Chapter 4 : Juna & Joni

83 10 44
                                    

Setelah satu minggu tidak masuk sekolah karena harus dirawat di rumah sakit. Akhirnya, hari ini aku sudah bisa masuk sekolah lagi. Dan karena hal itu aku jadi tidak mengikuti try out yang pertama. Maka dari itu, mau tidak mau aku harus mengikuti try out susulan. Tapi sepertinya tidak akan hari ini.

Kabar gembira. Tangan kiriku sudah sembuh dan gipsnya pun sudah dilepas oleh Dokter saat hari sabtu kamarin. Sebenernya aku tuh kidal, jadi aku tidak bisa menulis dengan tangan kananku jika tangan kiriku sedang cedera. Beruntunglah tangan kiriku sudah pulih kembali. Luka di perutku juga sudah mengering dan rasa sakitnya sudah mulai menghilang sedikit demi sedikit.

Saat ini aku sedang sarapan bersama keluargaku dan Jova. Seperti biasanya.

"Kamu yakin akan masuk sekolah lagi hari ini, Sayang?" tanya Bunda sambil menaruh nasi di piring yang ada di hadapanku.

"Yakin dong, Bun, kan sekarang Jack sudah sembuh. Lagian bosen tahu, Bun, berdiam di rumah tidak ada kerjaan."

"Ya sudah. Tapi kalo perut kamu sakit lagi, kamu langsung hubungi Ayah kamu, ya."

"Iya, Bun."

"Hari ini Jack sama Jova juga Ayah anterin ke sekolah, yah," ucap Ayah setelah meneguk kopinya pagi ini.

"Tidak usah, Ayah. Ayah antar Varel saja," tolakku.

"Ayah hanya tidak ingin kamu kelelahan, Nak. Ingat, kamu masih dalam proses pemulihan, jadi kamu jangan terlalu kecapean," bujuk Ayah.

"Iya, Jack. Ayah benar. Ini juga demi kebaikkan kamu. " Jova sepertinya setuju dengan ucapan Ayah.

"Ayolah, Kak. Kali-kali kita berangkat sekolahnya barengan. Lagipula jarak antara sekolah Varel dan Kakak tidak terlalu jauh, kan?" Varel juga ikut-ikutan.

3 lawan 1? Haishh. Aku mengalah saja, dah.

"Baiklah, baiklah."

"Nah gitu dong, Kak."

"Hmmm."

"Nanti di sekolah vitaminnya jangan lupa diminum ya, Sayang," perintah Bunda.

"Iya, Bunda. Jika Jack lupa pun pasti Jova akan mengingatkan, Jack."

"Jack, benar, bun. Tenang saja. Jova akan menjadi pengingat sekaligus penasehat Jack," ucap Jova dengan gaya bicara yang sudah seperti seorang pengacara saja. Dasar Jovania, untung aku sayang kamu.

"Bagus." Bunda tersenyum.

•••

"Dah, Ayah, dah, Varel. Sampai ketemu nanti." Aku dan Jova melambaikan tangan kearah mobil Ayah yang sudah melaju kembali.

Sekolah Varel lebih jauh daripada sekolahku dan Jova. Jadi, aku dan Jova yang sampai duluan di sekolah.

"Pagi yang sangat cerah. Secerah wajahmu pagi ini, Jack," ucap Jova sambil menggenggam tanganku seperti biasa.

"Ish, emang biasanya wajahku dekil, ya?" komentarku dengan nada yang sewot.

"Tidak cerah bukan berarti dekil kan, Jack? Lagian wajah kamu selalu cerah, kok, cuman kan selama seminggu wajah kamu pucat karena sakit. Nah sekarang aku baru melihat lagi wajahmu yang cerah itu," jawab Jova yang terdengar seperti gombalan untukku.

"Gombal, ya, Mbak?" candaku.

"Aku ngga lagi ngegombal, ya, lagian aku berbicara sesuai dengan apa yang aku lihat."

"Iya, deh, iya. Aku percaya, kok. Sudah ah debat paginya. Lebih baik sekarang kita masuk ke sekolah. Karena dalam 10 menit bel masuk akan segera berbunyi," ajakku. Jova hanya mengangguk.

WHISPER (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang