Matematika adalah pelajaran paling menyebalkan sejagad raya!
Benar saja. Saat itu, kami berada pada jam terakhir sebelum bel pulang berbunyi. Kondisinya, aku dan sekitar empat puluh teman sekelasku tak sabar ingin segera pulang. Mandi, kemudian menyeruput es potong tentunya akan menjadi pembalasan yang setimpal akan panasnya udara Jakarta Timur siang har inii. Atau, sekadar tiduran di rumah sembari menonton orang dewasa cekikian dan bertingkah bodoh di tayangan kuis televisi pun bisa menjadi pelipur kelelahan bagi anak sekolah macam kami ini. Namun, entah dapat wangsit darimana sehingga Bu Nia ngide memberikan tugas hafalan perkalian 1x1 hingga 10x10. Pilihannya dua: hafal atau tidak boleh pulang.
Dunia kejam sekali, bukan?
Entah karena matematika memang sulit, aku yang tak jago menghafal atau jangan-jangan otakku sedang berkhianat, sehingga diriku selalu terpaku pada bilangan perkalian lima. Susah sekali rasanya menyambungkan neuron di otak sehingga paham dan hafal bahwa 5x5 adalah 25, bukan 55. Jika pun sudah benar, maka bilangan sebelum atau setelahnya kembali keliru, atau sekadar tidak yakin sehingga harus membuka kembali catatan dan kemudian mengulang dari awal. Begitu terus sampai rasanya ingin makan bangku yang membisu di depanku.
Satu per satu, kursi kayu di kelas kami mulai ditinggalkan pemiliknya. Entah mengapa, justru kondisi demikian bukannya malah memotivasi murid sepertiku, melainkan membuat pikiran jadi kemana-mana. Alih-alih membuka deretan angka dan simbol perkalian, mataku malah keasyikan menyaksikan penampilan mereka, yang selalu juara di kelas, memamerkan keenceran otak dalam menghafal rentetan perkalian. Angka demi angka dilontarkan begitu saja, mudah sekali kelihatannya, seperti sedang membaca. Lancar seirama dengan jarum jam yang berdetak konsisten menuju angka 12 siang. Dibalik kecemerlangan mereka itu, ada segenap murid seperti aku dan Edi, kawan sebelahku, yang sebenarnya ketar-ketir. Kami juga hanya bisa cengingisan jika mereka salah sebut satu digit angka saja.
Aku yakin, untuk orang-orang seperti kamilah, peribahasa tong kosong nyaring bunyinya diciptakan.
Edi mengklaim bahwa ia perlahan tapi pasti sudah menginjak angka perkalian delapan. Meskipun demikian, aku memilih mosi tidak percaya karena ia masih terlihat sedikit-sedikit membuka buku catatannya. Pandangannya pun sering kali teralihkan oleh beberapa teman lain yang mengajaknya ngobrol soal permainan bola di jam istirahat tadi, yang ditendangnya hingga hampir memecahkan kaca kelas dua. Meskipun demikian, ia jumawa karena tadi berhasil unggul 3-2 melawan tim senior, kelas lima. Ia kini berpikir bahwa dirinya adalah pahlawan kelasku. Ia pikir, sudah jadi kewajiban bagi kami semua untuk menyanjungnya. Meskipun demikian, kesombongan itu laksana macan sakit tipes di hadapan tugas hafalan perkalian dari Bu Nia siang ini.
Waktu terus bergulir. Kini hanya kurang dari setengah siswa yang belum bisa lepas dari bangku dan catatan mereka. Aku merasa sudah membuat perkembangan yang pesat dengan mulai beranjak pada perkalian tujuh. Sementara Edi katanya tengah mematangkan seluruh hafalan perkaliannya dengan diulang-ulang, agar tak disuruh duduk lagi untuk mengulang jika ada satu digit saja yang kelupaan. Entah bagaimana, aku selalu berusaha mencari alasan untuk menyangkalnya. Aku tak ingin berada di posisi yang paling mengkhawatirkan di kelas. Apalagi, disalip oleh teman sebangkuku sendiri yang kadang lupa mengerjakan PR.
Tanpa aba-aba, Edi langsung beranjak ke depan kelas di dekat meja Bu Nia, ketika Vidia baru saja tuntas hafalannya dengan senyum sumringah tak sabar pulang. Ia mulai mengeluarkan satu per satu perkalian yang ia ingat dengan tangan yang gemetaran. Di perkalian tiga, pelipisnya mulai mengeluarkan keringat dingin. Tutur katanya mulai terbata-bata pada perkalian empat. Matanya mulai memandang kesana-kemari seakan minta petunjuk dari siapapun yang sudi ketika mulai menginjak perkalian lima. Lantas berhenti mendadak laksana disihir menjadi patung oleh Medusa karena tak bisa mengatakan sepatah kata pun.
Jahatnya, aku adalah orang yang paling menikmati kejadian ini. Rasanya ingin kurekam setiap detiknya dan menyimpannya sebagai bahan tertawaan di masa depan.
Melihat kondisi muridnya yang begitu mengenaskan di hadapan belasan siswa lainnya, alhasil Bu Nia menyuruh Edi untuk kembali ke bangkunya. Guru kami itu kembali menunggu. Ia berharap ada segera murid lain yang maju. Setelah beberapa menit, rupanya tak ada satu pun siswa yang bergeming. Melihat kondisi kelas yang sedemikian miris, akhirnya Bu Nia mengambil kebijakan mendadak yang menghidupkan semua sensor adrenalinku,
"Afan. Maju!"
Tawa Edi meledak sepuasnya. Ia mendorongku, memaksaku maju ke panggung laga pelafalan perkalian matematika.
Apa jadinya jika aku yang masih belum berhasil menjejalkan seluruh angka ke dalam otak, dipaksa untuk menjalankan tugas? Jika gagal, bukan hanya harus mengulang dan tak boleh pulang. Lebih dari itu, aku akan disamakan dengan Edi, kawan yang sekaligus rivalku ketika main bola. Kata orang, teko teh akan tetap mengeluarkan teh. Tapi apa jadinya jika teko itu sendiri belum berisi? Apa yang bisa dikeluarkan darinya? Kenangan? Tentu tidak. Sungguh berat sekali beban ini bagi anak berumur sembilan tahun.
Semakin lama aku berdiam dalam kebingungan, semakin banyak pula mata yang memandangiku – mendesakku untuk segera maju. Bu Nia pun kembali memanggil namaku dari daftar presensi siswa, dan mencari posisi dudukku dari balik kacamata besarnya. Ia memastikan bahwa aku memang masih berada di dalam kelas. Saat mata kami bertemu, kakiku berkhianat kepada pemiliknya dengan berlari begitu saja ke depan kelas. Sepersekian detik kemudian, aku sudah menjadi objek pesimisme bagi semua yang ada di dalam ruangan. Edi apalagi, malah tepuk tangan karena merasa ada yang lebih parah darinya.
"Silakan mulai!" ketus Bu Nia.
Mau tak mau, aku pun mulai berusaha mengeluarkan segala sesuatu yang ada di otakku soal perkalian bilangan matematika. Dengan gerakan jemariku sebagai petunjuk terbaik yang bisa kuandalkan agar tak salah urutan, aku meyakinkan diri bahwa perkalian ini dimulai dari bilangan nol, bukan satu. Tepat saat baru membuka mulut, sebuah keajaiban terjadi: bel sekolah berbunyi!
"Yasudah, dilanjut minggu depan. Semuanya boleh pulang." Ujar bu Nia sembari merapikan beberapa lembar kertas di mejanya.
Aku pun mengambil tas lalu pulang. Sementara Edi merasa super kecewa karena keadaan berbalik 180 derajat secara mendadak, Ia belum sempat melihat aku yang diyakininya tak akan mampu mengeluarkan hafalan di perkalian dua atau tiga. Ah, keajaiban memang datang dari arah yang tak disangka-sangka.
YOU ARE READING
Melompat Lebih Tinggi
General FictionMelompat Lebih Tinggi adalah rangkaian cerita tentang seorang anak lelaki korban penggusuran bernama Afan. Akhirnya, ia harus pindah dari sekolahnya yang nyaman di Jakarta ke sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Bersama Ibunya yang berjualan goreng...