30

222 13 0
                                    

Seminggu setelahnya.

"Sudah satu minggu, anak ini tertidur lama sekali, dokter bilang kepalanya mengalami benturan keras." Badar mengusap lembut pergelangan tangan bocah empat tahun itu. Saras duduk di seberangnya sambil menundukkan kepalanya.
"Aku harap dia tidak akan pernah bangun lagi." Ujar Saras tanpa menoleh pada suaminya.

Badar menghela napas kasar, ia sungguh sudah muak, muak dengan sikap istrinya juga muak pada dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa, karena ia terlalu menyayanginya. Dan akhirnya semuanya kacau, hancur tak bisa di perbaiki, ia dan istrinya telah menghilangkan dua nyawa sekaligus! Saat ini ia merasa teramat frustasi.

"Kalau dia bangun dan mengingat semuanya, kita akan masuk penjara mas!" Ujarnya dengan raut wajah penuh ketakutan.

"Dokter bilang, kemungkinan besar dia tidak akan mengingat semuanya, Pajar akan hilang ingatan."

"Siapa yang tahu masa depan? Jika diagnosa mereka salah, kita akan mati." Saras tidak ingin menerima hukuman atas semua perbuatannya, ia merasa tak bersalah, menurutnya ini semua bermula karena Wida dan Fadil yang mengingkari janji mereka sehingga membuatnya hilang kendali.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"

"A aku ingin menyingkirkan anak ini."

Perkataan Saras sontak membuat rahang Badar mengeras, ia mengerutkan keningnya tak percaya.
"Jika kamu melakukannya, itu artinya kamu semakin memperburuk keadaan."

"Aku mengerti."
Sesaat ruangan dimana Pajar di rawat itu hening, mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing.

"Ayo kita pergi, pergi sejauh mungkin."

Badar berdiri dari kursinya, ia tak habis pikir dengan istrinya ini, kenapa ini semua harus terjadi?
"TIDAK!" Tegasnya.

"Kita jalani hidup kita seakan tidak terjadi apa-apa, kita tinggal di tempat yang tidak seorangpun mengenal kita." Saras kembali berujar, berusaha meyakinkan suaminya bahwa idenya itu adalah jalan terbaik?

"Tanpa mereka?" Badar melirik kearah Pajar lalu kearah bayi yang ia letakkan diatas sofa, bayi itu tidak pernah menangis sejak kejadian itu, terkecuali saat ia lapar saja. Bayi itu tidak rewel seakan mamanya memang selalu ada di dekatnya. Sesekali kaki mungilnya menendang-nendang
membuat selimut yang menutupi tubuh mungilnya tersibak kemana-mana. Bayi itu sangat manis, Badar sangat tidak tega jika harus meninggalkan mereka.

Saras menganggukkan kepalanya perlahan. "Ya, tanpa mereka. Aku sudah bilang kita akan pergi dimana tidak ada seorang pun yang mengenal kita."

"Bintang, dia masih bayi. Pajar, dia tidak salah apa-apa, mereka tidak tahu apa-apa, mereka korban dari kesalahan kita. Kamu harus sadar akan itu. Apa kamu tidak merasa bersalah!?" Badar mulai menaikan nada bicaranya.

"Kita titipkan mereka ke panti asuhan, lalu kita pergi sejauh mungkin."

Badar mengepalkan telapak tangannya, ia memukul dinding tak jauh dari jangkauannya,ia sudah tak tahan, kini ia mampu berfikir bahwa istrinya itu sudah tidak memiliki hati nurani.

Untuk pertama kalinya Saras melihat Badar semarah ini, hatinya sedikit berdesir, apa ia sudah melewati batas?

Badar menghampiri Saras, lalu memegang kedua bahunya yang mulai bergetar.
"Tidak, kita tidak akan melakukan nya, kita harus merawat mereka. Kita salah, setidaknya kita menerima hukuman dengan cara kita merawat mereka."

"Kau, kau menghianati ku!?" Saras, suaranya samar hampir tak terdengar.

"Kenapa kamu tidak mau mengerti Sar!? Aku tidak pernah mengkhianati mu!" Badar melepaskan pegangan tangannya pada bahu istrinya itu, ia mengacak rambutnya frustasi.

Thanks Brother✔ (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang