Kandang Kambing

779 21 1
                                    


Kambing adalah salahsatu hewan yang paling lama bersahabat dengan manusia. Sejak ribuan tahun lalu, manusia menangkap kambing-kambing liar yang tersebar di padang luas sebagai alternatif pangan. Mengurungnya dengan tiang kayu dan bebatuan kemudian menyembelihnya kapanpun dibutuhkan. Hal ini dilakukan karena kebudayaan berburu atau bercocok tanam dianggap tak bisa selamanya dijadikan andalan dalam mengelola pangan para manusia purba. Serangan hewan buas, hama hingga iklim yang mengganggu kebun menjadikan nenek moyang manusia berpikir ulang. Mereka pun memilih untuk menangkap binatang yang relatif mudah patuh serta tak akan memakan balik. Kambing adalah salahsatu jawaban.

Kakek adalah salah seorang yang kuanggap sebagai seorang penerus kebudayaan nenek moyang yang paling baik karena beliau beternak kambing. Di sebuah lahan tak jauh dari rumahnya kini, terdapat gubuk bambu sekitar lima kali sepuluh meter. Tiap pulang kampung, aku sering kali diajak kakek menjenguk belasan kambing miliknya di gubuk itu. Isi di dalamnya memang agak berantakan. Tumpukan rumput berceceran di sana-sini berkat ulah kambing pecicilan yang hanya diikat lehernya pada tiang kayu. Hanya ada satu lampu neon redup yang menggantung di atas langit-langit serta pawon dengan kayu bakar berjejalan di dalamnya. Sesekali, Kakek biasanya mengajakku merebus ubi atau singkong di situ sambil mengganggu kambing-kambingnya. Meskipun demikian, aku paling suka ketika Kakek mengajakku untuk mengeluarkan semua kambingnya, menggiringnya menuju sepetak kebun kecil yang disewanya, di tengah-tengah kebun warga desa yang terbentang luas.

Pernah suatu ketika, Kakek meninggalkanku sendiri di dalam gubuk kandang kambingnya. Ia bilang ingin ke rumah mengambil rokok. Udara desa yang dingin membuatku hanya bisa menghangatkan diri dengan duduk di depan pawon yang apinya merah menyala, membakar singkong bersama dengan arang dan abu. Sementara kambing di dekatku mengembik gelisah, sepertinya ia ingin mendekat ke pawon namun lehernya tercekat tali yang mengekang hidupnya. Seakan ingin bilang bahwa ia juga butuh kehangatan.

Aku ada ide!

Kuambil sepotong kayu yang ujungnya merah terbakar. Asapnya mengepul tipis. Lantas, kudekatkan batang kayunya ke arah kambing berbulu putih itu. Ia mendekatkan mulutnya ke batang kayu yang kusodorkan. Mungkin dipikirnya makanan. Aku pun malah nekat dan semakin menyorongkan batang kayu itu hingga mengenai mulutnya. Ia melompat-lompat kepanasan. Derap kaki gusarnya membuat debu beterbangan dan membuat potongan rumput di tanah semakin berantakan. Aku pun kabur ke luar gubuk.

Mungkin aku dikutuk oleh kambing itu, yang entah kini sudah bersemayam di perut siapa. Beberapa tahun setelahnya, kekualatan itu menghampiriku.

Saat sudah pindah ke Boyolali, aku dan keluargaku masih tinggal sementara di rumah nenek. Kami pindah saat gubuk kandang kambing itu sudah disulap sedemikian rupa menjadi rumah seadanya. Sekarang giliranku untuk menghuninya. Lantainya tanah, dindingnya kombinasi tripleks dan anyaman bambu, langit-langitnya adalah genteng coklat tua yang banyak diselipi oleh dedaunan bambu kering. Membuatnya pasti bocor tiap hujan. Sementara kamar mandinya terpisah dari rumah, terletak satu meter di belakang rumah. Membuatku takut ke sana jika hari gelap karena sisi depan, belakang dan kiri rumahku adalah kebun bambu milik tetangga. Sampai-sampai Ibu memarahiku jika aku masih minta ditemani ke kamar mandi untuk wudhu,

"Kamu ini kapan sih jadi anak lelaki pemberani?" Omelnya saat memasak telur dadar untuk sarapan.

"Nanti ah kalau udah kuliah." Jawabku polos.

Ibu membalasnya dengan tawa sembari menggeleng-gelengkan kepala.

Persoalan tinggal di rumah gubuk bekas kandang kambing juga menjadi bahan tertawaan oleh Roni dan lainnya. Entah dari mana mereka tahu dan begitu peduli urusan seperti itu. Saat lewat di depan mejaku, mereka akan menutup hidung dan menirukan suara kambing. Ketika aku berusaha tak peduli dengan membaca buku atau sekadar menatap ke luar keras, Roni memukul mejaku dan kemudian berteriak di telingaku,

"Hek, mambu wedhus! Bau kambing!"

Mengganggku sekali.

Aku mulai tak nyaman dengan kondisi kelasku. Usai pulang sekolah, atau ketika libur, aku lebih memilih untuk bermain dengan beberapa teman di dekat rumahku yang usianya lebih muda. Kadang kami bermain petak umpet di kebun desa yang luas, menyusuri jurang-jurang dalam, berburu kumbang tanduk, atau membakar jagung dan ubi dari petak kebun entah milik siapa. Setidaknya, mereka tak pernah nakal kepadaku dan lebih bisa diajak ngobrol tanpa menghinaku ketika salah berbahasa Jawa. Mau tak mau aku harus belajar karena ada pelajaran Bahasa Jawa pula di sekolah. Atau jika sedang butuh bantuan, aku membantu Ibuku saat memasak beragam gorengan seperti tahu, pisang, jagung, bakwan, tempe dan ayam. Peranku tak jauh-jauh dari mengupas pisang, memotong wortel, mencuci tauge atau membuang sampah. Saat sore, jika dapat giliran, aku bersama seorang tetanggaku biasanya keliling desa sembari membawa buku catatan besar untuk menghimpun tabungan warga. Di desaku ada sistem tabungan per orang, yang kemudian dihimpun bersama di sebuah rekening di bank. Nanti di akhir tahun, tabungan itu diambil dan dibagikan ke tiap pemiliknya. Pengumpul tabungannya pun digilir per dua rumah. Atau jika benar-benar bosan, aku menimba air di kolam desa yang terletak di pinggir jalan karena belum ada saluran air yang tersambung ke rumah-rumah. Sehingga, mau tak mau tiap hari selalu ada pembagian jam serta antrian untuk menimba air.

Ibuku berjualan gorengan. Tiap pagi usai memberesi urusan rumah, ia selalu belanja ke sebuah pasar kecil di desa kami yang terletak di depan kantor kelurahan. Setelahnya, langsung menyiapkan bahan dan alat masak yang seabrek, mengakuisi seluruh dapur. Ketika memasak, asapnya mengepul, menembus genteng-genteng tua yang berlubang sana-sini. Jika tak tahu, tentu orang luar akan menganggap ada kebakaran di rumah kami. Ibu biasanya baru selesai memasak pukul dua siang. Setelahnya, dia akan memindahkan beragam gorengan yang menggunung itu ke dua buah keranjang plastik dan sebuah nampan. Setelah beres, ia berangkat keliling desa hingga maghrib bahkan isya, membawa ketiga wadah itu. Tak peduli hujan atau panas, tanggal merah atau hijau, bulan sabit atau purnama. Selama ia bisa membantu keluarga, ia akan tetap jalan dengan satu keranjang di pundak, satu lagi di lengan kanan, dan nampan di lengan kiri.

Sebelum berjualan gorengan keliling desa yang berkilo-kilo meter jauhnya, dengan jalan yang naik turun, Ibu telah mencoba beberapa jenis usaha. Ia pernah menjual es buah di pinggir jalan namun pembelinya tak banyak. Hanya beberapa anak kecil yang sesekali lewat atau sedang bermain di lingkungan kami. Kemudian ia pernah menjual siomay keliling desa. Sayangnya, sudah ada beberapa penjual siomay yang juga biasa berkeliling tiap sore. Ibu enggan jika ada perasaan tak enak karena dianggap bersaing. Akhirnya ia mencoba gorengan dengan sesekali menambah dengan kolak pisang dan ayam bakar saat puasa. Meskipun jadi bahan candaan teman-teman di kelas, kutahu Ibuku baik. Tak jarang ia memberikan sepotong ayam goreng untuk anak-anak yang hendak jajan padanya tetapi uangnya tak cukup.

Sementara Bapak memulai usaha seperti puluhan warga di desa Tumang pada umumnya: menjadi pengrajin logam. Kebetulan, desaku merupakan sentra usaha masyarakat yang berbasis pada kerajinan tembaga dan kuningan. Lempengan-lempengan kuning perunggu itu dipahat sedemikian rupa menjadi beragam bentuk yang apik. Mulai dari kaligrafi, lampu, nampan, piala, patung, kubah, dan sebagainya.

Sayangnya, memulai usaha sendiri memang tak semudah kata-kata motivator bisnis yang ada di televisi. Untuk modal saja, Bapakku harus meminjam uang tetangga yang kadang ditagih mendadak. Hatiku seperti teriris tiap mendengar bahwa Bapakku belum ada cukup uang untuk mengembalikannya. Hidup, apalagi berbisnis, rupanya tak sesederhana menggunakan jargon amati-tiru-modifikasi, apalagi sekadar dogma pantang menyerah dan bangkit lagi. Mungkin saja motivator itu belum pernah menjadi penjual gorengan atau pengrajin logam korban gusuran pemerintah demi membangun taman yang tak jelas ujungnya, serta terpapar radiasi gosip tetangga dan kondisi ekonomi mikro yang terus menghimpit hingga ke sum-sum tulang.

Meskipun demikian, aku bangga dengan Ibu dan Bapak.

Aku memang kesal dengan celotehan teman-teman sekelasku entah soal rumah maupun pekerjaan orangtuaku. Tetapi, aku yakin bahwa aku pun bisa menunjukkan pada mereka dan dunia bahwa dari gubuk bekas kandang kambing ini akan hadir pembuktian dari tekad dan mimpi akan hidup yang lebih baik. Entah bagaimana nanti dunia akan memutar-balikkan keadaan, membenturkanku dengan kerasnya hidup ribuan kali, hingga bahkan jika semesta berkonspirasi untuk menjatuhkanku, aku akan berjuang keras menjadi pejuang dari mimpi-mimpi itu. Bahkan jika ada tingkatan yang lebih tinggi dari kata berjuang keras, aku akan melakukannya.

Aku akan tetap menari bersama mimpi-mimpiku di atas panggung dunia, mendobrak ketidakmungkinan serta bermain bersama keajaiban, sampai Tuhan sendiri yang menghentikan pertunjukanku.

Melompat Lebih TinggiWhere stories live. Discover now