Seminggu sudah Azizah pergi dari dalam hidupku untuk selama-lamanya. Aku belum bisa mengikhlaskan sepenuhnya kepergiannya yang sangat tiba-tiba itu. Aku menjadi pendiam dan selalu murung sejak saat itu. Bahkan aku hanya berbicara seperlunya, aku tidak akan berbicara jika tidak ada orang yang mengajakku berbicara. Keluargaku, Jova, Alfan, Juna, Zakia, Kak Renal, Agus, Anton, Dodi, Airin, dan Rani pun tidak pernah bosan untuk selalu menghiburku, bagaimana pun caranya. Agar aku bisa ceria lagi seperti dulu. Namun, aku rasa itu tidak berhasil. Aku butuh waktu untuk menerima ini semua. Aku kira mengikhlaskan kepergian seseorang itu mudah, tapi ternyata dugaanku salah karena itu tidak semudah yang diucapkan.
Aku akan melaksanakan try out kedua besok. Jadi, mau tidak mau aku harus belajar malam ini. Sejujurnya malas sekali membuka semua buku-buku ini, tapi mau bagaimana lagi? Aku harus melakukannya jika aku ingin mendapatkan nilai sesuai dengan apa yang sudah aku targetkan. Pokoknya di try out kedua ini aku harus mendapat peringkat satu.
"Jack!" Tiba-tiba saja Jova masuk ke dalam kamarku tanpa permisi. Bahkan dia langsung memeluk manja leherku dari belakang. Kalo sudah seperti ini pasti dia sedang ada maunya.
"Iya? Ada apa, Va?" tanyaku masih tetap fokus dengan buku pelajaranku.
"Ikut aku, yuk!" balasnya, masih setia memeluk leherku, bahkan dia semakin mengeratkan pelukannya, sampai-sampai aku mulai kesulitan untuk bernafas.
"Pertama, bisakah kamu lepaskan dulu pelukanmu ini dari leherku. Kau terasa seperti sedang berusaha membunuhku daripada sedang memelukku, Jova," candaku, aku tidak ingat kapan terakhir kali aku mengajaknya bercanda.
"Upps! Maaf, Jacky." Cepat-cepat dia melepaskan pelukannya.
Aku tutup bukuku sejenak. Lalu aku balikkan tubuhku, agar aku bisa berhadapan dengannya. Sekarang aku sudah bisa melihat dengan jelas wajah cantik nan polosnya itu. Dia terlihat semakin cantik dengan potongan rambutnya yang baru. Dia memotong rambutnya yang panjang menjadi sebahu, aku sangat menyukai rambutnya yang baru.
"Kedua. Maaf, bukannya aku menolak ajakanmu, tapi aku sedang belajar sekarang jadi aku tidak bisa ikut denganmu, Va. Lagipula ini sudah malam, kau akan pergi ke mana, Va?" tolakku halus.
Apa kalian tahu ini pukul berapa? Ini sudah pukul 8 malam lebih. Yang benar saja kamu, Jova.
"Mataku tidak buta, Jack, jadi aku tahu jika saat ini kamu sedang belajar. Tapi aku juga tahu jika kamu tidak benar-benar fokus belajar, karena aku tahu kamu tidak bisa berhenti memikirkannya. Maka dari itu aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, kamu butuh refreshing sedikit, Jack. Aku sangat merindukanmu yang dulu. Yang ceria, pengertian, perhatian, dan selalu ada untukku. Aku tidak suka Jack yang pendiam dan pemurung seperti ini." Mata Jova benar-benar terlihat sendu. Aku tidak suka melihat matanya seperti itu.
"Maaf, Va. Tapi aku______"
"Sttt! Aku tidak menerima penolakan, Jack. Sekarang ikutlah denganku atau aku akan mati karena stres menghadapi sikapmu yang seperti ini!" potongnya, dia mengunci mulutku dengan jari telunjuknya.
Aku hanya mengangguk. Lalu dia melepaskan jarinya dari mulutku. "Jangan pernah sekali-kali lagi kamu berbicara soal kematian, Va. Karena aku sangat tidak suka akan hal itu!"
"Baiklah, aku janji tidak akan berbicara seperti itu lagi. Sekarang bawa Javaniamu dan ikutlah denganku!"
Javania adalah gitar kesayanganku. Gitar hadiah ulang tahunku yang ke-12 dari Ayah. Aku memberi nama Javania untuk gitarku atas saran dari Jova. Katanya, itu merupakan gabungan dari namaku dan Jova. Entah dia terlalu kreatif atau konyol aku juga tidak mengerti. Dan yang lebih konyolnya lagi aku setuju begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHISPER (COMPLETED)
Teen Fiction"Bisikan-bisikan itu yang selalu aku dengar ditelingaku setiap hari. Baik siang maupun malam. Namun, aku tidak pernah merasa terganggu. Karena, aku senang bisa membantu mereka, selama aku mampu melakukannya." -Jacken...