Georgia’s POV
Pria itu lagi-lagi membuat masalah dan menjadikanku dompet pribadinya. Entah untuk apa lagi dia meminjam uang sebesar itu. Ini bahkan sudah yang keempat kalinya aku harus membayar semua hutang-hutangnya pada rentenir. Apa aku bahkan tidak bisa menjalani hidupku dengan normal?
“Sudah sampai, nona.”
Aku mengerjapkan mataku dan mengalihkan pandanganku dari depan. Ternyata aku memang sudah sampai di hotel yang kupesan kemarin. Setelah membayar taksi, aku turun dan membuka topi hitamku. Kuharap pengeluaranku tidak melebihi batas karena urusan ini.
“Dan kuharap ini adalah yang terakhir kalinya.”
Aku segera masuk ke hotel dan melakukan check in. Aku menyempatkan diri untuk mandi dan makan sebelum menghubungi sang rentenir untuk segera menyelesaikan urusan kami.
“Kenapa lama sekali?”
“Apa kau putri Josh si brengsek itu?”
Aku mendongak dan menemukan seorang pria paruh baya yang terlihat menyeramkan. Tangan kanannya penuh dengan tato, persis seperti penampilan preman jalanan. Mencari masalah dengannya sama saja menggali lubang kuburku sendiri.
“Ya. Aku ingin membayarkan hutangnya. Duduklah, kau bisa pesan apapun.”
Dia mengangkat alisnya dan duduk dihadapanku. Aku mengusap pahaku dengan gugup. Sebelumnya memang aku belum pernah bertemu dengan siapapun seperti pria didepanku ini. Jadi jangan terkejut kalau aku sampai gemetaran nanti.
“Langsung saja, aku masih ada perlu.”
Aku mengangguk menyetujuinya dan mengeluarkan amplop dengan setumpuk uang. Kuserahkan padanya dan membiarkannya menghitung. Jumlahnya memang sangat besar. Aku bahkan harus menjual mobilku yang kubeli belum lama ini. Kalau sampai George tahu aku menjual mobil untuk membayar hutang seseorang, dia pasti akan sangat marah padaku.
“Kau memberikan terlalu banyak, nona.”
“Ya. Aku mohon, jangan sampai kau meminjaminya uang lagi setelah ini. Itulah kenapa aku memberimu lebih.”
Pria didepanku ini meletakkan amplop uang ditasnya dan menatapku tajam. “Aku tidak pernah meminjamkan uang pada seseorang yang ingkar janji. Dan ayahmu sudah berulang kali menipuku. Kau pikir aku masih akan meminjamkannya uang setelah ini? Hanya dalam mimpinya.”
“Bagus kalau begitu. Kurasa urusan kita sudah selesai. Aku sudah bisa pergi, kan?”
“Ya. Terima kasih karena sudah membayar semua hutangnya. Kuharap kau bisa segera terbebas darinya.”
Aku bergumam pelan, “Ya, kuharap juga begitu.”
“Aku pergi.”
Aku menatap kepergian orang itu dan menghembuskan napas panjang. Setelah ini, aku harus berhemat lagi. Semoga saja pengeluaran untuk bulan ini tidak terlalu banyak jadi aku tidak harus mencari pinjaman di bank lagi.
“Oh God. Kuatkanlah aku.”
Kuteguk minuman didepanku sampai habis dan meninggalkan uang di atas meja. Karena sudah sampai di Bali, lebih baik kalau aku jalan-jalan dan membeli beberapa oleh-oleh untuk George. Dia pasti akan menyukainya, kuharap.
“Bersenang-senanglah sebentar, Georgie. Waktumu hanya sedikit di sini.”
Kuputuskan untuk berjalan-jalan di sepanjang pantai. Entah pantai apa, tapi hanya ada beberapa resort disini, kupikir resort pribadi. Lumayan, aku bisa menikmati laut tanpa perlu berdesakan dengan orang banyak.
“Seandainya saja George ikut. Dia tidak akan menyesal.”
Adikku satu-satunya itu memang sulit sekali diajak jalan-jalan, apalagi yang mengeluarkan banyak uang. Entah apa yang ada dipikirannya, aku tidak tahu. Tapi dia selalu menolak ajakanku untuk pergi berlibur. Dia terlalu sibuk dengan tugas sekolahnya.
“Aku jadi merindukannya.”
Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling pantai, aku melepas ransel dari punggungku dan akan meletakannya dipasir. Aku mengeluarkan handphone dari saku dan mengambil beberapa foto untuk kuperlihatkan pada George di rumah.Beberapa foto mulai memenuhi galeri handphoneku. Aku memutuskan untuk duduk tapi seseorang memegang pundakku membuatku reflek memelintir tangannya dan membantingnya ke pasir.
“Arrghh.”
“Apa yang kau lakukan, Tuan? Kau ingin merampokku?”
“Ini benar-benar sakit.”
Aku menatap seseorang yang kubanting itu dengan marah. Dia pikir bisa semudah itu untuk merampokku? Dia sudah salah mencari target.
Pria itu sedang mengerang kesakitan dan memegangi pundak kirinya. Kupikir bantinganku terlalu kencang tadi. Tapi ini salahnya, aku hanya reflek saja.
“Apa kau pencuri?”
“Aku ingin mengembalikan ini. Kau menjatuhkannya tadi.”
Aku menatap dompet kecil milikku ditangannya dan merutuk kecerobohanku. Kenapa aku selalu saja bertindak gegabah setiap ada pria yang menyentuhku? Aku benar-benar bodoh.
Dengan cepat aku menundukkan tubuhku sebagai permintaan maaf. “Maafkan aku. Kupikir kau adalah perampok tadi. Aku benar-benar tidak tahu.”
“Bantu aku berdiri kalau begitu.”
Aku mengulurkan tanganku dan membantunya bangkit berdiri. Dia kemudian mengulurkan dompetku untuk kuterima. Bagaimana kalau sampai dompetku jatuh pada orang yang salah? Aku tidak akan bisa kembali ke rumah.
“Terima kasih, Tuan. Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau sampai dompet ini tidak kembali.”
“Kau benar-benar gadis yang mengerikan, kau tahu? Bagaimana bisa kau membanting seorang pria sebesar ini?”
Aku mengangkat wajahku dan mulai memperhatikan tubuhnya. Bisa diakui memang tubuhnya besar daripada pria Indo lainnya. Rambut coklat tuanya dipotong pendek. Ya, wajahnya memang tampan. Umurnya pasti diakhir tiga puluhan.
“Aku pemegang sabuk hitam, Tuan. Membantingmu bukan hal yang sulit.”
Pria itu menatapku tidak percaya. Terserah memang kalau dia tidak percaya, lagipula aku mengatakan yang sebenarnya.
“Biarkan aku mentraktirmu makan siang sebagai permintaan maafku.”
Dia melihat jam tangannya dan menatapku meminta maaf. “Aku harus kembali ke resort. Adikku akan mencariku. Bagaimana kalau besok?”
Aku baru akan kembali ke Jakarta besok lusa, kurasa aku bisa meluangkan waktuku sebagai permintaan maafku. Aku mengangguk, “Baiklah. Aku akan mentraktirmu besok.”
“Aku akan menunggumu disini besok. Jam makan siang, okay?”
“Okay.”
“Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa.”
Pria itu berjalan ke arah pantai dan menghilang. Aku kembali mengalihkan pandanganku ke laut dan menghembuskan napas panjang. Deburan ombak dan angin yang menerpa kakiku, membuatku lupa pada masalah yang baru saja kuhadapi.
.
.
.
“Apa kau tinggal di sini?”
Kami masih menunggu makanan yang baru kami pesan. Aku memang menepati janjiku untuk mentraktirnya makan siang, dan ternyata dia datang lebih awal dari dugaanku. Kupikir dia tidak akan datang, tapi dia sudah berdiri dipinggir pantai dengan kacamata hitamnya bahkan sebelum aku sampai.
“Tidak. Aku hanya sedang ada urusan di sini.”
“Oh. By the way, sepertinya kita belum berkenalan ya?”
Aku mengambil kartu nama ditasku dan menyerahkannya pada pria didepanku ini. Dia mengambilnya dan membaca dengan cermat. Alisnya terangkat sebelum senyum kecil muncul dibibirnya.
“Kau juga tinggal di Jakarta? Sepertinya kita memang berjodoh.”
Apa-apaan pria ini? Kenapa dia sangat berterus terang didepanku? Dia pikir aku akan termakan godaannya? Terima kasih, tapi tidak semudah itu, dude.
“Ini kartu namaku.”
Aku melirik kartu namanya dihadapanku. Viktor Junior Black. CEO and owner of Black’s Enterprise. 29 tahun. Bahkan ada nomor handphonenya di sini.
“Kau orang kaya ternyata.”
“Tidak seperti pikiranmu, Nona.”
“Ck, mencoba merendah, baiklah. Tahu seperti ini, aku tidak akan mentraktirmu makan siang. Kau bahkan punya lebih banyak uang dariku.”
Viktor mengangkat alisnya padaku. “Apa seperti ini sikap seorang wanita terhadap pria yang sudah menemukan dompetnya?”
Aku menatapnya jengah dan memutar mataku. “Lupakanlah. Makanan sudah datang.”
Aku terkejut pada diriku sendiri karena bisa berbicara senormal ini dengan pria asing yang tidak sengaja kutemui. Biasanya aku tidak akan mendekati mereka apalagi membawa mereka makan siang seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku melakukan kesalahan dan harus menebusnya dengan ini.
“Kapan kau kembali ke Jakarta?”
Aku menelan makanan dimulutku sebelum menjawab pertanyaannya. Bukan hal aneh, jadi aku memilih untuk menjawabnya. Karena selagi pertanyaannya masih umum dan tidak menjurus ke hal yang sensitif menurutku, aku tidak masalah menjawabnya.
“Jadwal penerbanganku besok siang. Aku tidak bisa meninggalkan cafeku terlalu lama.”
“Aku juga pulang besok. Sepertinya kita memang berjodoh, Georgie.”
Aku melotot ke arahnya dengan tidak percaya. “Georgie?”
Dia mengusap tengkuknya salah tingkah dan menatapku malu. “Boleh kan aku memanggilmu seperti itu? Georgia terlalu panjang dimulutku.”
Alasan apa yang sedang dibuatnya sekarang? Sejak kapan Georgia menjadi terlalu panjang untuk diucapkan? Kupikir seharusnya seorang CEO tidak sebodoh ini. Aku benar, kan? Atau dia hanya berpura-pura?
“Whatever, I don’t care.”
“Apa aku boleh mengunjungi cafemu kalau sudah ada di Jakarta?”
Pertanyaan bodoh lainnya. Kenapa juga aku bertemu dengan CEO bodoh tidak punya malu ini? Apakah dunia memang sesempit ini sejak dulu?
“Apakah ada orang melarang pengunjung untuk datang? Kenapa pertanyaanmu konyol sekali?”
Viktor menelan habis minumannya dan menatapku aneh. “Apa kau memang selalu sedingin ini? Atau hanya padaku saja?”
Aku meletakkan alat makanku dan menatapnya datar. “Aku memang selalu seperti ini. Kenapa? Ada yang aneh?”
Well, bersikap dingin adalah salah satu dinding pertahananku. Aku hanya akan bersikap normal pada George dan pegawaiku. Karena aku memang membatasi pergaulanku terhadap laki-laki manapun. Beberapa alasan menguatkan prinsipku yang satu ini. Hindarilah laki-laki selagi kau bisa hidup mandiri. Belum ada seseorang yang bisa membuatku menghancurkan prinsip itu.
“Tentu saja aneh. Kau bersikap terlalu dingin sebagai wanita, Georgie.”
Aku mengangkat bahuku dengan tidak peduli. Memang apa urusannya sikapku dengannya? Kami hanya dua orang asing yang tidak sengaja bertemu karena kesalahpahaman. Tidak ada alasan aku harus bersikap berbeda dengannya. Aku benar, kan?
“Maaf karena sudah mengecewakanmu, tapi aku memang seperti ini.”
Dia menghembuskan napasnya kasar. Entah kenapa, aku jadi merasa bersalah karena membuat suasana hatinya berubah mendung. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Bertingkah lembut dihadapan pria asing bukanlah diriku. Aku pasti sudah gila kalau sampai melakukannya pada pria dihadapanku ini.
“Kalau aku menghubungimu, apakah kau akan menjawabnya?”
Aku menarik sebelah alisku dan meneguk habis minumanku. “Well. Tergantung situasi dan kondisi. Selagi kau tidak mengganggu waktuku, aku tidak masalah meladenimu.”
“Bagus. Kalau begitu, apakah kita bisa berteman?”
Hmm. Otakku berputar dengan lambat. Pertanyaannya membuatku bimbang. Aku tidak pernah mengobrol selama ini dengan pria manapun. Aku juga tidak pernah berada disituasi seperti ini. Ini adalah kali kedua ada laki-laki yang mengajakku berteman setelah seniorku di London dulu. Dan aku menyetujui pertemanan seniorku itu.
Berbeda dengan pria ini. Walaupun dia berusaha menutupinya, aku tahu pasti kalau dia tertarik padaku, bukan bermaksud percaya diri. Kalau seniorku dulu, aku tidak melihat rasa tertarik sama sekali padaku sebagai perempuan. Dia murni menganggapku junior di kampus dan teman mengobrol yang asyik.
“Aku akan memikirkannya dulu.”
Viktor menatapku tidak percaya. “Aku tidak tahu kalau meminta pertemanan ternyata sesulit ini. Apa kau benar-benar manusia?”
“Apa kau sedang menghinaku sekarang?”
“Tidak,” Dia terlihat panik dimataku. “aku hanya tidak percaya ada wanita sepertimu di dunia ini.”
Aku menghembuskan napas panjang dan menjawabnya. “Perempuan sepertiku memang tidak ada yang lainnya. Kalau kau pikir aku akan terpesona pada ketampananmu seperti wanita yang lainnya, maafkan aku, aku tidak bisa melakukannya.”
“Kau benar-benar menakjubkan.”
Aku menatap matanya mencari ekspresi lain selain kejujurannya. Tapi aku hanya bisa melihat tatapan kagum dan jujur di matanya. Kurasa dia benar-benar kagum padaku. Kalian mungkin bertanya-tanya kenapa aku bisa membaca ekspresi seseorang. Aku memang lulusan psikologi. Dulu, saat aku berhasil menerima beasiswa di London, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung mengambil dua jurusan, manajemen bisnis dan psikologi. Bisa dibilang, aku adalah psikiater.
“Aku tidak melakukan sesuatu yang membuatmu takjub, Mr.Black. Kenapa kau menatapku seperti itu?”
“Aku hanya baru bertemu wanita sepertimu seumur hidupku. Adikku bahkan sangat menggemaskan, aku jadi terkejut setelah melihatmu.”
“Aku mengerti. Tapi kurasa aku harus pergi sekarang. Kau bisa memesan lagi atau kembali ke resortmu. Aku yang akan membayar makanan tambahanmu.”
Viktor menatapku lesu. Kupikir dia berharap aku bisa mengobrol dengannya lebih lama lagi. Tapi aku memang harus pergi sekarang. Aku baru sadar kalau aku salah jadwal penerbangan. Pesawatku akan terbang sore ini, jadi aku harus kembali ke hotel dan bersiap pulang. Beruntung aku sempat tidak sengaja melihat tiketku tadi. Kalau tidak, aku akan menghabiskan lebih banyak uang untuk membeli tiket lainnya.
“Kupikir kita bisa mengobrol lebih lama. Kau benar-benar harus pergi sekarang?”
“Ya, maafkan aku. Aku pergi dulu, ya? Sampai jumpa.”
Aku meletakkan beberapa lembar uang dan meninggalkannya tanpa menunggu jawaban pria itu. Aku benar-benar akan ketinggalan pesawat kalau mengulur-ulur waktu. Aku akan meminta maaf lain kali karena sudah bersikap tidak sopan padanya hari ini.
.
.
.
“Ini kakak sedang menunggu panggilan pesawatnya, George.”
-Kupikir kakak akan berlibur lebih lama lagi. Kakak sudah mau pulang?-
Aku menatap monitor informasi yang menampilkan jadwal penerbangan. Pesawatku masih belum datang. Kupikir akan terlambat selama beberapa waktu. “Kakak tidak bisa meninggalkanmu lebih lama lagi, George. Ini sudah 2 hari.”
-Kakak seharusnya menikmati libur kakak lebih lama. Kapan terakhir kali kakak berlibur? Kakak butuh hiburan.-
Aku memang pergi ke Bali dengan alasan ingin berlibur dari pekerjaan. Karena kalau aku mengatakan ada urusan lain, George akan tahu. Dan aku tidak ingin George mengetahui kalau aku masih mengurusi masalah yang disebabkan ayah kami. Dia akan sangat marah dan kecewa padaku.
“Kakak sudah cukup berlibur. Tidak masalah kalau kakak pulang hari ini. Lagipula, nanti kau akan kelelahan kalau harus mengurusi kuliah dan café sekaligus. Kakak tidak ingin kau sakit.”
-Kenapa kakak selalu mencemaskanku? Aku ini laki-laki, kak. Kakak lebih baik mencemaskan kesehatan kakak. Akhir-akhir ini kakak bekerja terlalu keras. Kalau kakak sakit bagaimana?-
Aku tersenyum mendengar kekhawatiran adikku satu ini. Walau dia pria, dia lebih cerewet daripada aku. Dia benar-benar tiruan bunda versi pria. “Iya, iya. Kakak yang paling tahu tubuh kakak. Kakak janji tidak akan memaksakan diri lagi.”
-Awas kalau aku sampai tahu kakak bekerja seperti kemarin. Aku tidak akan bicara dengan kakak lagi.-
Anak satu ini memang paling pintar dalam mengancamku. Bahkan saat aku ingin mendaftarkan bimbingan belajar, dia menolak mentah-mentah dan mengancam tidak akan pulang ke rumah kalau aku benar-benar mendaftarkannya.
Masalahnya sederhana. Dia hanya tidak ingin aku mengeluarkan lebih banyak uang untuknya. Memang benar, aku membiayai semuanya sendiri sejak pergi dari rumah 7 tahun yang lalu. Tepat setelah aku lulus SMA, aku bekerja keras selama satu setengah tahun sebelum akhirnya mendapat beasiswa di London.
Karena kerja kerasku itu, aku bisa menyewa apartemen kecil dengan kontrak 5 tahun, sampai aku selesai kuliah nanti. George yang waktu itu masih SMP kutinggal di Indonesia, di apartemen yang kusewa itu. Aku tahu itu berat untuk George, tapi dia sadar kalau aku memang harus pergi demi masa depan kami berdua. Dia merawat dirinya dengan baik di Indonesia.
Bahkan selama di London, aku tetap mencari pekerjaan paruh waktu di restoran. Menjadi pelayan, tukang bersih-bersih, bahkan mencuci piring pun kulakukan. Yang penting aku mendapat uang, makan, dan bisa mengirim sebagian uang untuk kebutuhan George. Beruntung karena otakku yang cukup cerdas, aku bisa menyelesaikan kuliah satu tahun lebih cepat.
Dengan berbekal tabungan selama 3 tahun di London, aku kembali ke Indonesia. George semakin dewasa dan aku hampir saja tidak mengenali adikku itu. Sifatnya berubah drastis selama 3 tahun. Dia tidak terlihat seperti anak 16 tahun yang masih manja pada orangtua mereka. George merawat apartemen dengan baik, tidak ada kekacauan sama sekali. Prestasi di sekolah juga baik, justru terlalu bagus.
Melihatnya lagi setelah 3 tahun, aku tidak sanggup lagi dan memeluknya erat. Aku meminta maaf karena sudah meninggalkannya. Maaf karena sudah melewatkan perkembangannya dan membiarkannya tinggal sendiri selama itu.
-KAKAK!-
Aku mengerjapkan mataku dan menjauhkan handphone dari telingaku. Kenapa George berteriak seperti itu? Dia pikir aku tuli?
“Kenapa kau berteriak seperti itu, George? Telinga kakak masih sehat.”
-KAKAK TIDAK MENJAWABKU SELAMA LEBIH DARI LIMA MENIT. KAKAK PIKIR APA YANG SEDANG KAKAK LAKUKAN? AKU PANIK.-
Aku membelalakkan mataku terkejut. Kapan terakhir kali aku mendengar George membentakku? Sepertinya terakhir kali adalah saat aku tiba-tiba pingsan. Dia memarahiku habis-habisan setelahnya. Tanpa sadar aku tersenyum.
“Maaf, George. Kakak tiba-tiba melamun tadi.”
-BERHENTI MELAMUN DI TEMPAT UMUM. Kalau sampai terjadi sesuatu bagaimana? Kakak terlalu ceroboh.-
Aku tersenyum mendengar kekhawatirannya. Walaupun bunda sudah pergi dan ayah yang kutinggalkan, aku masih memiliki hartaku yang paling berharga. Kuharap George tidak akan meninggalkanku nantinya, saat dia tahu apa yang kuperbuat untuk ayah selama ini.
“Iya, George. Kakak minta maaf ya. Sudah ada panggilan untuk penerbangan kakak. Nanti tunggu saja di rumah, ya? Tidak perlu datang ke bandara.”
-Baiklah. Hati-hati, jangan melamun lagi atau menghajar pria manapun. Aku tidak ingin kakak dapat masalah. Aku akan menunggu di rumah. Sampai nanti.-
“Sampai nanti, George.”
.
.
.
Aku turun dari taksi dan masuk ke dalam cafeku yang hampir tutup. Aku hanya melihat beberapa pelanggan yang duduk menikmati kopi mereka. Setelah melihat keadaan café, aku melangkah menuju bar.
“Dimana adikku?”
Sarah, salah satu barista andalanku, menatapku terkejut dan tersenyum lebar. “Kau sudah pulang? Kupikir liburanmu masih beberapa hari lagi.”
Aku mengangkat bahuku dan membalas senyumannya. “Begitulah. Aku tidak tahan berpisah dengan George.”
Sarah tertawa dan meletakkan lap ditangannya. “Baiklah, kau memang terlalu lengket dengan adikmu itu. Orang mungkin berpikir kalian adalah sepasang kekasih.”
Aku tertawa kecil dan menggeleng. “Mana ada sepasang kekasih? Semua bisa melihat kalau aku lebih tua, Sarah. Jadi, dimana adikku itu?”
“Kau bahkan terlihat lebih muda dariku, padahal aku lebih muda 2 tahun darimu. Well, membuatku iri saja.”
“So?” Sarah memang selalu mudah teralihkan kalau berbicara dengannya. Bersabar-sabarlah mereka yang harus mengobrol dengannya.
“Dia belum turun. Mungkin di kamarnya.”
“Okay, aku akan turun nanti untuk membantu.”
“Ini masih hari liburmu, Georgia. Tidak perlu turun. Bersenang-senanglah bersama adikmu.”
Aku menyeringai puas dan beranjak dari bar ke tangga disebelahnya. “Baiklah kalau begitu. Sampai besok.”
“Sampai besok, bos.”
Aku menaiki tangga dengan perlahan. Café ini memang rumahku. Lantai satu untuk café seluruhnya, dan lantai atas adalah milikku dan George. Tidak ada siapapun yang boleh naik ke atas, karena ini adalah area terlarang untuk pegawai.
Kuletakkan tas ransel dan tas jinjing berisi oleh-oleh ke sofa di ruang tamu. George tidak ada di sini, berarti dia sedang di kamar atau sedang mandi. “George? I’m home.”
“Kitchen.”
Aku bergegas ke dapur dan menemukan George dengan apron ditubuhnya. Dia sedang memasak sesuatu dan aku tidak bisa melihatnya karena tubuhnya memunggungiku. Aku mendekat dan memeluknya dari belakang. Bau sabun masih tercium dari tubuhnya, sepertinya dia baru saja mandi.
“Aku sedang memasak, kak. Nanti dulu ya.”
“Kakak tidak akan mengganggu. Kakak hanya memelukmu.”
Aku bersandar pada punggungnya dan memejamkan mataku. Kalau rasa rindu pada bunda atau ayah sedang muncul, aku biasanya melampiaskannya dengan memeluk George lama. Dia sudah hafal dengan tingkahku yang satu ini.
“Baiklah. Peluk aku sepuasnya.”
“Hmm.”
“Kakak bersenang-senang di Bali?”
“Biasa saja. Kakak bertemu orang bodoh disana.”
“Makanannya sudah selesai. Lepas dulu pelukannya.”
Aku melepas pelukanku dengan tidak rela dan duduk di kursi. George meletakkan sepiring roasted chicken dihadapanku dan sebotol jus jeruk. Aku mengambil garpu dan mulai memakannya. George mengambil tempat didepanku dan menopang dagunya dengan tangan.
“Kau tidak makan?”
“Aku sudah makan tadi. Kakak habiskan saja.”
Aku mengabaikan jawabannya dan menyodorkan sepotong ke depan mulutnya. “Buka mulutmu.”
“Aku sudah kenyang, kak.”
“Cepatlah.”
George membuka mulutnya dengan terpaksa dan menerima suapanku. Aku memang selalu bersikap semauku kalau sudah didepannya. Manja, tukang perintah, memaksa, dan masih banyak lainnya. Tapi hanya dengan George aku bisa melakukannya.
“Bagaimana kuliahmu hari ini?”
“Membosankan, seperti biasanya.”
Aku meminum jus jerukku dan mendorong piringku ke hadapannya. Masih ada beberapa potong ayam. “Habiskan.”
George mungkin bilang kalau dia kenyang, tapi dia tidak pernah menolak makanan yang aku berikan padanya. Bukan berarti aku selalu memberinya makanan sisa. Hanya saja dia tidak mau mengurangi porsi makanku. Jadi, kalau aku tidak menghabiskannya, aku biasanya memberikannya pada George. Daripada dibuang, dia memilih membuka mulutnya dan menerima suapanku.
“Kakak memang selalu.”
Aku tersenyum lebar dan meletakkan botol jus di meja. George memakan sisa ayam itu dengan pelan. Mungkin dia memang sudah kenyang.
“Apa uang bulananmu masih ada?”
“Masih.”
Aku menopang daguku dan menatapnya dalam. “Jangan samakan uang kuliah dengan uang jajanmu, George. Uang bulananmu hanya untukmu, bukan untuk keperluan kuliah.”
George menelan jus dan mengangguk. “Aku tahu.”
“Kau mengatakan itu bulan lalu dan menggunakannya untuk keperluan kuliah. Kakak sudah bilang kalau keperluan kuliah minta lagi pada kakak. Jangan gunakan uang bulananmu.”
George menghindari tatapanku dan memainkan garpu ditangannya. Adikku satu ini memang. Dia pasti tidak akan melakukan apa yang kuminta lagi. Entah sudah berapa kali dia menggunakan uang jajannya untuk keperluan kuliah. Apa dia tidak menggunakan uang yang kuberi untuk bersenang-senang?
“Apa kau mendengar kakak?”
“Iya, kak.”
“Then, look at me.”
Dia belum juga mengangkat wajahnya. Harus berapa kali kuberitahu kalau dia adalah tanggung jawabku? Aku yang membawanya pergi dari rumah, aku juga yang harus memenuhi segala kebutuhannya. Tapi dia tidak pernah mau mengatakan kebutuhannya padaku.
“George.”
Dia meletakkan garpu ke atas piring dan menghembuskan napas panjang sebelum mengangkat wajahnya. Perdebatan ini tidak akan berakhir secepat itu. George harus selalu diberitahu.
“Kau menggunakan uangmu lagi untuk keperluan kuliah.” Itu adalah pernyataan bukan pertanyaan. Matanya tidak akan pernah bisa berbohong padaku.
“Maafkan aku.”
“Berapa?”
“Tidak banyak, kak. Uang bulananku masih ada.”
Aku bersandar dikursi dan melipat tanganku didada. Masih dengan menatap George penuh intimidasi, aku menunggu jawabannya. “Katakan.”
“Kak.”
“Kakak akan menambahkan uang bulananmu besok.”
“Kak.”
Aku menarik napas menahan emosi yang bergejolak didalam dadaku. Bukan marah atau apapun. Tapi karena George selalu memikirkanku diatas kepentingannya. Aku merasa bersalah. Dia seharusnya lebih bisa bergaul dan bersenang-senang. Dia bisa menggunakan uangnya untuk mentraktir teman-temannya atau apapun itu. Aku tidak ingin dia selalu merasa bersalah karena aku harus merawatnya. Ini adalah tanggung jawabku setelah membawanya bersamaku.
“George, please.”
George bangkit dan berdiri disebelahku. Dia menarik kepalaku kedalam pelukannya. Aku meraih pinggangnya dan menenggelamkan kepalaku ke dadanya.
“Maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya.”
“Kau bilang seperti itu kemarin.” Entah sejak kapan aku terisak, suaraku terdengar serak dan tersendat. Aku semakin mengeratkan pelukanku pada pinggang George.
“Kali ini yang terakhir. Aku berjanji. Jangan menangis.”
George mengusap kepalaku dengan lembut membuatku semakin hanyut dalam tangisanku. Kepalaku sudah penuh dengan semua masalah yang terjadi dan menangis adalah satu-satunya caraku menyalurkan semua emosiku itu. Marah, kesal, sedih, bersalah dan bimbang.
“Kakak.”
Aku lelah menangis. Aku sudah lelah, sungguh. Dan aku membenci diriku sendiri karena melakukan semuanya tanpa sadar. Setelah apa yang terjadi padaku dan George, aku masih mengulurkan tanganku pada pria itu dan aku membenci diriku sendiri karena itu. George adalah segalanya yang kumiliki, aku tidak ingin pria itu mengincar George dan melakukan sesuatu padanya.
Aku sudah lelah dan membiarkan kegelapan menelanku dalam tidurku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)
DragosteCerita ini tentang Georgia Alexander (25), gadis dengan semua kenangan masa lalunya. Setelah menghadapi segala penderitaan hidupnya, dia bertemu dengan Viktor Junior Black (29), seorang CEO yang dianggapnya bodoh. Perjalanan kisah mereka menjadi cob...