Hukum Aksi Reaksi

182 9 0
                                    

Di abad ke-17, eyang Newton melahirkan hukum aksi-reaksi di muka bumi. Di hukum ketiga, ia menjelaskan bahwa jika suatu benda menghantarkan gaya dengan besaran tertentu ke benda lain, maka benda tersebut akan menimpali dengan besaran yang sama. Aku curiga, dulu masyarakat di tempat lahir Newton di Inggris sana percaya dengan karma atau kualat. Kemudian dia mencari formula baru yang terdengar lebih keren dan universal, namun tetap berakar pada kepercayaan lokalnya tersebut.

Ratusan tahun kemudian, hukum yang ia cetuskan berlaku padaku dan lingkungan sekitarku yang letaknya ribuan kilometer dari Inggris. Hebat sekali si Newton ini.

Zaenal, misalnya. Kawanku itu dulu sangat getol mengajak untuk mendaftar di SMP Salvia dan kemudian berubah pikiran serta memintaku untuk tidak usah mendaftar ke sana. Pada akhirnya, ia pun terimbas hukum alam Newton. Rupanya, diam-diam dia sudah mendaftar terlebih dahulu di SMP yang katanya nomor wahid itu dan tidak mencabut pilihannya hingga detik terakhir. Aku menduga, ia tak mau tersaingi olehku yang memiliki nilai di atasnya. Alhasil, ia gagal diterima di SMP Salvia dan bingung mencari sekolah lain. Perihal nilai 95 ke atas itu pun rupanya tidak sepenuhnya benar. Hadi yang nilainya 87 pun diterima di SMP Salvia bersama Wulan.

Tak hanya menghinggapi tindakan aneh Zaenal, hukum klasik Newton juga menyerangku tanpa ampun.

Sepanjang SMP, aku benar-benar keranjingan membaca beragam buku fiksi, sains popular, komik, Horison hingga majalah Hidayah. Sudah begitu, aku kadang merasa tak puas dengan perpustakaan sekolah dan mencari buku-buku lain di lapak buku loak di dalam pasar Boyolali. Toko buku besar tak ada di kabupaten ini, harus ke Solo. Jauh. Karena buku bekas relatif murah, aku malah jadi punya hobi baru yakni mengumpulkan komik Dragon Ball serta buku-buku lain yang berbau petualangan.

Aku seperti terlena oleh beragam cerita yang disajikan tiap lembaran kertas buku yang kubaca. Bahkan, aku mendapat satu buah penghargaan di ajang penghargaan murid kelas sembilan saat upacara hari senin. Yakni, sebagai Murid Pengguna Jasa Perpustakaan Sekolah Terbaik. Keren sekali piagam itu sampai kubelikan pigura dan kupajang di dalam kamar. Padahal ada banyak eksploitasi di dalamnya sehingga aku bisa menggunakan jasa perpustakaan dengan optimal. Jadinya, waktu yang kuluangkan untuk membuka buku pelajaran hanya ketika pelajaran di mulai, ada PR dan saat ujian berlangsung. Sangat tidak memprioritaskan sekali. Alhasil, di peringkat uji coba ujian nasional SMP Dahlia, aku menduduki posisi 162. Terdegradasi jauh sekali dibandingkan posisi 17 dulu.

Karma tersebut tak hanya menghantuiku. Rangking Rima dan Bambang pun terjun bebas di posisi 192 dan 200 dari total 240 murid. Kami yang ingin lanjut di SMA yang sama agar seumpama sahabat sejati di buku roman pun akhirnya memutuskan untuk berpisah. Selain karena susah mengejar SMA Wahid dan SMA Trihita yang kondang di Boyolali dengan nilai seadanya, pikiran kami berkembang dan pilihan hidup pun berubah.

Bambang, siswa kurus berambut cepak yang kepincut dengan pelajaran kimia itu ingin lanjut ke SMK Farmasi. Sejak mengenalnya, aku sering mendengar keluhannya soal banyaknya pelajaran sekolah yang tak ia minati dan tak ia butuhkan namun ia dipaksa untuk tetap belajar. Ia jenuh dengan hal-hal tak penting yang membuang waktunya. Wajar, tiap pelajaran berbau IPS dan kesenian, ia selalu memilih membaca buku pengobatan herbal dari balik laci. Sehingga ia tak ingin masuk SMA. Ia memilih sekolah yang langsung menjawab keingintahuannya soal penyakit dan obat mujarabnya. Dulu, saudaranya ada yang sakit dan hanya diberi puyer karena selalu mengeluh pusing dan meriang. Tak lama, saudaranya meninggal. Sok tahu terhadap jenis penyakit dan obatnya adalah bentuk kejahatan kemanusiaan terkeji bagi Bambang.

Rima, siswi berambut keriting sepundak yang selalu memakai kuncir, tak begitu ambil pusing dengan dikotomi sekolah favorit dan non favorit. Berkat keseringan membaca teenlit remaja, lama-lama ia muak sendiri dengan glorifikasi pelajar SMA yang berlebihan. Sebuah novel 120 halaman bersampul merah jambu menginspirasinya. Buku itu menceritakan kisah kompetisi King and Queen antar siswa dari beberapa sekolah favorit yang berujung pada terbukanya kedok bisnis si pemilik sekolah. Rupanya, ia memonopoli pendidikan agar banyak anak pejabat dan pebisnis berebut menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah favorit miliknya. Mereka mau bayar mahal demi mengenyangkan kesombongan dan kebanggaan mereka. Oleh karena itu, Rima memilih untuk melanjutkan sekolah di SMA yang lebih dekat dengan rumahnya, sebelah timur Boyolali sana.

Melompat Lebih TinggiWhere stories live. Discover now