Masih di hari yang sama, hari di mana aku berhasil membantu keluarga Kak Renal dari masalahnya. Aku masih di rumah sakit sekarang, dengan perban putih yang membalut kepalaku. Kalian tentu masih ingat, kan? Apa yang terjadi dengan kepalaku. Jadi, aku tidak perlu menceritakannya lagi. Oh, iya,
Kak Renal dan keluarganya sudah pulang duluan. Tadi mereka sempat kekeh ingin terus menemaniku di sini sampai aku pulang. Namun, aku berhasil membujuk mereka untuk pulang, karena Mama dan Papa Kak Renal harus banyak istirahat.Jujur saja, aku ingin segera melepas perban bodoh ini dari kepalaku, karena aku tidak merasa percaya diri akan hal ini. Tapi, jika aku lepas pasti Dokter akan menceramahiku dengan kata-katanya yang selalu benar.
Namun, ada hal yang membuatku senang. Dokter bilang, aku bisa langsung pulang dan tidak perlu dirawat inap di sini karena lukaku tidak terlalu parah, hanya perlu diperban saja dan lukanya akan sembuh.
"Va, ayo kita pulang!" ajakku kepada Jova sambil turun dari brankar.
"Kamu yakin akan langsung pulang, Jack? Tidak mau beristirahat dulu sebentar di sini? Aku takut jika langsung pulang, saat di jalan kamu merasa pusing atau apa, lebih baik kamu istirahat dulu yah di sini!" dengan tatapan penuh perhatian Jova berbicara seperti itu kepadaku.
Aku tersenyum sambil mengelus rambut coklatnya yang indah. "Yakin, Va. Aku beneran ngga papa. Kamu lihat, kan? Aku baik-baik saja. Bahkan aku bisa melompat-lompat." Aku berusaha untuk meyakinkan Jova bahwa aku baik-baik saja dengan cara melompat-lompat.
"Iya, Jack, aku percaya padamu. Tolong hentikan! Aku tidak ingin kepalamu menjadi lebih sakit karena kamu lompat-lompat seperti itu." Jova memegang kedua tanganku agar aku berhenti melompat. Aku bisa merasakan kasih sayang Jova yang begitu besar kepadaku, saat dia memperlakukanku seperti ini.
Aku semakin tersenyum lebar, sambil berkata, "Iya, aku tidak akan melompat-lompat lagi. Aku hanya ingin pulang, Va. Aku tidak betah berada di tempat ini terus." Aku bergelayut manja di tangan Jova.
Aku lihat wajah cantiknya yang terlihat lelah menampilkan senyumannya, senyuman manis yang selalu aku sukai.
"Sejak kapan kamu manja seperti ini, Jack? Bukannya peran aku, yah, yang seharusnya manja sama kamu." Dia seperti menahan tawanya saat berbicara seperti itu kepadaku. Aku langsung melepaskan tanganku dari tangannya.
Aku memajukan bibirku beberapa senti, yang tentunya membuat wajahku yang tampan nan menggoda ini terlihat bodoh, kesal dengan kata-kata Jova. "Memangnya tidak boleh jika aku bersikap seperti ini kepadamu? Huh, kau ini curang sekali, Va. Bahkan di saat sedang sakit pun aku tidak boleh bersikap manja seperti tadi kepadamu."
Entah ada yang salah atau apa dari perkataanku yang barusan, tiba-tiba Jova mencubit kedua pipiku. "Haha! Ya ampun Jack-ku, Sayang. Tentu saja kamu boleh bersikap manja seperti itu kepadaku. Tadi aku hanya bercanda saja. Jadi, jangan baper, yah. Uh, Sayang."
Tidak terasa sebuah senyuman terukir begitu saja di wajahku ketika mendengar Jova berkata seperti itu.
"Kamu terlihat lebih tampan, Jack, ketika tersenyum seperti itu," pujinya tiba-tiba.
"Tidak tersenyum pun aku memang sudah sangat tampan. Jadi, jangan coba-coba untuk merayuku, Jovania," jawabku percaya diri seperti biasa.
"Kapan, sih, Jack, kamu berhenti menjadi orang yang percaya diri seperti ini? Lagian siapa juga yang ngerayu kamu, Jackendra? Ngga banget aku ngerayu kamu."
"Lebih baik percaya diri, kan? Daripada rendah diri." Aku terus meladeninya.
"Terserah kamu saja, Jack." Dia seolah tak peduli.
"Jangan marah dong, Va."
"Siapa yang marah, Jack? Mana mungkin aku bisa marah kepadamu. Ayo, katanya tadi mau pulang!" Dia mengaitkan jari tangannya ke jari tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHISPER (COMPLETED)
Teen Fiction"Bisikan-bisikan itu yang selalu aku dengar ditelingaku setiap hari. Baik siang maupun malam. Namun, aku tidak pernah merasa terganggu. Karena, aku senang bisa membantu mereka, selama aku mampu melakukannya." -Jacken...