dengan tegas.

Aleya pun berjalan keluar dan mengambil posisi untuk hormat ke bendera. Di bawah sinar mata hari yang terik, ia berdiri dengan kokoh tanpa goyang sedikitpun, air keringan bercucuran dari dahi nya yang membuat helai rambutnya basah.

"Lah dia di hukum lagi?"


AleyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang