Dalam hidup, banyak hal yang tak bisa kita pilih. Terkadang, ada hal-hal yang disodorkan oleh takdir begitu saja tanpa mau berkompromi terlebih dahulu. Satu-satunya pilihan yang diizinkan hanyalah menerimanya. Manusia tak pernah meminta, dan akhirnya ditunjukkan oleh semesta, bahwa matahari terbit dari tepi horizon timur kemudian berlabuh di barat. Manusia juga hanya diberitahu bahwa yang namanya waktu akan terus bergulir dengan angkuh tanpa bisa diminta berhenti walau cuma sepersekian detik. Manusia pun kadang hanya bisa berharap, namun bintang gemintang pun hanya akan memamerkan gemerlap sinarnya pada malam yang cerah. TIdak setiap saat. Relasi antara ekspektasi manusia dan realita yang membungkus semesta memang rumit.
Hal yang sama terjadi dengan kota yang akan menjadi tempat tinggal kami berikutnya, Boyolali. Tuhan menakdirkan kami untuk berpindah di sebuah kabupaten kecil yang diapit oleh beberapa big bosses seperti Semarang, Yogyakarta dan Solo. Dua pasak bumi raksasa membentenginya dari sebelah barat dengan gagah, Merapi dan Merbabu. Selimutnya kehijauan, berkat beragam tanaman palawija lebat yang terhampar luas sejauh mata memandang. Sesekali dibelah oleh garis-garis aspal kehitaman yang melintang dari ujung ke ujung. Rumah-rumah kayu berkerumun tak beraturan di sisi kanan dan kiri jalan. Udaranya juga dingin sekali. Sampai keluar uap dari mulut ketika aku berbicara. Seperti naga! Kondisinya hampir 180 derajat berbeda dengan Jakarta yang sudah membersamaiku sembilan tahun lamanya.
Langit masih gelap ketika kami sampai di depan rumah nenek. Satu-satunya petunjuk waktu adalah adzan subuh yang mulai bersahut-sahutan dari pengeras suara masjid. Satu per satu barang diangkut ke dalam rumah kayu nenek yang masih beralaskan tanah. Sepotong kayu yang melintangi dua pintu kembar dari dalam rumah berfungsi sebagai kunci. Bambu yang dianyam rapi dan bercatkan putih kusam menjadi langit-langit. Lampu kecil yang memendarkan cahaya putih redup diletakkan di tengahnya. Di sudut atas sana, terlihat sarang laba-laba menempel tak karuan. Sebuah amben bambu, beberapa kursi kayu serta meja kecil menjadi pengisi ruang tengahnya. Dua tiga gelas kaca bergambar bunga warna-warni tergeletak di atas meja itu.
Ketika pertama kali melihat nenek, aku langsung berlari memeluknya. Ia tersenyum hangat.
Setelahnya, aku tidur pulas hingga dibangunkan Bapak untuk diajaknya mendaftar ke sekolah baru. Malas sekali rasanya untuk sekadar membuka mata dan menerima kenyataan bahwa aku harus berpindah sekolah. Setelah bujuk rayu yang lumayan lama, akhirnya aku bergegas. Aku mulai banyak protes. Air mandi dari gunung yang sangat dingin kuartikan sebagai pertanda tidak akan bersahabatnya aku dengan tempat ini. Belum lagi, ternyata aku harus berjalan menanjak untuk menuju ke sekolah. Berbeda saat di Jakarta yang mana aku melewati jalan menurun. Pepohonannya pun menurutku terlalu banyak. Hampir di tiap halaman rumah yang kulalui terdapat pohon cengkih yang menjulang beberapa meter tingginya. Sesekali kulihat burung kecil terbang berkejaran dari satu dahan ke dahan lain. Aku merasa sedang berada di hutan. Di tengah perjalanan, kulihat seorang wanita berwajah keriput sedang duduk di atas amben, diitari oleh wadah-wadah berisi beraneka makanan seperti bubur, gorengan, sayur dan sebagainya. Bapak menawariku untuk membeli sarapan tapi aku menolak. Kubilang bahwa aku takut keracunan.
Ah, pokoknya tempat ini serba salah!
Sebuah palang kayu bercatkan putih yang mulai mengelupas dengan tulisan "SD Tumang" menandakan aku sudah sampai. Di dekatnya, ada sepasang gapura sederhana berdiri di depan halaman tanah berpasir yang diitari oleh kelas-kelas. Suasananya cukup sepi. Hanya satu dua siswa berseragam merah putih berjalan ke sudut sekolah yang kuduga adalah toilet. Mataku berkali-kali kembali menyisiri tiap sisi calon sekolahku, mencari bagian yang kiranya menarik. Namun aku selalu gagal. Apakah benar kata Bapak bahwa aku akan menemukan teman pengganti yang cukup baik di kelas baruku? Aku sama ragunya seperti diajak berjanji dengan Pinokio. Bagiku, tak ada yang bisa menandingi keseruan teman-temanku di Jakarta sana.
YOU ARE READING
Melompat Lebih Tinggi
General FictionMelompat Lebih Tinggi adalah rangkaian cerita tentang seorang anak lelaki korban penggusuran bernama Afan. Akhirnya, ia harus pindah dari sekolahnya yang nyaman di Jakarta ke sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Bersama Ibunya yang berjualan goreng...