Bagai senja yang takkan kembali lagi menyisakan malam untuk selamanya. Ketika sebuah keinginan terbesar tak mampu terbayar maka jangan salahkan akan ada seseorang yang terluka, dalam setiap perjalanan hidup seorang insan tak akan sesempurna sang penciptanya. Hembusan angin akan terhenti jika ia sudah tak mampu lagi menyibak kembali kelopak mata hitamnya.
Seketika air matanya kembali meleleh saat kembali mengingat kejadian malam itu, keegoisannya sendiri yang membuat adiknya seperti ini, jika saja malam itu ia tidak mengikuti amarahnya mungkin saja Bintang tidak akan berakhir seperti ini.
Malam itu ia melihat jejak darah yang mengarah pada bungkusan obat yang ia tinggalkan diatas meja, membayangkan saat itu pasti sosok Bintang yang sangat kesakitan berusaha menggapai bungkusan itu membuat hatinya berdenyut sakit penuh rasa penyesalan.
Kedua tangannya menyentuh pintu ruangan dimana Bintang sedang ditangani berharap pintu ber cat putih itu terbuka lalu dokter Farhan menyampaikan kabar baik, meskipun dalam hati terdalam nya ia tidak yakin, tapi ia berharap secercah keajaiban tuhan datang untuk menyelamatkan Bintang, setidaknya ia ingin meminta maaf.
Sebagai seorang kakak ia dapat merasakan sosok yang selalu membawa tawa dalam hidupnya kini terbujur lemah tak berdaya, dia sendirian tengah berjuang melawan rasa sakit didalam sana. Kemarin sosok itu terlihat tak memiliki beban rasa sakit dalam tubuhnya, bayangan Bintang yang membuka kasar pintu kamarnya waktu itu, kembali menyayat hati koyaknya. Bintang tersenyum bahagia waktu itu, Bintang melompat-melompat di hadapannya, senyuman hangatnya yang bagaikan virus bagi siapapun yang melihatnya, selalu terbayang setiap detiknya. Saat ini ia membutuhkan senyuman itu.
Disini ia sendiri, hanya sendiri, ia tidak memiliki siapapun. Sosok yang tengah berjuang didalam sana adalah satu-satunya yang ia punya.
"Bi lo harus bertahan..." lirih nya, ia mengusap rambutnya frustasi jika ini akhirnya, maka ia tidak tahu hidupnya akan seperti apa setelah ini."Kak Pajar."
Ia mengangkat kepala tertunduk nya, melihat kedua sahabat adiknya terlihat sama kacaunya dengannya.
"Kalian?""Bagaimana keadaannya?" Tanya Digo dan Bayu bersamaan mereka terlihat panik saat beberapa menit lalu Pajar mengirim pesan bahwa Bintang collapse. Mereka sangat tahu sahabatnya itu sangat jarang sekali terlihat sakit, itu berarti jika ia sampai seperti ini maka Bintang benar-benar sedang dalam titik terlemahnya.
Tak ada jawaban, Pajar hanya menggeleng lemah tak ingin berkata apa-apa. Ia kembali menundukkan kepalanya tepat di depan pintu, ia tidak ingin beranjak sedikit pun.
Merasa mengerti dengan gelengan kepala Pajar, Digo dan Bayu menghela napas dalam merasa tidak percaya dengan situasi saat ini. Mereka mendudukkan diri di kursi tunggu sebelah pintu. Digo menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada lututnya, ia menyesal akan sikapnya waktu itu. Ia sadar masalah sepele seperti itu tidak perlu di besar-besar kan, Bayu telah menjelaskan semuanya, dan sekarang ia menyesal.
"Bagaimana jika dia pergi? Gua bakal menyesal seumur hidup gue!" Batinnya.
Sedangkan Bayu sedari tadi diam-diam ia menangis, ia tidak ingin percakapan lewat telepon adalah kali terakhir ia mendengar suara itu. Tidak! Bintang adalah pemuda yang baik, tapi mengapa kisah hidupnya seperti ini. Bayu kembali teringat cerita orang tua Bintang yang teragis. Bayu tidak tahu jika ia ada diposisi sahabatnya itu akan seperti apa?
Bintang, dia sangat tegar mengahadapi setiap lika-liku kehidupannya.Tiba-tiba pintu itu terbuka, dokter Farhan terlihat sangat lelah, wajah kusutnya ia paksakan untuk tersenyum namun sedetik kemudian senyuman itu luntur tergantikan oleh air mata di pelupuk sang dokter ia berdiri tepat dihadapan Pajar dengan tatapan seolah tak ada harapan, ia menepuk pemuda yang tak kunjung membuka suara itu. Pajar hanya menatap dokter berwajah lelah itu takut.
"Masuklah." Katanya lemah.
Pajar langsung masuk, ia harus yakin bahwa adiknya baik-baik saja. Ya ia yakin.
Digo dan Bayu menghampiri dokter Farhan yang tengah menutup pintu perlahan.
"Bagaimana keadaannya dok? Kenapa dokter sama kak Pajar tidak berbicara apapun!?" Tanya Digo.
Dokter Farhan menghela napas dalam lalu berkata.
"Beberapa menit lalu, saat saya menangani nya dia sudah dinyatakan kritis. Tapi sebuah keajaiban tiba-tiba ia membuka matanya." Ia terlihat sangat sedih, padahal seharusnya ia bahagia."Seharusnya anda senang, kenapa ekspresi wajah anda seperti ini?" Tanya Bayu sambil menahan tangisannya.
"Saya tidak dapat lagi melihat cahaya di matanya, mulutnya menyebut nama Pajar tanpa suara. Saya berusaha kembali menanganinya tapi saya dapat merasakan penderitaan nya, Bintang sudah tak sanggup lagi."
"Maksud anda, Bi Bintang sekarat?" Digo tak mampu menahan lelehan air matanya. Sedangkan Bayu ia membungkuk dengan isak tangis kian menjadi.
"Seharusnya sekarang anda di dalam berusaha menyelamatkan nya." Sambungnya."Kalian harus ikhlas, Bintang sangat menderita dengan sakitnya. Saya dapat melihat sorot matanya mengatakan bahwa ia sangat menderita, kanker otak setadium akhir telah mengalahkannya."
"Bukan Bintang yang kalah, tapi anda. Anda tidak profesional!" Wajah Digo mengeras, mata berair nya menatap tajam dokter yang sama kacaunya dengannya.
"Seharus...-!""Dokter Farhan benar." Ujar Bayu dingin.
Digo menatap Bayu tak mengerti. "Maksud lo apa!?"
"Kita gak boleh egois, Bintang, dia akan terlepas dari segala penderitaan nya setelah ini." Bayu mengusap pipi basahnya lalu dengan mulut bergetar ia tersenyum.
"GAK!!, gua harus masuk."
"Biarkan dia bersama kakaknya." Dokter Farhan menahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks Brother✔ (Belum Revisi)
Teen FictionKisah seorang pemuda penderita kanker dengan harapan terbesar nya bertemu dengan ibu nya, ia ingin kembali merasakan belain lembut tangan itu, untuk terakhir kalinya. Namun sebuah kenyataan langsung menghancurkan segalanya. Sampai pada saat ia mera...