Entah berapa lama aku memandangi langit-langit kamarku ini. Aku mulai merasa lelah dan aku yakin kalau mataku pasti sudah sangat merah. Bahkan selama kuliahku di Inggris, aku tidak pernah sekalipun menangis ataupun mengingat kenangan pahit itu. Tapi sekarang, aku tidak sedang mengerjakan apapun untuk mengalihkan pikiranku. Mungkin itulah yang membuatku menjadi sensitif beberapa hari ini.
Dering handphone membuatku tersadar dan mengusap sisa air mata di wajahku. Aku segera duduk dan meraih handphone di nakas. CEO Bodoh. Aku tersenyum kecil saat melihat nama itu. Aku memang memberikan nama yang tepat. Mungkin kalau sampai Viktor melihatnya, dia pasti akan melotot dengan tidak percaya.
“Halo?”
-Ada apa dengan suaramu? Kau menangis?-
Aku menjauhkan handphone dan mencoba melegakan tenggorokanku. Tapi sepertinya tidak memberi efek apapun karena suaraku masih serak. “Hmm, tidak. Tenggorokanku sedang bermasalah.”
-Benarkah?-
Aku memutar mataku malas dan kembali membaringkan tubuhku ke ranjang. Kakiku bergerak menggeser jendela kamarku yang menampilkan langit mendung di luar. Sepertinya akan hujan, kuharap George membawa payungnya diransel.
“Aku akan mematikan teleponnya kalau kau terus bernada tidak percaya seperti itu.”
-Baiklah. Maafkan aku. Apa kau sedang sibuk?-
“Tidak. Aku baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahku.”
Suara berisik di sana membuatku merasa sedikit penasaran. Apa yang mungkin sedang dilakukan Viktor sampai membuat suara keras seperti itu? Kurasa ini akhir minggu, dan sudah pasti kalau Viktor sedang libur dari pekerjaannya.
“What’s wrong?”
-Tidak. Adikku mengacau di kamar.-
“Kau sedang bersama adikmu? Kalau begitu kenapa menelponku? Lebih baik kau menghabiskan waktu dengan adikmu.”
Beberapa saat hanya ada keheningan di antara kami. Secara samar aku masih bisa mendengar suara Viktor yang sepertinya sedang bicara dengan Katarina. Mungkin dia menutupi speaker handphone dengan tangannya.
-Kakak sedang menelepon, princess. Berhenti mengacaukan meja kerja kakak. …astaga, kak. Aku hanya ingin mendengar calon kakak iparku. Kenapa pelit sekali? … Apa yang ingin kau lakukan? … Bisakah dia datang ke rumah? Aku penasaran dengannya. … Akan kakak tanyakan dulu. Jangan membuat kekacauan lagi, princess.-
Suara-suara perdebatan itu membuatku mengernyit. Apa yang dikatakan Katarina tidak salah? Calon kakak ipar? Apa dia tidak salah dengar? Viktor pasti berpikir kalau aku tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
-Georgie, are you still there?-
“Ya.”
-Hmm, adikku penasaran apakah dia bisa bertemu denganmu di rumahku. Bagaimana menurutmu? Kalau kau tidak mau, it’s fine. Aku hanya bertanya.-
Aku menggigit bibirku dengan bingung. Secara tidak langsung, Viktor mengundangku datang ke rumahnya. Walaupun aku tahu kalau adiknya yang memaksa bertemu denganku. Apa tidak akan ada masalah kalau aku melangkah sejauh itu? Seharusnya tidak karena aku hanya akan ke rumah Viktor untuk bertemu dengan Katarina.
-Kuharap kau mau datang, Georgie. Aku minta bantuanmu untuk membuat Katarina merasa sedikit melupakan masalahnya dan tidak terlalu khawatir. Kurasa kau orang terbaik yang bisa membuatnya merasa lebih baik.-
Ucapannya secara tidak langsung memaksaku untuk menyetujui permintaan Katarina. Mungkin aku bisa melakukannya, setidaknya hanya untuk beberapa jam saja. Aku yakin kalau aku tidak akan bisa berada di sana lama-lama. Apalagi dengan George yang mungkin akan menaruh curiga.
“Hmm. Kurasa aku bisa melakukannya.”
-Benarkah? Terima kasih banyak, Georgie. Apa aku perlu menjemputmu besok?-
“Tidak perlu. Aku akan naik taksi besok. Jam berapa aku harus di sana?”
-Setelah makan siang saja. Adikku akan kencan dengan Keenan besok pagi.-
Aku hanya bisa mengangguk paham dan kembali menatap jendela kamarku yang sudah menunjukkan rintik-rintik hujan. Dengan gerakan refleks, aku bangkit dan keluar untuk menyingkirkan pakaian yang sedang kujemur. Beruntung belum ada baju yang basah karena hujan. Bisa-bisa aku harus bekerja dua kali kalau sampai itu terjadi.
-Georgie?-
“Ya?”
-Apa yang sedang kau lakukan?-
Aku kembali masuk ke dalam dan memutuskan untuk duduk di depan televisi setelah menutup jendela kamarku. Aku bersandar dengan nyaman di sofa dan meraih bantal sofa dengan kakiku. Kepalaku bersandar dengan nyaman diatas bantal-bantal sofa dan memperhatikan percikan air hujan yang mulai membasahi balkon.
“Aku baru saja menyingkirkan pakaian yang sedang kujemur. Hujan tiba-tiba turun, apa di sana juga hujan?”
-Belum. Hanya langit mendung saja.-
“Kurasa rumahmu cukup jauh dari cafeku.”
-Begitulah. Jadi, ceritakan tentang kuliahmu itu.-
Aku meluruskan kakiku dan mendesah kecil. “Tidak ada yang terlalu spesial, actually. Aku mendapat beasiswa dan akhirnya menghabiskan waktu tiga tahunku untuk kuliah di Inggris.”
-Kau satu kampus dengan Keenan, kan? Jadi kau kuliah di Oxford University?-
“Begitulah.”
-Ternyata kau memang jenius.-
Aku terkekeh pelan dan mengangguk tanpa sadar. Berbicara dengan Viktor memang selalu membuatku merasa lebih baik. Walau tadi pagi perasaanku cukup kacau, sekarang aku merasa jauh lebih baik.
“I’ve told you.”
-Bagaimana kau bisa lulus bersamaan dengan Keenan yang mengambil S2nya?-
“Aku tidak tahu. Kurasa Keenan lebih jenius dariku. Dia seharusnya menyelesaikan gelas S2nya dalam 6 tahun, tapi dia bisa selesai dalam 4 tahun.”
-Dan kalau tidak salah, kau seharusnya menghabiskan waktu 5 tahun, Georgie. Kau selesai dalam 3 tahun, dengan grade cum laude. Aku bahkan tidak yakin adikku sepintar dirimu.-
-… Aku bisa mendengarmu, Kak. Menyebalkan.-
Aku terkekeh pelan mendengar suara kesal Katarina. Dia pasti masih berada di dekat Viktor. Kurasa Katarina adalah orang yang menyenangkan. Mendengar interaksi mereka membuatku mengingat diriku sendiri. Aku ragu apakah mereka pernah memiliki masalah sepertiku dan George. Kuharap mereka tidak pernah berbohong satu sama lain.
“Kurasa aku harus menutup teleponnya. Aku akan datang ke rumahmu besok, setelah makan siang.”
-Ah, baiklah. See you tomorrow, then.-
“Ya, see you.”
Setelah sambungan kami terputus, aku meletakkan handphone ke nakas di atas kepalaku. Kunyalakan televisi dengan remote dan menghabiskan siang itu dengan menonton film.
.
.
.
Aku membuka mataku saat merasakan ciuman dikeningku. George duduk dikarpet dan tersenyum kecil. Aku melirik balkon yang sudah menampilkan langit malam. Entah sejak kapan aku tertidur di sofa.
“Sejak kapan kakak tidur di sini?”
“Hmm? Entahlah. Kakak sedang menonton film tadi. Jam berapa sekarang? Kau baru saja pulang?”
“Jam 8. Kelasku selesai jam 7 tadi. Kakak belum makan?”
Aku menggeleng dan bangkit duduk. George mematikan televisi dengan remote dan segera berdiri. Aku hanya mengikutinya dalam diam dan berhenti di dapur. Sudah ada makanan di meja saat aku melihatnya. George pasti sudah memasak sebelum membangunkan tidurku.
“Kau sudah mandi?”
“Sudah. Kita makan dulu, sebelum kakak mandi.”
Aku hanya mengangguk pasrah dan duduk dikursi. George mengambil air mineral dan menyerahkannya padaku. Aku meneguknya beberapa kali sebelum menghabiskan makan malamku dan mendengarkan cerita George tentang kegiatannya di kampus hari ini.
“Jadi kau akan pulang malam selama beberapa bulan ini?”
George mengangguk dan membawa piring-piring kotor ke wastafel. Aku menyandarkan daguku pada tangan dan memperhatikannya mencuci piring. “Apa tidak bisa mengurangi jam kuliahmu? Kakak pikir kau mengambil terlalu banyak mata kuliah.”
“Tidak. Aku ingin menyelesaikan kuliahku dengan cepat, kak. Aku tidak bisa melakukannya kalau tidak mengambil banyak mata kuliah.”
Aku mendesah kecil mendengar jawabannya. Sebenarnya aku ingin dia tetap melanjutkan kuliahnya tanpa berpikir untuk menyelesaikannya lebih cepat. Aku pernah merasakan kuliah seperti itu, dan aku benar-benar kehilangan masa-masa mudaku karena terlalu sibuk mencari ilmu dan bekerja. George tentu saja memiliki banyak waktu, tapi entah apa alasan dia melakukan semua itu.
“Lakukan apa yang kau mau.”
“Kakak tidak akan mandi?”
Aku bangkit dan menata kembali kursi yang kami pakai. “Apa kakak boleh berendam?”
George mematikan keran dan berbalik menatapku penuh selidik. Aku mengusap tengkukku dengan gugup dan tersenyum kecil. “Badan kakak pegal, George. Banyak pekerjaan rumah yang kakak lakukan tadi.”
“Baiklah. Tapi tidak lebih dari setengah jam.”
“Okay.”
Aku menyeringai menang dan meninggalkannya ke kamar mandi. Memang kalau aku telat mandi, aku harus meminta izin George jika ingin berendam. Bukan tanpa alasan sebenarnya. Pernah suatu kali, aku berendam pada malam hari tanpa sepengetahuan George, dan dia menemukanmu demam pagi harinya. Saat dia mengetahui alasan aku jatuh sakit, dia melarangku melakukan hal itu lagi tanpa izinnya.
Setelah mengisi bak dengan air hangat dan aroma terapi, aku menenggelamkan tubuhku dan menikmatinya sampai air berubah dingin. Entah berapa lama waktu yang kugunakan untuk berendam kali ini. Dengan cepat aku mencuci rambutku dan menyikat gigi. Mungkin sebentar lagi aku bisa mendengar teriakan George kalau aku tidak segera keluar dari kamar mandi.
Kulilitkan handuk disekitar tubuhku dan meraih handuk kecil untuk menyeka rambutku. Aku keluar dari kamar mandi dan menemukan George sedang bersandar di dinding luar kamar mandi dengan tangan terlipat didada. Aku mengernyit melihatnya di sana.
“Apa yang kau lakukan di situ, George?”
“Kakak mandi terlalu lama. Aku bilang setengah jam, dan kakak menghabiskan hampir satu jam di dalam sana. Cepat masuk kamar.”
Aku meneguk ludah dengan gugup dan berlalu ke kamarku. Langkah kaki George terdengar mengikuti dibelakangku. Dia pasti akan mulai menceramahiku lagi atau hanya mengikutiku dalam diam. Terkadang, aku bahkan tidak mengenali sikapnya yang seperti itu. Entah darimana dia mendapat sifatnya itu.
“Cepat pakai bajunya.”
“Iya, iya.”
Kuraih pakaian dalam dengan tanktop dan celana piyama panjang. Dengan cepat kupakai dikamar mandi sebelum George mulai berbicara lagi. Dia sering sekali bersikap seolah dia adalah kakak dan aku adalah adik kecilnya. Padahal jelas sekali kalau aku adalah kakaknya.
Setelah keluar dari kamar mandi, George meraih handuk ditanganku dan menarikku duduk di kursi rias. Aku hanya diam dan melihatnya mengambil alih tugas mengeringkan rambutku. Dari cermin, dia terlihat serius sekali, padahal hanya mengeringkan rambut. Ck, terkadang aku jadi terlihat kekanakan sekali saat dia menjadi seserius ini.
“Oh ya. Besok kakak akan pergi ke rumah teman setelah makan siang.”
George melirikku dari cermin dengan tajam, tangannya tidak berhenti mengusap rambutku. “Teman? Kakak tidak pernah memberitahuku.”
“Yah, sebenarnya kami berkenalan saat kakak ke Bali kemarin. Dan ternyata dia adalah sahabat teman kakak di kampus dulu. Kebetulan dia memiliki adik perempuan yang mengalami trauma berat, dan dia meminta bantuan kakak untuk mencoba menenangkan adiknya. Jadi?”
Aku menatapnya penuh harap. Sebenarnya itu adalah urusanku kalau ingin pergi atau apapun itu. Tapi melihat sifat George, dia pasti akan marah kalau melihatku pergi dengan pria asing tanpa mengetahui apapun. Jadi, disinilah aku meminta izinnya untuk pergi.
“Pria?”
“Ya, tapi dia baik.”
“Kakak belum memperkenalkannya padaku. Apa dia tampan?”
Kernyitan didahiku semakin dalam saat mendengar ucapan George. Apa lagi maksudnya dengan mengatakan semua itu. “Dia tampan. Ada apa kau bertanya seperti itu?”
George menghentikan gerakannya dirambutku dan memegang kedua bahuku. Aku memutar tubuhku dan menatapnya bingung. Dia membuatku penasaran dengan apa yang dia pikirkan saat ini. “Apa yang kau pikirkan?”
“Kakak tidak akan melupakanku setelah ‘find the one’, kan?”
Aku berdiri dan meraih kedua lengannya. Sebisa mungkin mensejajarkan tatapan kami. “Mana mungkin kakak bisa melupakan adik kecil kakak ini? Kau lupa dengan semua perjuangan kita selama ini? Kau pikir kakak akan meninggalkanmu begitu saja? Tidak, George. Bahkan setelah nantinya kakak menemukan seseorang yang kakak cintai, kakak tidak akan pernah berniat untuk meninggalkanmu sendirian. Kau akan ikut kemanapun kakak pergi.”
George tidak mengatakan apapun, hanya menarik tubuhku ke dalam pelukannya dan memelukku erat. Aku hanya bisa mengusap punggung George untuk menenangkannya. Tubuhnya bergetar ketakutan. Dan aku tahu pasti alasannya.
“Stt, it’s okay. Kakak tidak akan pergi kemanapun. Apa kau ingin mengenal teman kakak ini lebih dulu? Kau bisa mengatakan pada kakak kalau dia baik atau tidak.”
“Bagaimana kalau dia tidak baik untuk kakak?”
“Then, he’s not good enough for me.”
George melepas pelukannya dan menarikku ke ranjang. Aku hanya bisa menurutinya saat dia membaringkanku dibawah selimut. Dia menyusup disebelahku dan memeluk tubuhku dari belakang. Tingkahnya kembali menjadi George kecil yang selalu manja padaku.
“Malam ini aku tidur di sini.”
“Tidak ada tugas kuliah?”
George menenggelamkan wajahnya ke tengkukku dan mengerang. Dia pasti ada tugas tapi enggan untuk menjauh dariku. Aku mengusap lengannya dan membalikkan badanku. “Ambil tugasmu. Kakak akan menemanimu mengerjakannya. Sana.”
Dia bangkit dari ranjang dan keluar dari kamar. Aku menunggunya disofa kamarku sambil memeriksa handphone. Ada beberapa pesan dari sang CEO Bodoh. Aku tersenyum kecil sebelum melihat pesannya.
Hai, Georgie. Kau yakin tidak ingin kujemput saja besok?
Kalau begitu, aku akan mengirim alamat rumahku padamu.
Dan ada satu pesan lagi yang menunjukkan alamat rumahnya. Aku memilih tidak membalas pesannya karena itu sudah dikirim sejak siang tadi. Dan bertepatan dengan kedatangan George, aku meletakkan handphoneku. Dia membawa Macbook dan beberapa buku ditangannya. Aku bergeser untuk memberi ruang George untuk duduk.
“Need my help?”
George menyusup disebelahku dan membuka Macbooknya. Dia bergumam menjawabku dan mulai membuka buku-bukunya. Baiklah, kurasa dia tidak membutuhkan bantuanku. Aku sangat yakin kalau dia lebih dari sanggup untuk menyelesaikan tugasnya sendiri.
“Kakak akan mengambil es krim dulu.”
“Ini sudah malam, yang benar saja.”
“Sedikit, George.”
“Terserah.”
Aku beranjak ke dapur dan mengambil kotak es krim di kulkas. Dan setelah meraih sendok di meja makan, aku kembali ke kamar dan bersandar di sofa. George sudah sibuk mengetik dengan sesekali memeriksa buku referensinya.
Aku mulai menikmati es krimku dan sesekali menyuapi George yang dengan patuh terus membuka mulutnya. Walaupun dia melarangku makan es krim saat malam, dia tetap menelan apapun yang masuk ke dalam mulutnya. George memang aneh.
Setelah menghabiskan setengah kotak, aku mengembalikannya ke kulkas dan meraih botol air mineral untuk kubawa ke kamar. George masih berkutat dengan Macbooknya dan membuatku mendesah kecil. Sudah berapa jam dia habiskan untuk mengerjakan tugasnya?
Aku kembali duduk disebelahnya dan meraih buku psikologi yang belum selesai kubaca. Selagi aku belum mengantuk, lebih baik aku menyelesaikan bukuku dan bisa segera melanjutkan ke buku yang lainnya. George juga tidak akan menyelesaikan tugasnya kalau aku tidak menemaninya.
Entah berapa lama aku tenggelam dalam bacaanku, tapi saat aku melirik jam di handphoneku, hampir tengah malam. Aku menandai bacaanku dan meletakkannya kembali ke meja. Saat menoleh, aku bisa melihat Macbook George tergeletak disana dengan layar masih menyala. Beralih, aku melihat George sudah tertidur dengan kepala bersandar ke sofa dan dengan posisi tubuh yang kuyakini akan membuatnya sakit saat terbangun nanti.
Aku meraih Macbooknya untuk memeriksa apakah tugasnya sudah selesai. Dan ternyata dia meninggalkan bagian akhirnya begitu saja. George pasti lelah makanya tidak menyelesaikan tugas ini. Setelah kuteliti, aku pernah mengerjakan tugas yang sama. Dan tanpa menunggu lama, aku sudah menyelesaikan bagian akhir makalah George.
Kumatikan Macbook dan menatap buku-buku George di meja. Kuatur alarm sebelum membangunkan George untuk berpindah ke ranjang. Dia hanya mengerang malas dan menggerakkan kakinya untuk berpindah ke ranjang. Aku membantunya memasang selimut dan ikut berbaring di ranjang.
Untuk beberapa lama, aku hanya menatap langit-langit kamar dan terdiam dengan pikiranku. Sebelum akhirnya aku menyerah dan tenggelam dalam tidurku.
.
.
.
Suara bip alarm membuatku membuka mata dengan terkejut. Aku mengerjap pelan sebelum mengulurkan tanganku untuk mematikan alarm. Tapi beban berat diperutku membuatku bergerak dengan susah payah. Setelah berhasil mematikan suara mengganggu itu, aku menyingkirkan tangan George dari tubuhku.
“Bangun, George.”
Dia hanya mengerang dan menarik tubuhku kembali ke dalam pelukannya. Aku memutar mataku malas dan memukul dada telanjangnya. Entah kapan dia membuka kausnya itu, tapi aku sedikit tidak suka melihatnya tidur tanpa kaus. Kalau dia tidak tahan dingin bagaimana? Dia bisa sakit kalau seperti itu terus.
“Oh, come on. You need to wake up, George.”
“5 minutes.”
Aku mendengus pelan dan membiarkannya tetap memelukku seperti ini. Mungkin efek pembicaraan kami masih terasa padanya sampai pagi ini. Dan kalau dia tidak merasa tenang, aku yakin dia tidak akan mengizinkanku pergi ke tempat Viktor nanti. Atau mungkin dia justru tidak berangkat kuliah dan mengikutiku pergi.
“Okay, five minute already. Let me go.”
George melepas pelukannya dan segera bangkit dari ranjang. Mataku mengikuti pergerakannya sampai dia menghilang dari balik pintu. Aku menghela napas dan masuk ke kamar mandi. Kubersihkan tubuhku dan berganti dengan pakaian rumahanku, kaus dan celana pendek. Karena nantinya aku akan pergi, aku tidak akan memakai pakaian yang menurutku percuma.
Setelah memasak sarapan, aku memeriksa George dikamarnya. Dia duduk diranjang sedang memakai sepatu ketsnya. Aku bersandar diambang pintu karena George tidak menyadari keberadaanku.
“Time for breakfast, baby boy.”
George mendongak dan mengangguk kecil. Aku meninggalkannya kembali ke dapur sebelum mengingat kalau buku dan Macbook George masih berada di kamarku. “Oh ya, tugasmu masih di kamar kakak, George.”
“Okay.”
Aku duduk dikursi dan memeriksa handphoneku. Tidak ada pesan ataupun panggilan dari Viktor. Kurasa dia bukan termasuk orang yang suka memastikan sesuatu. Kupikir dia akan mengirimiku pesan lagi untuk memastikan aku pergi ke tempatnya. Tapi ternyata tidak.
Tunggu dulu, ini sama saja dengan aku mengharapkan Viktor menghubungiku, kan?
“Ada apa?”
Aku tersentak kecil dan melihat George mendudukkan dirinya didepanku. Aku meletakkan handphone ke meja dan menggeleng pelan. “Nothing.”
“Oh. Kenapa kakak belum makan?”
“Kau tidak lihat kakak sedang mengambil sarapan?”
George mendengus kecil dan meraih piringnya sendiri. Kami makan dalam diam selama beberapa saat. Kulihat George hanya menikmati kentangnya. Aku mengernyit dan meneguk air mineralku. “Kenapa hanya makan kentang, George?”
“Aku sedang tidak selera.”
Setelah mendengar jawabannya, aku langsung meletakkan garpu dan sendokku. Aku bangkit dan beranjak ke arah kulkas. Kuraih beberapa bahan yang tersisa untuk membuat sandwich. Setelah menatanya ditempat bekal, aku memasukkannya ke dalam ransel George lengkap dengan sebotol jus jeruk.
“Habiskan sandwichnya di kampus.”
“Kakak tidak menyelesaikan sarapan kakak?”
Kuraih makanan yang belum tersentuh dan menyimpannya di kulkas. Kemudian mencuci piring kotor di wastafel.
“Kak?”
“Apa?”
“You’re not finish your breakfast.”
“Kakak sudah kenyang.”
“Kakak baru makan sedikit. Bagaimana bisa kenyang?!”
Aku menyelesaikan cucianku dan menyeka tangan basahku. Segera kuberbalik dan menatap George dengan lembut. “Kakak akan makan lagi nanti siang, George. Sekarang lebih baik kau berangkat.”
George menatapku dalam sebelum akhirnya mendesah pasrah dan meraih ranselnya. Aku mengikuti langkah kakinya ke bawah dan melihat kondisi café. Sepertinya beberapa hari ini aku seperti mengabaikan cafeku sendiri. Kuharap tidak ada masalah yang terjadi selama beberapa hari ini.
“Sarah. Bagaimana keadaan café?”
Sarah menghentikan kegiatannya dan menoleh padaku. “Hei, bos. Lama aku tidak melihatmu. Apa yang terjadi?”
Selalu teralihkan. “Sarah.”
“Oh. Café baik-baik saja. Masih tetap ramai seperti kemarin.”
“Baguslah. Aku keluar sebentar.”
Tanpa menunggu jawaban Sarah, aku keluar dari café dan menemukan George sedang berdiri dibawah lampu jalan. Aku mendekatinya. “Sudah mendapat taksinya?”
“Belum.”
“Jangan lupa kalau kakak nanti pergi.”
“Aku tahu.”
Aku meraih lengannya dan memaksanya menatapku. “Kenapa bernada seperti itu? Kau masih tidak suka kalau kakak pergi?”
George mengacak rambutnya dengan tangan lain yang tidak kupegang. Aku hanya bisa memperhatikannya tanpa mengatakan apapun. Dia berbalik menatapku dan menipiskan bibirnya. “Aku tidak ingin melarang kakak. Tapi aku takut kalau kakak, meninggalkanku.”
“George. Kakak bahkan baru kali ini akan pergi, dan hanya berkunjung ke rumahnya. Kenapa kau bersikap seolah kakak akan pergi selamanya dan tidak akan pernah kembali?”
“Aku hanya, takut.”
Aku memeluknya dan mengusap punggungnya perlahan. Aku tahu kalau ketakutannya itu wajar, dan aku tidak mungkin meninggalkan satu-satunya keluargaku sendirian. Tapi George masih seperti anak kecil yang tidak ingin aku pergi. Padahal dia merelakanku pergi saat aku ingin kuliah dulu. Dia bahkan tidak menangis saat aku pergi.
“Kakak hanya pergi ke tempatnya sebentar. Hanya untuk menemui adiknya, George.”
“Baiklah. Aku tidak akan melarang kakak pergi.”
George melepaskan pelukanku dan mencium pelipisku. Aku tersenyum lembut dan mengusap lengannya. “Jangan mengkhawatirkan apa yang tidak mungkin terjadi, George. Karena semua itu tidak akan terjadi. I promise.”
“Aku mengerti.”
“Dan setelah bertemu dengan Viktor nanti, beritahu kakak, apakah kakak bisa melanjutkan pertemanan kakak dengannya.”
“Okay.”
Sebuah taksi berhenti disebelah kami. Aku menepuk lengannya pelan dan membiarkannya masuk ke dalam taksi. George membuka jendela taksi dan melambaikan tangannya padaku. “Sampai nanti. Dan jangan pulang terlalu malam. Aku tidak akan makan sebelum kakak pulang.”
“Baiklah. Sampai nanti.”
Taksi itu berjalan dan menghilang diujung jalan. Aku segera masuk ke dalam café dan melakukan semua yang terlewatkan selama beberapa hari ini. Setelah urusan café selesai, aku menyetrika pakaian yang kemarin kucuci dan menatanya di kamar. Aku bahkan mengganti seprei kamar dan mencuci yang kotor.
Aku menyelesaikannya tepat sampai jam makan siang habis. Aku segera bersiap dan makan siang terlebih dahulu. Aku menghabiskan cukup banyak makanan tadi, mungkin karena aku tidak menghabiskan sarapanku tadi.
Kuperhatikan sekali lagi penampilanku didepan cermin. Jeans panjang hitam dipadukan dengan kemeja kelabu. Seperti biasanya, aku memilih mengenakan sepatu kets putih. Kulirik jam tanganku yang sudah menunjukkan jam 2 siang. Kuharap Viktor tidak keberatan kalau aku datang sedikit terlambat.
“Jangan gugup, Georgia. Kau hanya menemui Katarina.”
Aku meninggalkan kamar dan mencari Sarah di bawah. Dia sedang meracik kopi, seperti biasanya. Aku duduk di kursi bar dan memperhatikannya. Dan seperti Sarah sadar sedang diperhatikan, dia mendongak dan bertatapan denganku.
Aku tersenyum kecil. “Bisa buatkan aku es latté? Dibungkus.”
“Okay, bos. Tunggu sebentar.”
Aku mengangguk dan mengeluarkan handphone dari tas selempangku. Tidak ada pemberitahuan apapun. Kurasa Viktor tidak mungkin melupakan janji temu kami. Mungkin lebih baik aku mengiriminya pesan lebih dulu.
Maaf sedikit terlambat. Aku dalam perjalanan.
Kusimpan kembali handphone ke tas saat Sarah sudah menyelesaikan pesananku. Aku berterima kasih dan meneguknya sedikit. “Aku akan pergi keluar. Kuserahkan café padamu. Dan, kalau George pulang sore, suruh dia makan. Bisa?”
“Serahkan padaku, Georgia. Memangnya kau akan pergi kemana? Tidak biasanya.”
“Ada beberapa urusan. Kalau begitu aku pergi dulu.”
“Baiklah.”
.
.
.
Aku menatap rumah dengan dinding kaca didepanku dengan bingung. Sudah berkali-kali aku menekan bel tapi sama sekali tidak ada respon dari dalam. Kurasa aku tidak salah alamat. Semuanya sama persis seperti yang diberikan Viktor.
Kuputuskan untuk menghubungi Viktor. Terdengar nada sambung selama beberapa detik sebelum suara pria itu terdengar. -Halo?-
“Halo, Viktor?”
-Hai, Georgie. Ada apa?-
Apa mungkin Viktor lupa dengan janji mereka hari ini? “Tidak apa. Aku hanya ingin tahu kau di mana. Aku ke rumahmu tapi kosong.”
-Astaga. Aku lupa kalau kita ada janji bertemu. Aku di rumah sakit sekarang.-
Aku menggigit jariku dengan khawatir. “Apa yang kau lakukan di rumah sakit? Kau sakit?”
-Tidak. Adikku diculik dan mendapatkan banyak luka.-
Aku terkesiap. Semua ketakutan Viktor terbukti benar. Semuanya benar-benar terjadi. “Oh Tuhan. Apa Katarina baik-baik saja?”
-Dia belum sadar.-
“Apa kau ingin aku ke sana?”
-Kau tidak keberatan?-
“Tidak masalah. Aku sudah sampai di sini. Jadi tidak masalah kalau aku harus ke rumah sakit.”
Viktor terdengar menghembuskan napasnya lega. Aku sangat yakin kalau dia terguncang tapi tidak ada seorang pun yang bisa dia jadikan sandaran. Aku bisa membayangkan seperti apa perasaannya saat ini. Karena aku juga memiliki adik, dan kami pasti akan merasakan perasaan yang sama.
-Thank you, Georgie. Aku akan mengirimkan alamatnya setelah ini.-
“It’s fine, Viktor. Kalau begitu aku ke sana sekarang.”
-Berhati-hatilah.-
Nada sambung terputus dan aku melihat pesan yang baru saja masuk. Alamat rumah sakit yang tidak jauh dari cafeku. Well, aku harus memutar lagi untuk ke sana. Kalau saja rumah Viktor tidak terpencil seperti ini, aku tidak akan kesulitan mencari taksi.
“Lebih baik aku memesan taksi.”
Aku berdiri di bawah lampu jalan sambil menunggu taksi pesananku. Ini sudah lebih dari lima belas menit. Kuharap George bisa mengerti saat aku menjelaskannya nanti. Karena walau aku hanya mengenal Katarina dari cerita Viktor, aku sangat mengkhawatirkannya. Membayangkan George yang berada diposisinya, membuatku bergidik ketakutan. Kuharap sesuatu seperti itu tidak akan pernah terjadi padaku dan George.
.
.
.
Dengan gerakan perlahan, aku membuka kamar rawat Katarina. Aku melangkahkan kakiku ke dalam dan melihat Keenan sedang tidur dikursi sebelah ranjang dengan kepala terkulai di ranjang. Katarina terlihat menderita dengan selang oksigen dihidungnya. Pipinya bahkan terlihat lebam. Entah luka apa saja yang tidak bisa aku lihat.
“Georgie?”
Aku menoleh dengan tangan masih berpegang pada handel pintu. Viktor berdiri dari sofa dan melangkahkan kakinya ke arahku. Aku tersenyum kecil menyambut kedatangannya. Dia terlihat kacau. Rambutnya berantakan dan kemejanya terlihat kusut.
“Maaf karena kau harus datang dalam keadaan seperti ini.”
“It’s okay. Kau ingin mengobrol diluar? Kurasa kita akan mengganggu mereka berdua.”
“Kita duduk diluar saja.”
Aku mengikuti langkah kakinya ke luar dan duduk di kursi tunggu. Viktor menyandarkan punggungnya ke dinding dan memejamkan matanya. Aku hanya bisa memperhatikannya. Dia sudah pasti lelah dan cemas karena Katarina belum terbangun.
“Kau ingin bercerita? Aku bisa mendengarkanmu.”
Viktor membuka matanya dengan lelah dan menatapku sedih. Entah perasaan apa yang menyusup hatiku saat melihatnya sekacau ini. Kuharap aku bisa melakukan sesuatu untuk membuatnya merasa lebih baik.
“Boleh aku memelukmu?”
Aku menyelami matanya. Dia hanya butuh sandaran. Kurasa pelukan terhadap teman yang sedang sedih bukanlah masalah besar. “Kau bisa memelukku.”
Tanpa menunggu lagi, Viktor menenggelamkanku dalam pelukannya. Dan ternyata, memeluknya adalah masalah besar untuk jantung dan tubuhku. Dia membuatku merasa utuh, dan nyaman. Dan aku tidak bisa menghindari detak jantungku yang berpacu dengan keras saat dia mulai memelukku. Tapi kemudian suara isakan pelan itu menyadarkanku.
“Aku takut.”
Aku mengusap punggungnya yang terguncang dan menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik saja.”
“Aku hanya bisa melihat adikku berlumuran darah tanpa melakukan apapun. Dia terluka dan aku tidak bisa melakukan apapun untuknya.”
Aku menariknya semakin dalam kepelukanku. Aku melakukannya tanpa sadar, sungguh. Rasa ketakutannya membuatku merasa takut, entah bagaimana. Dan tanpa sadar, aku hanya ingin Viktor merasa tenang didalam pelukanku.
“Jangan diingat lagi. Menangis saja.”
“Aku takut kehilangannya, Georgie. Dia satu-satunya yang kupunya.”
“Viktor.”
Selama beberapa jam itu, kuhabiskan untuk menenangkan perasaan Viktor. Aku hanya takut kalau dia terus terguncang dan kembali merasa bersalah. Dia sudah pernah depresi, dan aku tidak ingin dia mengalaminya lagi. Aku hanya ingin dia merasa lebih baik setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)
RomanceCerita ini tentang Georgia Alexander (25), gadis dengan semua kenangan masa lalunya. Setelah menghadapi segala penderitaan hidupnya, dia bertemu dengan Viktor Junior Black (29), seorang CEO yang dianggapnya bodoh. Perjalanan kisah mereka menjadi cob...