Seseorang yang berbuat kejahatan sudah selayaknya dijatuhi hukuman seadil-adilnya. Meskipun, definisi adil cukup beragam dan konon katanya bisa diputuskan lewat kesepakatan. Kawanku si Agus, misalnya. Dia pernah melakukan keisengan stadium empat dengan jajan jus mangga dalam sebuah kantong plastik, menghabiskan setengahnya, lalu mengencinginya tanpa rasa berdosa. Lantas, ia memberikan ramuan busuknya itu ke salah seorang teman kami, Isnan, ketika sedang bermain bola. Sejurus kemudian, anak kecil yang dua atau tiga tahun lebih muda dari umurku itu pun langsung muntah-muntah. Ia menangis, lalu berlari melapor ke ibunya. Kami semua kaget, sementara Agus tertawa terbahak-bahak melihat kejailannya berhasil seratus persen, absolut.
Sayangnya, kejahatan yang ia lakukan membuat diadakannya forum ibu-ibu dadakan di RT kami. Seumpama arisan, tapi berformat pengadilan. Ibu dari korban, saudara Isnan, mencak-mencak. Menyalahkan ibu dari terdakwa, saudara Agus, yang dianggap tak becus memberikan pendidikan dasar bagi anaknya, menyambungkannya dengan dampak kesehatan, sosial dan beragam istilah rumit, yang ditanggapi dengan anggukan setuju oleh hadirin lainnya. Tipikal ibu pejabat kantor kelurahan ketika memberikan penyuluhan.
Agus pun merasa bersalah bukan main. Hampir seminggu ia tak bergabung main bersama kami usai pulang sekolah. Bahkan ia enggan mengaji. Sementara ibunya hanya bisa tersenyum untuk menutupi rasa ketidakenakannya ketika berada di tengah para ibu yang belanja sayur di warung Mpok Nori.
Begitulah semestinya tindak kejahatan itu diadili. Bagaimanapun bentuknya.
Sayangnya, ada beberapa kejahatan tertentu yang tidak mendapatkan pengadilan yang layak. Salahsatunya ialah pembuatan kebijakan publik yang serampangan. Misalnya berupa pengalihan tempat orang-orang mencari mata pencaharian untuk istrinya makan dan anaknya bersekolah, demi menjadi sebuah taman yang tak jelas akan seperti apa wujud serta dampaknya. Entah apa yang ada di pikiran para pemerintah itu, apakah hanya jadi tukang perintah? Parahnya lagi, para manusia yang masih berada di garis kemiskinan itu, hanya diberi waktu beberapa hari untuk memindahkan semua jangkar ekonomi yang sudah bertahun-tahun tertambat, dan menjadi pengharapan satu-satunya.
Ternyata itulah yang menjadi bahasan panas di Jalan Tanah Merdeka kemarin.
Alhasil, kami sekeluarga harus pindah ke Jawa. Aku yang saat itu belum paham wilayah geografis Indonesia sebenarnya tak mengerti Jawa itu di mana, sejauh apa, perlu melewati berapa gunung dan sebagainya. Memang, tiap lebaran Bapak selalu mengajak kami untuk ke rumah Simbah di Jawa. Tapi tempat itu masih begitu asing buatku. Orang-orangnya tak berbahasa Indonesia, jalannya sepi, udaranya dingin, dan bahkan Edi bilang bahwa di Jawa mungkin masih ada naga!
Bapak bingung. Ibu bingung. Aku bingung. Hanya adiku yang masih balita saja yang tidak bingung dan asik melihat kartun Hachi si Lebah Sebatang Kara. Meskipun keesokan harinya aku tetap bersekolah, namun kali ini Ibu ikut bersamaku. Jadi teringat ketika pertama kali Ibu mendaftarkanku sekolah beberapa tahun lalu. Bedanya, kini ia tak bersama dengan para ibu lain yang bisa diajaknya mengobrol soal biaya seragam baru atau bekal harian untuk anaknya. Misi Ibu kali ini ialah untuk menemui kepala sekolah serta wali kelas untuk mengurus izin pindah sekolah bagiku. Pilu sekali.
Karena aku harus tetap mengikuti tiap mata pelajaran layaknya hari biasa, maka aku tak bisa mendengar apa saja yang diperbincangkan oleh Ibuku di ruang Kepala Sekolah. Hanya saja, aku merasa kosong. Tak satu kalimat pun yang dicatat di papan tulis atau buku pelajaran, menempel di otakku. Yang ada di memoriku adalah sekumpulan ingatan kecil tentang kelas yang asyik, melintas cepat seperti kilatan cahaya. Cerita tiap pagi soal ruang kelas yang sesak oleh bangku-bangku, hiasan dinding serta riuh tawa puluhan anak yang bertahun-tahun belajar bersama pun mendadak menyembul-nyembul di ingatanku. Saat piket dan berebut sapu, saat ada yang lupa mengerjakan PR hingga disetrap di depan kelas, saat pernah salah arah ketika menendang bola dan malah hanyut di kali depan sekolah, saat ujian hafalan perkalian bilangan matematika, dan sebagainya. Bahkan, kenangan tidak penting pun muncul seperti saat aku dan Edi pernah menghitung berapa langkah yang kami butuhkan untuk berjalan dari kelas ke kantin sekolah.
YOU ARE READING
Melompat Lebih Tinggi
General FictionMelompat Lebih Tinggi adalah rangkaian cerita tentang seorang anak lelaki korban penggusuran bernama Afan. Akhirnya, ia harus pindah dari sekolahnya yang nyaman di Jakarta ke sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Bersama Ibunya yang berjualan goreng...