Aku mengawali bulan pertama sekolah dengan cukup menyenangkan meskipun harus bersiap usai subuh dan berangkat pukul setengah enam tiap harinya. Sejak SMP, jalur bus dan bagaimana kondisi berdesak-desakan di dalamnya tidak banyak berubah. Bahkan masih hal yang wajar melihat satu dua murid duduk di dashboard depan bus, bergelantungan di luar, hingga naik ke atap demi mendapat akses ke sekolah. Suhu dinginnya tetap sama, jalan berkelok tajamnya tak berubah.
Satu-satunya hal yang kurang menyenangkan adalah perpustakaan sekolah yang rupanya hanya menyimpan koleksi majalah, koran, dan buku-buku keilmuwan yang tak jauh beda dengan materi pelajaran. Beruntung, tepat di sebelah barat sekolah ada persewaan komik. Jika bosan, aku biasa ke toko buku loak di Pasar Boyolali. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk memperbagus nilai sehingga mau tak mau harus mengontrol bacaan di luar materi sekolah, dan sekolah ini sepertinya diatur sedemikian rupa untuk menjawab tujuan tersebut. Sebagai pengalihan hiburan dan ajang mencari teman, aku mulai ikut organisasi bermacam rupa.
Saat SD dulu, almarhum Yoga bisa dibilang satu-satunya teman terbaikku. Ah, pilu sekali rasanya harus menambah kata almarhum di depan nama orang yang begitu baik denganku. Sementara Yudi dan satu dua teman lainnya tampak makin dewasa dan bersikap baik belakangan ini. Roni dan geng nakalnya terpencar tak kutahu rimbanya. Ia sendiri kini jadi buruh pabrik. Kawan baikku saat SMP tak begitu banyak. Hanya Rima dan Bambang yang paling akrab denganku, itu pun juga sudah berpencar. Rima diterima di SMA kecamatan dekat rumahnya, Bambang di SMK Farmasi di Solo sana. Sisanya adalah kawan kelas dan yang biasa kujumpai di perpustakaan saja. Sebagian dari mereka pun juga bersekolah di Trihita. Oleh karenanya, memperluas pertemanan juga jadi sesuatu yang juga aku upayakan saat ini.
Hampir setengah dari organisasi di sekolah aku ikuti: Rohis, OSIS, Dewan Ambalan, PMR, Seni Rupa dan Teater. Praktis tiap senin sampai sabtu aku ada kegiatan pembekalan tiap sepulang sekolah, dan akan terus begitu sampai pelantikan nanti. Sesekali jadwanya ganti, bertumpuk dan aku harus memilih satu di antara dua, kena omel senior dan dipertanyakan kenapa harus ikut banyak-banyak. Jawabanku selalu sama: ingin punya teman sebanyak mungkin, soal lelah dan belajar biar aku yang tanggung.
Bu Retno kebetulan menjadi pembina dari ekskul PMR. Tiap kamis, dia hampir selalu datang dan mengikuti beragam kegiatan pembinaan untuk para calon anggota PMR yang belum dilantik sepertiku. Jumlah laki-laki yang bergabung tak sebanding dengan perempuan. Lipat sepuluh. Adapun alasanku ikut PMR sebenarnya cukup sederhana: bisa berteduh di belakang saat upacara tiap senin. Aku rela selalu kebagian jadwal piket jaga upacara karena selain teduh di bawah pohon, seru rasanya tiap mendadak ada siswa pingsan karena belum sarapan atau pura-pura sakit dan minta dibawa ke UKS. Lalu menemaninya di UKS, alih-alih kabur dari upacara, sampai selesai.
Di suatu kamis siang yang panas, Bu Retno datang sembari membawa beragam jenis gorengan dan jajan pasar untuk 50an siswa. Untuk siswa yang uang jajannya pas-pasan, kehadiran Bu Retno dan setumpuk makanannya bagai dihadiahi kain kasmir tebal di musim dingin. Wanita yang selalu adem dipandang itu berbisik sedikit dengan beberapa mas-mba pengurus PMR di depan kelas lalu mengambil alih perhatian kami semua.
"Halo anak-anakku semua. Apa kabar?"
"Baik, Bu..." Kompak kami.
"Saya baru dapat surat dari PMI Pusat tentang kegiatan Jumbara PMR yang akan diadakan pada liburan akhir tahun ini. Tiap kecamatan dipilih satu sekolah sebagai perwakilan, dan kali ini SMA Trihita-lah yang berkesempatan untuk dipilih. Kegiatannya berkemah lima hari dan akan ada beragam perlombaan. Ini suratnya saya titipkan ke Mas Aziz ya? Nanti tolong adik-adiknya dibimbing. Semua dilatih, semua bisa ikut seleksi. Nanti kalau butuh pengajar dari PMI bilang Ibu, biar dihubungi. Alumni-alumni yang dulu juga suka ikut kayak mas Dicky, mba Ayu, dan lainnya diajak bantu yah. Lomba lima tahunan ini kita harus serius, fokus. Minggu depan daftar nama yang ikut diserahkan ke meja Ibu ya?" Tuturnya panjang kemudian menyerahkan lembaran kertas informasi lomba dari PMI Pusat di tangannya ke Mas Aziz, ketua PMR.
YOU ARE READING
Melompat Lebih Tinggi
General FictionMelompat Lebih Tinggi adalah rangkaian cerita tentang seorang anak lelaki korban penggusuran bernama Afan. Akhirnya, ia harus pindah dari sekolahnya yang nyaman di Jakarta ke sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Bersama Ibunya yang berjualan goreng...