27

187 11 0
                                    

Hari ini Bintang sedang menjalani kemoterapi, ini adalah kali pertama sejak ia kembali di vonis.Pajar duduk di sofa berpangku tangan memperhatikan dokter Farhan yang sedang melakukan pekerjaan nya.

Setelah beberapa menit Pajar melihat dokter itu berjalan kearahnya.
"Apakah sudah selesai?"

"Kalau yang kamu maksud pekerjaan saya ya, tapi bagi Bintang ini baru saja dimulai, kamu temani dia ya, saya keluar dulu."  Ujarnya sambil menepuk bahu Pajar.

Pajar membaringkan tubuhnya diatas sofa. Hari ini ia tidak ada kelas, sejenak ia juga ingin rehat dari tugas kuliah yang sangat menguras banyak energinya. Ditambah lagi kini suatu hal besar telah terkuak.
Sesekali ia melirik adiknya yang masih terlihat tenang berbaring diatas ranjang pesakitan, dan ia yakin itu tidak akan bertahan lama.

Perlahan Bintang menutup matanya yang semakin memberat, ia hampir saja tertidur jika tak merasakan usapan lembut pada bahunya.
"Kak lo hari ini gak kuliah?" Tanya nya dengan suara serak.
Pajar hanya menggeleng kecil, tak ingin banyak bicara hari ini.

"Gua ngantuk." Ujar Bintang, ia menutup matanya. Setelah itu hanya terdengar hembusan napas teratur oleh telinga Pajar.

Melihat wajah lemah adiknya
lagi-lagi ia teringat kembali  pertemuannya dengan Badar dan Saras beberapa hari lalu.

°°°°°




"Dulu..... saat adikmu masih dalam kandungan, dan umurmu baru menginjak empat tahun, kami membuat sebuah pejanjian, namun orang tua mu malah mengingkari janjinya setelah adikmu lahir....»"

»»»16 tahun yang lalu«««


" maap kan aku, aku tak bisa menepati janji, aku tak sanggup. Ku mohon mengertilah Saras." Wanita yang baru saja melewati proses persalinan itu bersimpuh di kaki Saras yang saat ini tengah menahan amarahnya.

"Kenapa kau lakukan ini padaku!?" Teriak Saras, tanpa merubah posisi nya yang berdiri kokoh, dengan seorang wanita yang bersimpuh memegang kakinya.

"Ma... maap kan aku Saras." Wanita itu terisak, dia menumpahkan tangisannya, sangat menyayat hati.

"Kau sudah berjanji padaku Wida...! Kita sudah bersahabat sangat lama, dari dulu aku selalu berkorban untukmu, tapi KAU. Apa yang kau berikan padaku!?" Saras berusaha menahan emosinya yang kian memuncak, ia berjongkok ingin menatap  mata berair Wida yang bersimpuh di kakinya.

"Kau sudah memiliki Pajar, dia anak yang pintar, manis, tampan. Ku mohon berikan BINTANG padaku, ku mohon...!" Saras mencengkram kedua bahu Wida yang bergetar, sedangkan Wida hanya menggelangkan kepalanya.

"Wid, kau anggap saja sedang berhadapan dengan pengemis! Aku memohon padamu, aku meminta bantuanmu Wida. Aku cacat, aku tak bisa memberikan keturunan untuk mas Badar, aku tak bisa menjadi wanita seutuhnya seperti mu! Aku mohon, aku sangat ingin." Saras meneteskan air matanya, tak sanggup lagi menahan kesedihan sekaligus kekecewaan yang teramat menghancurkannya.

"Maapkan aku Sar aku tak bisa memberikan Bintang padamu, aku... Aku sangat menyesal telah menjanjikan semua ini, aku tidak bisa.... Ma... maap." Wida membalas tatapan Saras berharap Saras mau mengerti.


Cengkraman Saras terlepas saat mendengar perkataan Wida.
"Dulu... kau bilang aku adalah penolongmu, aku adalah malaikat mu, karena aku adalah suatu-satunya orang yang sudi berteman dengan wanita miskin seperti mu. Kau juga pernah bilang, kau rela memberikan apapun untuk ku, karena aku adalah separuh jiwa mu. Namun itu semua kini terjawab, bahwa semua yang keluar dari mulut manismu itu....BOHONG!!."
Saras berdiri, tak ada air mata lagi, kini ia merasa dihianati, ia sangat kecewa, sangat marah.

Wida masih bersimpuh di kaki Saras, ia menggeleng keras berusaha memberitahu bahwa Saras salah, semuannya SALAH, namun mulutnya terkunci oleh isak tangisnya.

"Jadi ini akhirnya, persahabatan kita cukup sampai disini. Aku menyesal pernah mengenalmu, aku sangat MENYESAL. " Saras tersenyum miris, dengan cepat ia mengusap mata berair nya dengan punggung telunjuknya.

"Semoga kau bahagi bersama keluarga mu." Setelah itu Saras  pergi dari hadapan Wida.


Sedangkan di tempat lain, mereka terlihat tenang duduk diatas bangku menghadap danau, tapi walaupun mereka terlihat tenang itu semua berbanding terbalik dengan perasaan mereka masing-masing.
"Badar.... kami tidak bisa menepati janji kita pada kalian, maap kan kami." Dia menghela napas berat, ia tertunduk tak berani beradu tatap dengan lawan bicara nya.

"Aku sangat kecewa setelah mengetahui semua ini." Badar memandang lurus ke arah danau yang beriak oleh angin malam yang dinging.
Ia memejamkan mata sejenak.
"Tapi, aku sadar bahwa semua ini tidak lah benar, aku... tak tahu harus berbuat apa. Aku menerima Saras apa adanya, tapi tidak dengan dirinya, dia tidak mampu menerima kenyataan, dia tidak menerima dirinya sendiri."

"Ku mohon kalian mau mengerti!"

"Fadil.... kalian sudah sangat beruntung memiliki satu putra-Pajar. Jika kalian memberikan pada kami Bintang, kalian masih mampu memiliki keturunan lagi. Sedangkan bagi kami, itu semua hal yang mustahil. Apakah kalian tidak bisa membagi kebahagiaan kalian?"
Kini tatapan mereka beradu, Fadil, mulutnya terkunci ia sangat ingin membagi kebahagiaan nya, tapi dengan memberikan Bintang pada mereka? Ia sangat ragu, Ia bahkan sangat tidak ingin itu.

"Bintang putra kami, kami sangat menyayangi nya. Kami tidak bisa memberikan putra kami begitu saja seperti barang!" Fadil sedikit meninggikan suaranya.

"Meski istri kita bersahabat sudah sangat lama, bukan berarti kami dapat memberikan putra kami begitu saja." Sambungnya.

"Lalu kenapa kalian memberikan harapan pada kami?" Pertanyaan itu telak membuat Fadil tak mampu menjawab.

"Maapkan kami..." hanya kata itu yang mampu terucap dari mulut Fadil.

"Seharusnya kalian tidak menaruh harapan besar pada kami, maka saat itu kami akan mengerti, tapi dengan kalian memberikan harapan palsu seperti ini, kalian hanya menambah luka kami.!"
Tak ada respon dari Fadil, padahal Badar berharap Fadil memberikan respon sesuai yang ia inginkan.

"Terimakasih kalian telah memberikan harapan besar pada kami, walaupun itu semua hanya kebohongan belaka, kami tidak akan melupakanya." Badar beranjak dari tempat itu.

Fadil memandang kepergian Badar, ia mengusap matanya yang terasa memanas.







Thanks Brother✔ (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang