Ternyata, menjadi manusia di umur yang diekspektasikan untuk sudah dewasa cukup melelahkan.
Urusan pekerjaaan, relasi dengan manusia lain, manajemen ekonomi mikro tiap bulannya, hingga rasa jengah menghadapi kemacetan jalanan adalah hal riil yang harus kuhadapi, dan harus terbiasa. Ketika memutuskan berkuliah lagi, aku kembali bergumul dengan kelas dan tugas yang tiada habisnya, serta keinginan menjelajah dunia yang selalu bertengkar dengan uang tabungan. Bagaimanapun, itu menjadi kelelahan baru yang kupilih.
Ah, ingin rasanya membalikkan lembaran umur 20-an, menyelinap ke mesin waktu dan kembali hadir di masa lalu. Menikmati momen masa kecil yang penuh dengan semangat terhadap cita-cita dan kebingungan terhadap hal yang kukira semua orang berhak mendapatkannya: impian untuk bersekolah setinggi-tingginya.
Mungkin, dulu aku cukup naif. Kupikir, semua orang akan menjalani hidup seperti yang biasa aku dengar: TK, SD, SMP, SMA, Berkuliah. Tapi rupanya, dalam tiap titik perjalanan tersebut, teman-teman SD-ku yang berjumlah 18 pun tak semuanya diberi kesempatan untuk menjalaninya. Ada beberapa yang diminta berhenti karena keburu menghadap Tuhan, dan tidak sedikit pula yang diminta berhenti karena menghadap kondisi keluarganya. Aku sendiri, meskipun diberi jalan yang serba sulit dan dilabeli ketidakmungkinan, pada akhirnya mendapat keajaiban-keajaiban baru untuk mendapatkan hal yang memang sejak kecil aku impikan.
Aku jadi merasa bahwa aku kini hidup, dihidupi dan menghidupi impian masa kecilku yang tak pernah kutanggalkan.
Di musim dingin yang mengetuk pintu tiap rumah di dataran Skotlandia ini, dengan salju sehalus kapas yang bertaburan dari langit yang tinggi, aku ingin berbagi cerita tentang impian itu kepadamu. Tentang beragam kesenangan sederhana yang mudah kita dapatkan saat masih memakai seragam merah-putih. Tentang kejadian demi kejadian mendadak yang menghadirkan beragam sensasi di dalam diri. Tentang bagaimana memaknai arti kata impian, perjuangan dan modal yang diberikan Tuhan kepada manusia berupa semangat juang. Tentang serunya perjalanan, pedihnya perpisahan, pahitnya pengkhianatan, benturan hidup melelahkan, serta keajaiban yang terus datang pada waktu yang tepat, dengan cara diluar intelegensia manusia.
Semua hal tersebut tersusun bagai bebatuan kokoh yang membentuk piramida hingga tampak menjulang, menantang langit. Seperti itulah jika mimpi dan perjuangan manusia dijadikan artefak peradaban.
YOU ARE READING
Melompat Lebih Tinggi
General FictionMelompat Lebih Tinggi adalah rangkaian cerita tentang seorang anak lelaki korban penggusuran bernama Afan. Akhirnya, ia harus pindah dari sekolahnya yang nyaman di Jakarta ke sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Bersama Ibunya yang berjualan goreng...