Orang bilang bahwa perilaku manusia yang dipertahankan selama 30 hari akan menghipnotisnya menjadi suatu kebiasaan baru yang susah ditinggalkan. Sikap itu seperti dierami oleh makhluk yang bersemayan di diri kita, kemudian menetas dan menjadi semacam monster yang mengendalikan alam bawah sadar. Melekat sangat erat, memengaruhi seluruh indra dan pikiran dengan kuat. Membuat kita terus-menerus melakukannya, tak kenal henti dan tak peduli pedasnya ucapan tetangga. Rasanya aneh luar biasa, dan serasa ada bagian penting yang hilang jika kebiasaan tersebut ditinggalkan.
Sayangnya, kebiasaan yang berulang itu kadang tak mengenal kondisi baik maupun buruk.
Dulu, sebelum posisinya diganti sebagai ketua kelas, hampir setiap hari Yoga selalu menjaga pintu kelas saat jam kosong. Ketika tugasnya kuganti karena aku menjadi ketua kelas, dia sempat beberapa kali mendahuluiku berjaga di depan pintu. Dipikirnya ia masih harus bertugas. Dia pun merasa canggung untuk sekadar duduk di kursinya dan melihatku berdiri, apalagi untuk bergabung bermain bola di dalam kelas dengan yang lain. Sehingga kadang kala ia memilih untuk menemaniku berdiri di pintu dan celingukan tak jelas.
Salahsatu kebiasaan yang berkembang dan akhirnya banyak menguasai hidupku adalah membaca. Sejak pertama kali mengenal huruf dan bagaimana mereka terangkai sedemikian rupa menjadi kata, aku sering melafalkan teks apapun yang kulihat di jalan, tembok, toko, bungkus makanan, televisi dan sebagainya. Menarik sekali saat kupikir semua teks yang tertulis di manapun itu bagai memiliki nyawa, tersimpan bunyi dan pesan yang berdaya pikat untuk dibaca. Posesif tetapi bermakna. Mengikat tetapi bisu. Terbuka tetapi rumit. Belum lagi jika melihat tulisan-tulisan unik yang menggunakan bahasa asing atau huruf non-latin sehingga mengundang kemisteriusan tersendiri bagiku. Bagaimana cara membacanya? Apa artinya? Siapa yang mencipta dan memakainya? Apakah kalimat rumit seperti mantra itu juga dipakai untuk membeli beras di warung entah di belahan bumi sebelah mana?
Aku menyukai kata-kata dan bahasa.
Ketika SD aku menjadikan buku sebagai satu-satunya teman paling setia yang tak pernah berperilaku kasar selain memenjaraku di dalam kamar. Saat SMP, kebiasaan itu semakin lekat rasanya ketika aku melihat rak-rak buku berwarna coklat tua yang menjadi tempat bersemayamnya beragam buku di perpustakaan sekolah berlantai dua. Hari-hariku habis dengan siklus mencari, meminjam, membaca dan mengembalikan, dan kembali mencari buku-buku baru lagi. Kadang kala, aku harus menunggu berhari-hari lamanya untuk menanti buku yang kuincar dikembalikan oleh peminjamnya. Bahkan pernah aku meminjam buku catatan Bu Ani selaku pustakawan, untuk mencari tahu siapa peminjam buku yang kuincar untuk kudatangi kelasnya dan kuminta ia mengembalikannya segera. Saat itu juga kalau perlu. Tak jarang pula suatu buku menjadi primadona para siswa, dan berakhir di meja perebutan buku yang menjadi kuasa Bu Ani.
Perpustakaan menjadi ruang bermain nyaman yang bisa membuatku lupa akan uang saku yang pas-pasan.
Wanita paruh baya yang menjadi pustakawan dari perpustakaan sekolah terbaik se-Boyolali itu bernama Bu Ani. Rambutnya lurus pendek dan selalu memakai kacamata tebal. Ia dengan setia duduk di bangku dekat pintu masuk perpustakaan, membelakangi sebuah ruang kecil yang dia kuasai seutuhnya. Di bawah kendalinya, perpustakaan siswa ini tak pernah sepi di jam istirahat pagi, siang hingga pulang sekolah. Bu Ani memang pustakawan sejati yang mengerti dahaga murid-murid bau kencur seperti aku, Bambang dan Rima yang selalu ingin buku baru tiap bulannya. Bahkan, ia memiliki semacam daftar catatan buku incaran semua anggota perpustakaan. Siapapun siswa SMP Dahlia boleh meminta buku apapun, selama tidak aneh-aneh. Dalam waktu maksimal satu bulan, buku tersebut dipastikan sudah nongkrong di rak perpustakaan.
Aku dan Rima meminta serial Harry Potter lengkap dan dobel agar tak berebut. Selain itu aku pun memesan serta tetralogi Laskar Pelangi dan karya Habiburrahman El-Shirazy. Rima banyak menginginkan teenlit terbaru apapun jenisnya. Sementara Bambang lebih berharap dengan tulisan Ahmad Tohari dan Pramoedya Ananta Toer. Walaupun satu kelas, sebenarnya kami bertiga memiliki perbedaan lingkaran pergaulan namun sering bertemu di perpustakaan. Maka, jika orang lain hanya melihat sisi bagaimana kami berinteraksi di kelas, akan terkesan tak begitu akrab. Padahal kalau sudah di perpustakaan, ributnya bukan main berebut kursi dekat jendela di ruang baca.
YOU ARE READING
Melompat Lebih Tinggi
General FictionMelompat Lebih Tinggi adalah rangkaian cerita tentang seorang anak lelaki korban penggusuran bernama Afan. Akhirnya, ia harus pindah dari sekolahnya yang nyaman di Jakarta ke sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Bersama Ibunya yang berjualan goreng...