Aku percaya bahwa salah satu karya paling filosofis dari hidup manusia adalah jalan. Ia menanjak, menurun, berbelok, hingga kadang buntu. Seperti hidup yang penuh lika-liku di luar dugaan akal. Tak pernah datar begitu saja. Ia mengalir, menyelaraskan bentuk tubuh alam dengan ego manusia. Ada jalan yang dibangun di atas lautan hingga menembus perbukitan demi menjawab keinginan penciptanya untuk melintas. Ada juga yang dibangun membersamai wujud bumi, dibuat dengan menyusun bebatuan kali dengan apik. Tanpa perlu menggempur satupun gundukan tanah.
Jalan juga menjadi instrumen bagi manusia untuk berpindah dari satu ruang ke ruang lainnya. Menuntun orang yang ingin berpetualang, menyesatkan orang yang sok tahu, mempertemukan orang yang terbalut rindu, hingga membuat orang terluka bahkan kehilangan nyawa jika tak bijak berteman dengannya. Jalan juga memiliki persimpangan-persimpangan rumit yang mempertemukan orang-orang, kemudian memisahkannya. Orang-orang yang tinggal di negeri dengan persimpangan jalan terumit sedunia pun sudah membuktikannya. Kadang, orang-orang itu merasa tahu harus memilih jalan yang mana namun ternyata salah langkah. Terjebak dalam kusutnya jalan simpang bertumpuk-tumpuk seumpama Puxi Viaduct di Cina. Begitulah kadang hidup manusia. Sudah dibuat bingung dengan persimpangan jalan takdir, masih ditambah dengan adanya kemungkinan salah mengambil keputusan. Dampaknya bisa panjang hampir tak berujung, seperti jalan aspal Highway 10 di Saudi Arabia.
Aku pun tengah dihadapkan dengan persimpangan jalan bersama Yoga. Kawan baikku itu sejak awal SMP terdeteksi mengidap paru-paru basah. Sayangnya, keluarganya tak punya cukup dana untuk mengobatinya dengan layak. Dulu, satu dua kali dia memang pernah mengeluh dadanya sakit namun hanya dianggap sebagai kelelahan saja. Di pelajaran olahraga pun beberapa kali ia izin untuk istirahat. Baru tiga hari yang lalu aku mendengar kabar dari Bapak bahwa Yoga sedang dirawat inap di Rumah Sakit Pandanwangi, dekat SMP Edelweis. Aku pun juga baru berencana untuk menjenguknya besok.
Yoga mendahuluiku menemui Tuhan. Ia mengambil jalan lain. Sementara aku masih diliputi kebingungan soal bisa lanjut sekolah atau tidak. Anak yang tak pernah ikut-ikutan menakaliku itu harus diberhentikan langkahnya karena sesuatu diluar jangkauannya. Hambatan ekonomi, nihilnya fasilitas untuk wong cilik, serta kurang terdiseminasinya ilmu pengetahuan menjadi palang rintang yang menutup jalannya. Ia dilampumerahkan oleh ganasnya keadaan.
Esoknya aku melayat dan tak sengaja bertemu beberapa teman lama di SD. Zaenal sempat-sempatnya mengajak aku mendaftar di SMA Wahid namun kuabaikan. Suasana rumah batako kasar itu sendu. Puluhan orang berpakaian hitam lalu-lalang. Suara tahlilan membahana dari dalam rumah. Mengesankan kalut yang mendalam. Ini kali kedua aku merasakan kesedihan berpisah dengan teman baik. Getir.
Selamat jalan, kawan! Izinkan aku melanjutkan perjalanan.
Aku kembali ke jalan yang membawaku pada tujuan awal: SMA Trihita. Aku menggunakan beragam jurus untuk membujuk Bapak dan Ibu tiap kali bertemu, setiap hari. Mereka masih bergeming pada pendiriannya. Sampai pada akhirnya aku bilang,
"Yoga kasihan ya, udah ndak bisa lagi belajar. Mumpung aku masih hidup dan punya hak belajar, aku mau berusaha sebaik mungkin."
Ibu dan Bapak bergidik mendengar ucapanku yang aku pun tak tahu dari mana kata-kata itu berasal. Mereka diam. Mungkin hatinya tengah bertempur hebat dengan realita. Tak mungkin mereka ingin mengubur mimpiku hidup-hidup, tapi mereka juga tak mengerti kuasa apa yang mereka miliki untuk menantang kondisi. Sementara aku masih bertahan dengan kepala membatu.
Berkat celetukan spontanku, esok harinya Bapak mengajakku untuk mendaftar di SMK Gajah Tempur. Entah uang dari mana lagi yang ia pinjam dan berapa besar bunganya. Atau barangkali, Bapak sebenarnya belum dapat hutangan tetapi hanya modal nekat. Baginya, yang kubutuhkan adalah segera bekerja dan hidup mandiri, sehingga aku harus masuk SMK. Beban untuk berkuliah setelah SMA pasti seribu kali lebih berat darinya dan lebih baik menyetopnya sekarang juga. Aku yang merasa tidak enak dengan ucapanku kemarin mencoba menurut. Aku didaftarkan pada jurusan Teknik Komputer. Kuikuti semua tahapan seleksinya dengan baik seperti tes kesehatan, membaca Qur'an dan ujian tulis. Bagiku semua mudah, dan kuyakin pasti diterima. Aku bahkan cuek terhadap para pendaftar lain yang hampir tidak ada yang berpenampilan rapi. Beberapa orang pun bahkan kentara sekali mewarnai rambutnya.
YOU ARE READING
Melompat Lebih Tinggi
Fiksi UmumMelompat Lebih Tinggi adalah rangkaian cerita tentang seorang anak lelaki korban penggusuran bernama Afan. Akhirnya, ia harus pindah dari sekolahnya yang nyaman di Jakarta ke sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Bersama Ibunya yang berjualan goreng...