Aku percaya bahwa waktu adalah entitas yang selalu bergerak tak kenal ampun. Dari setiap mili detik pergerakannya, perubahan apapun bisa terjadi. Suka ataupun tidak. Waktu juga sedemikian relatif sehingga cepat atau lambatnya pun akan dirasakan berbeda bagi setiap orang. Kadangkala jarum jam terasa berputar beberapa kali lipat lebih cepat dari biasanya ketika sedang menghindari tagihan hutang tetangga. Di kondisi lain, ia pun seperti hanya berdiam saja di porosnya, beberapa kali lebih lambat saat kita terjebak dalam kebosanan atau pikiran yang tertekan.
Kata orang, waktu juga akan menghadirkan jawaban-jawaban yang kita butuhkan dalam menjalani semesta kehidupan. Munculnya istilah 'biarkan waktu yang menjawab', hadir untuk meneguhkan pendirian tersebut. Meskipun dihadirkan perlahan, tapi pada akhirnya jawaban yang berceceran akan tersusun rapi menjadi rangkaian keajaiban yang melegenda dalam hidup manusia. Bagai menyusun puzzle, yang perlu dilakukan adalah menemukan tiap potongannya dan memahaminya. Dengan demikian, kita akan mengerti ia harus ditempatkan di sisi mana sehingga menjadi rangkaian utuh bersama potongan lain.
Rasanya, bagiku menunggu telah menjadi bentuk kerja paling nyata dalam mengiringi keberjalanan waktu. Aku menunggu guru datang di depan pintu kelas hampir tiap hari. Aku pun menunggu bulan Ramadhan segera berakhir saat disuruh membawa bola plastik kami ke rumahku tiap pulang sekolah dan membawanya lagi saat berangkat sekolah setiap harinya. Alasannya adalah khawatir bola itu hilang, meskipun sesampainya di sekolah pun bola itu juga tak dipakai main selama bulan puasa. Aku pun menunggu giliranku berjaga selesai tiap main petak umpet bersama teman-teman kelasku, karena mereka selalu bersekongkol agar aku kalah. Aku setia menunggu hari menjadi minggu ketika tak lagi bertemu dengan mereka yang menyebalkan. Aku juga setia menunggu untuk bertemu kembali dengan teman-temanku di Jakarta.
Aku selalu menunggu hingga sang waktu memberi jawaban akan kapan ini semua akan selesai.
Menginjak kelas enam, aku mulai memiliki alasan yang sedikit lebih keren untuk belajar. Aku sebentar lagi akan keluar dari sekolah ini, kemudian harus masuk SMP favorit! Aku akan meninggalkan lingkaran pertemanan yang tidak sehat dan menceburkan diri di lingkungan yang bisa mendukung pencapaian mimpi-mimpiku, membuktikan bahwa aku bisa mengangkat derajat kedua orangtuaku. Diriku seperti dipantik oleh api yang membangkitan semua syaraf semangatku.
Suatu hari, Pak Ngabdul, wali kelasku di kelas enam, bercerita soal pilihan sekolah setelah lulus.
"Di sekolah ini, biasanya ada tiga tipe lulusan murid..." Ujarnya dramatis.
Saat penjelasan seperti ini, bahkan murid sebandel Roni pun menyimak. Ajaib!
"Pertama, yang putus sekolah. Mereka ini biasanya menikah, khususnya yang perempuan. Jadi buruh pabrik atau tukang pandai besi untuk yang laki-laki. Hmmm... Janganlah kalian jadi orang seperti itu, ya! Itu ndak cuma memutus pendidikan, tetapi juga memutus masa depan kalian!
Kedua, yang lanjut sekolah tapi seadanya. Memang, semua sekolah dasarnya baik. Tetapi, biasanya yang malas belajar ketika kelas enam nanti akan tanggung sendiri akibatnya. Susah mencari sekolah yang kualitasnya bagus, akhirnya bingung dan dapat yang seadanya. Bahkan, barangkali bisa berangkat dan pulang sekolah seenaknya. Angka putus belajar, pernikahan dini, tawuran, bolos dan susah lanjut SMA dari sekolah-sekolah itu juga banyak. Hati-hati.
Ketiga, yang benar-benar serius belajar untuk masa depan. Yang kalau Bapak lagi ngajar, mendengarkan, mencatat, mengerjakan tugas dengan baik. Mereka ini yang akan saling bersaing, beradu kepintaran dan nilai-nilai pengetahuan. Berebut posisi puncak demi belajar di sekolah yang bisa memberikan peluang lebih besar untuk masa depannya. Meskipun demikian, perlu diingat ya bahwa yang jadi penentu adalah kalian sendiri. Bukan standar nasional atau internasional yang disematkan pada sekolah kalian nantinya. Maka dari itu, hidupkanlah masa depan kalian!"
YOU ARE READING
Melompat Lebih Tinggi
BeletrieMelompat Lebih Tinggi adalah rangkaian cerita tentang seorang anak lelaki korban penggusuran bernama Afan. Akhirnya, ia harus pindah dari sekolahnya yang nyaman di Jakarta ke sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Bersama Ibunya yang berjualan goreng...