25

212 23 0
                                    

Pajar menghela nafas berat,ia menelan saliva nya dengan susah.
"mereka memang brengsek!" Geramnya, tangannya meremat kuat gelas es kopi yang sudah tandas.
Badar dan Saras telah pergi beberapa menit lalu, ia masih tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja ia dengar. Berharap bahwa ini hanyalah mimpi? Itu tidak mungkin ,setiap detik yang ia rasakan, semuanya jelas nyata.

Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang bergetar. Air matanya tak mampu lagi ia bendung, ia tak peduli dengan tatapan beberapa pekerja kafe nya. Kenapa harus seperti ini? kenapa penulis skenario hidupnya tidak membiarkannya merasakan kebahagiaan dibalik penantian? Ia frustasi, sangat. Dia sebenarnya sudah tidak lagi berharap akan kedatangan Mamanya. Ia saja yang memang tidak terlalu berharap sudah sehancur ini. Sedangkan Bintang, dia lebih berharap darinya, apa yang akan terjadi jika ia tahu, ia tidak sanggup membayangkannya.

Rasanya ia sangat ingin memberi hukuman yang setimpal untuk mereka. Tapi ia tidak bisa karena ia telah membuat kesepakatan dengan kedua orang brengsek itu, dan ia melakukan semua ini demi adiknya.

Ia merogoh saku celananya ketika merasakan getaran dari handphone nya, tertera nama Digo.

"Halo..." suaranya terdengar serak.

"........"

Seketika matanya membulat sempurna setelah mendengar suara di seberang telepon.
"Bawa adik gua ke Rumah Sakit biasa dia di rawat."
Pajar langsung menutup telponnya sepihak, lalu beranjak dari kafe nya, belum sempat ia selesai menenangkan diri, ia malah langsung dilanda ketakutan terbesarnya.

Dede si pelayan kafe memandang kepergian Pajar dengan keanehan.
"Ada apa dengan bos kita?" Tanya seorang perempuan berseragam sama dengannya.

Dede menatap perempuan tersebut. "Pajar tidak akan suka jika ada yang mencampuri urusannya, apalagi disini kita hanya pekerjanya. Urusi saja urusan mu sendiri, masih banyak pekerjaan yang harus kau kerjakan." Ujarnya dingin, setelah itu ia berlalu dari hadapan perempuan yang masih syok itu.

"Ada apa dengan nya, apa dia sedang dalam masa pubertas?" Gumam perempuan itu, sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

°°°°°°

"GARA-GARA LO BINTANG JADI KAYAK GINI..!" Teriaknya bergema di sepanjang lorong, Digo sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Tiba-tiba Zio datang dengan Bintang yang sudah diambang kesadarannya berada di gendongan nya. Ia panik melihat sahabatnya sudah hampir tak sadarkan diri, sedangkan Bayu ia berusaha terus menenangkan nya, Bayu juga sangat marah pada Zio tapi daripada membuang energinya, ia lebih baik menenangkan Digo, karena ia tahu Digo adalah orang yang tidak bisa mengendalikan emosinya. Sekarang mereka sedang menunggu penanganan selesai,di depan ruangan UGD.

"Ini bukan salah gua! Gua gak ngelakuin apa-apa!" Zio berusaha membela diri, ia menepis tangan Digo dengan kasar saat tangan Digo mencengkeram kerah jaket nya, merasa tak bisa terus di sudutkan seperti ini.

"Lo gak usah mengelak ! Setelah ini gua bakal bikin perhitungan sama lo...!"

"Gua gak takut...!" Zio mulai menaikan nada bicaranya.

"LO..." hampir saja terjadi pergelutan antara mereka, namun Bayu segera melerai mereka, ia menarik Digo yang terus meronta ingin menghabisi Zio.

Bugh...!!

Merasa tak ada cara lain untuk menenangkan sahabatnya itu, ia akhirnya mengambil cara terakhir, ia memukul Digo tepat pada rahangnya. Digo langsung berhenti meronta, ia tertunduk dalam.

"Digo... sorry gua terpaksa lakuin ini, lo harus tenang, gua tahu apa yang lo rasain, tapi ini Rumah Sakit, kita jangan buat keributan disini, atau lo mau di seret keamanan karena telah membuat keributan!? Di dalam Bintang sedang berjuang, sebaiknya kita do'a kan dia, lo ngerti kan?" Bayu memegang kedua bahu Digo menatap kepala tertunduk itu, Digo  menganggukkan kepalanya, ia mengaku ia salah, lalu ia berlalu menghampiri pintu ruang UGD,memandang dengan mata yang berkaca-berkaca,penuh harap.

Thanks Brother✔ (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang