Aku duduk termenung sendiri di depan tenda kala pagi belum sepenuhnya bercahaya. Kuamati tenda-tenda segitiga beragam warna yang dipagari oleh bambu-bambu kecil serta gapura yang dicat beraneka rupa. Sebagian penghuninya masih dikeroyok selimut di dalamnya. Hanya satu-dua orang lalu lalang ke toilet atau baru pulang dari masjid desa. Rumput masih basah berembun. Jangkrik melompat-lompat. Angin berhembus sepoi-sepoi. Siluet gunung Merapi dan Merbabu terlihat bagai pundak raksasa di ujung barat. Burung bersorak-sorai dari jauh, tak sabar menantikan hari perlombaan.
Di pagi yang teduh ini, tak lagi terdengar amarah dan tangis yang bercampur tadi malam. Bu Retno yang sudah pulang pun tadi malam kembali ke sini dan ikut tidur di tenda perempuan untuk memastikan tak ada permusuhan antar tenda di kontingen kami. Hampir saja mas Dicky melabrak para siswa dari SMA Wahid yang sekenanya asik sendiri dan berisik hingga tengah malam, tertawa di atas kesedihan teman-temanku yang harus rela mundur karena diganti oleh mereka. Untung, mas Aziz sigap dan menelpon Bu Retno tepat waktu sehingga kericuhan tak perlu terjadi. Katanya, kami hanya perlu belajar le-go-wo.
"Ibu mengerti kalian sudah berkorban banyak, berlatih keras, sudah siap mental dan skill untuk bertanding. Ibu paham kalian sedih dan kecewa. Tapi kadang, Allah ingin menunjukkan sayang-Nya sama kita dengan mencabut hal yang benar-benar kita inginkan. Semoga ketika kita bisa menyikapi dengan ikh-las-dan-sa-bar, nanti pasti diberikan kesempatan yang lebih baik. Ibu berjanji, kalau nanti ada mata lomba yang sama, maka yang tak bisa ikut kali ini akan Ibu prioritaskan untuk ikut lomba berikutnya." Ujarnya lembut.
Aku merenungi ucapan Bu Retno dalam-dalam, ditemani kesunyian pagi yang menghanyutkan pikiran. Betapa misteriusnya hidup ini, segala hal bisa terjadi demi membalikkan realita dengan hal baru di luar logika. Batasan-batasan takdir pun jadi buram rasanya karena sejatinya tak ada satu pun manusia yang memahami bagaimana ia akan terus bergulir. Yang terlihat menawan bisa berubah memuakkan. Yang terdengar merdu bisa berubah pilu. Benar-benar misterius, dan manusia mau tak mau harus menelan pil kemisteriusan itu mentah-mentah. Tak punya daya dan upaya apapun untuk memahami dan menolaknya.
Neuron-neuron di otakku saling bersorak-sorai. Satunya mengutuk keadaan, satunya meminta menerimanya, satunya mengajak cari solusi, dan satunya lagi malah sibuk bertanya-tanya kenapa. Ramai sekali seperti sirkus.
Aku tak begitu bersemangat hari ini meskipun giliranku akan tiba pada sore nanti. Dwi dan beberapa teman lain yang terpaksa menanggalkan nomor peserta lombanya lebih banyak diam, sambil sibuk mengurus dapur atau mencari air. Sementara kontingen SMA Wahid di dalam tenda dome itu tak perlu repot memotong dan menggoreng makanan karena stok nasi kotak mereka selalu datang tepat waktu tiap jam makan. Aku sendiri tak tertarik bertemu dan diskusi dengan siswi pengganti Dwi dari SMA Wahid. Bahkan tahu siapa orangnya pun tidak. Padahal, teknis lomba poster diubah menjadi menggambar bersama di sebuah kertas A3. Berdua mencipta satu karya. Aku akan memilih egois dan memaksanya menggunakan ideku. Kalau perlu, ia malah tak perlu repot-repot membantu. Duduk anteng saja membersihkan dan menata tiap krayon yang baru kupakai.
Aku membunuh waktu dengan mengelilingi tenda-tenda yang kian lama kian riuh. Kulihat semua orang berlatih bersama dan saling mengomentari. Ada yang membuat tandu, memperagakan pertolongan pertama, adu cepat menjawab soal, latihan presentasi dan sebagainya. Sentuhan-sentuhan akhir diberikan demi persiapan yang matang dalam kesempatan langka ini. Nuansa persaingan pun kental terasa. Jika ada satu saja siswa yang ketahuan tidur siang di dalam tenda panas, maka teman-temannya akan seketika menariknya. Membanding-bandingkan dengan kontingen sebelah yang terus mengasah ilmunya. Dari sejauh pengamatanku menyusuri lebih dari 30 kontingen, dari 90-an tenda yang ada, hanya SMA Wahid saja yang berjenis dome, tak punya dapur dan tidur bercampur.
Hari beranjak sore. Aku mulai dipanggil untuk bersiap menuju sebuah tenda panggung cukup luas yang dipakai untuk lomba menggambar. Kupastikan semua alat lengkap. Dwi dan Fenny menemaniku sembari mengucapkan kata-kata penyemangat. Sesampainya di sana, aku dihampiri oleh seorang perempuan yang tak memakai kalung identitas panitia. Rambutnya hitam lurus. Ia mengenakan kardigan merah jambu yang mencolok sekali. Dia lantas mengenalkan dirinya bernama Santi dari SMA Wahid yang akan menemaniku di perlombaan ini. Dwi memalingkan muka dari perempuan itu.
YOU ARE READING
Melompat Lebih Tinggi
Художественная прозаMelompat Lebih Tinggi adalah rangkaian cerita tentang seorang anak lelaki korban penggusuran bernama Afan. Akhirnya, ia harus pindah dari sekolahnya yang nyaman di Jakarta ke sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Bersama Ibunya yang berjualan goreng...