Aku tinggal bersama kedua orangtuaku dan seorang adik perempuan di sebuah kontrakan dengan tiga ruangan sederhana dan satu kamar mandi tanpa atap. Bentuknya sama dengan jejeran kontrakan lain di kanan-kiri kami. Lurus, berbaris rapi seumpama paskibraka tiap hari senin. Tak perlu desain interior yang terlalu rumit untuk hunian di sela-sela Jakarta yang sesak dan gerah. Hanya ada ruang tamu, ruang tidur dan dapur yang hanya disekati oleh tembok dan gorden. Dengan demikian, semakin banyak hunian, maka semakin besar pula biaya sewa yang akan mengalir ke pemilik tanah. Alhasil, segenap petak rumah yang ada pun dijejalkan sejadi-jadinya. Begitulah kira-kira penggambaran kondisi di kanan-kiri Jl. Haji Baping ditinjau dengan pendekatan geografis, sosiologis dan kapitalis.
Sebelumnya, kami sekeluarga pernah menempati kontrakan yang tak jauh dari lokasi saat ini. Interior rumahnya tak banyak berbeda selain catnya yang banyak terkelupas serta plafon kamar tidur yang berlubang. Di tengah lantai dapur, ada cekungan beberapa belas senti. Kentara sekali amblesnya. Belakangan setelah kami pindah, si pemilik kontrakan mengaku ternyata beberapa puluh tahun lalu kontrakan tersebut pernah digunakan oleh sebuah keluarga miskin yang memiliki bayi yang sedang sakit. Suatu ketika, bayi itu diketahui meninggal namun mereka tak memiliki uang untuk mengurus perkuburan. Lantas mereka kabur dari kontrakan dan menguburkan anaknya di situ. Jakarta memang keras.
Sebagai anak seorang penjual ayam goreng, siswa kelas empat SD serta anggota geng nonton bareng power ranger tiap minggu pagi, aku merasa hidupku baik-baik saja. Permasalahan terbesarku tak jauh-jauh dari perhitungan matematika, iri melihat mobil Tamiya milik teman yang lebih cepat serta bergulat dengan diri sendiri tentang apakah jangan-jangan aku ini titisan ranger merah, atau mungkin hitam.
Tak jauh dari rumahku, ada setidaknya tiga tanah lapang yang biasa dipakai untuk beragam keperluan. Saat 17-an, salahsatu tanah lapangnya, yakni halaman luas di depan rumah Pak RT menjadi wahana beragam perlombaan rakyat. Mulai dari makan kerupuk, menangkap belut, panjat pinang dan beragam variasi lain dengan tali-temali, botol bekas hingga sarung bau tengik pun menjadi properti yang bisa menyenangkan hati semua orang. Hanya dengan meminta selembar uang Rp 5.000 bergambar danau kelimutu kecoklatan kepada Ibuku, aku punya kesempatan untuk ikut setidaknya dua atau tiga jenis perlombaan. Tergantung sudah keburu penuh atau belum. Tangkap belut pun menjadi perlombaan yang selalu aku juarai. Bangga sekali rasanya. Jangan-jangan aku ini memang punya bakat jadi penjual belut di pasar Ciracas.
Jarak dari rumah ke sekolah pun bisa ditempuh dengan jalan kaki. Biasanya, Satrio dan Ayu yang tinggal di dekat rumahku pun berangkat ke sekolah bersamaku. Entah berpapasan di jalan, atau jika sedang niat maka kami akan saling mengunjungi rumah satu sama lain untuk berangkat bersama. Meskipun demikian, sesekali aku pernah mencoba naik angkot saat punya uang jajan lebih atau hujan. Nggak capek, tapi rasanya kurang nyaman. Belum ada lima menit duduk, aku sudah harus turun karena keburu sampai di tujuan.
Lingkungan sekolahku pun tergolong ramai. Ada setidaknya empat sekolah dasar dan satu sekolah menengah yang berdampingan satu sama lain. Sebuah kali selebar dua meter mengalir di depan sekolahku, bersamaan dengan tumpukkan sampah yang baunya seperti memukul perut kami tiap musim penghujan. Pernah saat pulang sekolah, aku melihat bangkai ular warna abu kehijauan sebesar batang pohon jambu tengah hanyut bersama tumpukan sampah lainnya. Ayub, teman sekelasku, nekat menarik reptil buas itu dengan sebilah kayu yang berakhir pada kakinya terpleset dan ia hanyut di tengah arus deras. Beruntung, Pak Asep, tukang kebun sekolah kami, segera menghadang siswa berambut cepak itu di tengah arus. Ia berdiri tegap di atas jembatan bambu yang membelah kali sembari menjulurkan tangannya selebar mungkin seumpama penjaga gawang timnas. Ayub pun terselamatkan, meski harus menanggung malu dan bau air hasil campuran beragam cairan paling hina dari selokan kampung-kampung Jakarta.
YOU ARE READING
Melompat Lebih Tinggi
Fiksi UmumMelompat Lebih Tinggi adalah rangkaian cerita tentang seorang anak lelaki korban penggusuran bernama Afan. Akhirnya, ia harus pindah dari sekolahnya yang nyaman di Jakarta ke sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Bersama Ibunya yang berjualan goreng...