Chapter 6

990 58 0
                                    

“Kau tidak perlu mengantarku kalau kau masih mencemaskan Katarina, Viktor.”

Viktor hanya menggelengkan kepalanya dan bangkit dari kursi di kantin. Beberapa waktu yang lalu, setelah Viktor berhenti menangis, aku mengajaknya ke cafetaria untuk meminum kopi. Kupikir dia butuh pengalihan karena terus berada di ruang rumah sakit tidak akan membuat dia merasa lebih baik, kecuali kalau Katarina sudah sadar. Tapi bahkan belum ada tanda-tanda kalau Katarina akan sadar dalam beberapa jam.

“Ayo, aku akan mengantarmu. Kau sudah jauh-jauh ke sini. Lagipula, ini sudah malam, aku tidak akan membiarkanmu pulang sendirian.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Kalau begitu, ayo.”

Aku bangkit dan mengikuti langkah Viktor ke parkiran mobil. Dia berjalan ke arah mobil Audi R8 berwarna putih. Sepertinya aku belum pernah melihatnya mengendarai mobil yang ini, biasanya dia akan memakai range rover hitam atau fortuner. Aku jadi bergidik membayangkan berapa mobil yang dimilikinya, apalagi kekayaannya itu.

“Kau akan masuk atau terus diam di situ?”

Aku tersentak kecil dan melihat Viktor sudah duduk dikursi kemudi. Aku mengusap tengkukku malu dan masuk ke kursi penumpang disampingnya. Kupasang seatbelt dan membuka jendela lebih lebar.

“Apa kau ingin mampir ke tempatku? Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang.”

Viktor menatapku sebentar sebelum kembali menatap jalan didepannya. “Tentu saja. Siapa yang ingin kau kenalkan padaku?”

“Seseorang yang penting. Dia tidak begitu suka melihatku pergi bersamamu, karena itu aku harus mempertemukanmu dengannya.”

“Apa mungkin pria yang memelukmu waktu itu?”

“Ya.”

“Memangnya siapa dia?”

Aku mengabaikan nada cemburu disuaranya dan menoleh ke samping. “Kau akan mengetahuinya nanti. Tapi satu hal yang aku ingin kau tahu, dia sangat penting untukku, lebih dari apapun. So, please, yakinkan dia kalau kau bukan pria jahat atau apapun itu. Atau kau tidak akan bisa menemuiku lagi, karena dia sangat protektif padaku.”

Selama beberapa saat tidak ada sahutan apapun dari Viktor. Aku tidak berpikir untuk memperhatikan ekspresinya saat ini, karena kurasa dia sedang berpikir atau apapun itu. Lagipula, aku sudah memberitahunya apa yang ingin kusampaikan, jadi setidaknya dia mendengarnya.

“Aku mengerti.”

“Thanks, then.”

Tidak lama kemudian, kami sampai di depan café. Viktor memarkirkan mobilnya dan keluar dari mobil. Aku membuka pintu dan keluar sebelum Viktor sempat berputar kearahku dan berniat untuk membukakan pintu untukku.

“Ayo, kalau tidak keberatan, kau bisa makan malam ditempatku.”

“Of course, kurasa aku masih memiliki waktu sebelum kembali ke rumah sakit.”

“That’s sound good. Masuklah, lantai dua.”

Aku masuk lebih dulu dan berhenti sebentar di bar. Sarah sedang mencuci cangkir-cangkir kopi dengan kaki yang menghentak beraturan. Sepertinya dia sedang mengikuti irama lagu yang terputar di café.

“Sarah.”

Dia mendongak dan menyeringai kecil. “Kupikir kau akan pulang lebih malam, bos.”

“As you can see. Apa George sudah pulang?”

“Sudah. Beberapa jam yang lalu. Dan, dia tidak terlihat baik.”

Aku menatapnya menuntut dan Sarah mengoreksi perkataannya dengan cepat. “Maksudku, dia terlihat kesal dan kacau. Itu yang kulihat.”

“Dia tidak ke bawah setelah itu?”

“Tidak.”

“Okay. Thanks, Sarah.”

Aku naik ke atas dengan Viktor melangkah tenang dibelakangku. Setelah menyuruhnya untuk duduk disofa, aku membuka pintu kamar George dan menemukan bocah itu sedang berbaring membelakangi pintu. Aku melangkah pelan ke dalam dan duduk disampingnya. Kuusap kepalanya dia langsung menolehkan kepalanya. Ternyata George tidak tertidur.

George langsung bangkit duduk dan menarik tubuhku ke pelukannya. “Kenapa kakak lama sekali? Aku menunggu sejak tadi.”

Aku mengusap punggungnya perlahan saat mendengar suaranya yang bergetar. Sepertinya dia masih ketakutan seperti tadi pagi. Aku tidak pernah tahu kalau dia akan begitu ketakutan saat aku mulai menjalin hubungan dengan pria manapun.

“Hei, stt. Kakak sudah pulang. Kalau kau ingin tahu. Tadi kakak tidak jadi menemuinya di rumahnya.”

“Kenapa begitu?”

“Adiknya mengalami penculikan dan sekarang masih belum sadar di rumah sakit. Jadi, kakak harap kau bersikap baik padanya, hmm?”

George melepaskan pelukannya dan mengangguk kecil. Wajahnya terlihat menggemaskan saat merajuk, aku tidak bisa menahan untuk tidak mencubit pipinya. George mengelak dengan cepat dan menatapku dengan tidak percaya.

“Aku bukan bayi lagi, Kak. Jangan pernah berniat untuk mencubit pipiku.”

Aku mengabaikannya dan segera bangkit. “Ayo keluar. Kau pasti belum makan siang, kan? Seperti anak kecil saja.”

“Aku bukan anak kecil.”

“Kalau begitu, cepat angkat pantatmu dari sana.”

George melepas selimut yang melilit kakinya dan bangkit. Tapi sebelum sempat berjalan, aku mencubit kedua pipinya dan kabur. Aku bahkan bisa mendengar teriakannya yang membuatku tidak bisa menahan tawaku lagi.

“Siapa yang berteriak, Georgie?”

Aku menghentikan tawaku saat melihat Viktor yang duduk di sofa. “Sebentar. George, cepatlah!”

Suara langkah kaki mendekat dan aku bisa melihat George yang berjalan ke arahku dengan masih mengusap pipinya yang terlihat memerah. Siapa suruh dia terlihat begitu menggemaskan? Mana mungkin aku bisa menahan untuk tidak mencubit pipinya itu.

“Menyebalkan sekali.”

Aku menarik tangannya sehingga dia menyadari keberadaan orang lain di ruang tamu kami. George terlihat diam tapi memperhatikan Viktor dari atas ke bawah. Aku segera memecah keheningan itu dan memperkenalkannya.

“George, ini Viktor.”

Viktor bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya. Aku menepuk lengan George saat dia hanya diam saja. George segera mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Viktor.

“Dan Viktor, ini George, adikku.”

Viktor menatapku terkejut sebelum berdeham kecil. “Aku Viktor. Viktor Junior Black.”

“George Avniel Alexander.”

Mereka berdua melepaskan tangan mereka. Aku melepas tangan George dan bergantian menatap mereka. “Kalau begitu kalian mengobrollah. Aku akan memasak makan malam.”

Tanpa menunggu jawaban apapun, aku meninggalkan mereka ke dapur yang berada di dekat ruang tamu. Kupikir memang lebih baik meninggalkan kedua laki-laki itu sendirian. Karena biasanya, laki-laki lebih mudah untuk memulai sesuatu. Lagipula aku tidak ingin berada ditengah suasana canggung itu.

Melihat Viktor terkejut tadi, kupikir dia pasti mengira George adalah kekasih atau mungkin suamiku. Karena sudah pasti tidak akan pernah terpikirkan olehnya kalau aku memiliki seorang adik yang terlihat begitu protektif padaku.

Aku memilih menghiraukan mereka dan menyelesaikan masakanku. Bahkan sesekali, saat aku memperhatikan mereka dari dapur, aku bisa melihat mereka asyik mengobrol dan bahkan tertawa. Aku benar-benar tidak paham dengan bagaimana para pria bisa melakukan itu dengan mudah. Karena aku yakin, aku belum pernah tertawa selebar itu sejak berkenalan dengan Viktor.

Setelah menata makanan dimeja makan dan mengeluarkan buah beserta minuman, aku memanggil mereka untuk makan. George mendekatiku dan memijat punggungku dengan cepat. “Kakak pasti lelah. Aku yang akan membereskannya nanti.”

“Tentu saja kau yang melakukannya. Cepat duduk, kau harus makan banyak.”

George mencuri ciuman dipipiku sebelum duduk dikursinya. Aku memilih untuk meminum kopi instanku sebelum menuangkan makanan dipiringku. Para pria bahkan sudah memulai makan mereka sebelum aku sempat mengambil apapun. Well, aku tidak terkejut lagi kalau melihat bagaimana seorang pria makan.

Aku menyeka krim dibibir George dengan tissue. “Makanlah perlahan. Kakak tidak ingin mendengarmu sakit perut.”

“Iya, iya. Sudah kubilang aku bukan anak kecil.”

“Tapi sikapmu terlihat seperti anak kecil, George.”

Aku melirik Viktor dengan setuju. Sepertinya mereka sudah lebih dekat untuk saling mengucapkan ledekan. Kuharap George tidak melarangku berdekatan dengan Viktor.

“Kenapa kalian terdengar menyebalkan sekali? Aku masih 19 tahun. Apa yang kalian harapkan?”

Aku tersenyum dan melanjutkan makanku. “Siapa yang bersikeras kalau dia bukan anak kecil tadi? Kau sungguh menggemaskan, baby boy.”

“Kakak. Jangan memanggilku seperti itu didepan orang lain. Benar-benar.”

Kami meledak dalam tawa karena melihat George semakin bertingkah seperti anak kecil. Tidak biasanya dia bersikap terbuka seperti ini didepan orang lain. Terkadang dia bahkan selalu bertingkah seperti kakak laki-laki, berbanding terbalik dengan saat ini. Kuharap ini berarti kalau George merasa nyaman dengan keberadaan Viktor.

“Maafkan adikku ini, Viktor. Dia memang sangat kekanakan, seperti yang terlihat. Apalagi kalau hanya kami berdua, dia bertingkah seperti bayi besar.”

“Jangan dengarkan kakak, Kak Viktor.”

“Sepertinya aku lebih baik mendengarkan kakakmu, George.”

Dan malam itu kami habiskan dengan mengobrol banyak. Walau hanya George dan Viktor yang terlihat antusias, setidaknya aku masih mendengarkan ocehan panjang mereka. Tidak kusangka mereka akan langsung sedekat itu hanya dalam sekali pertemuan. Aku sendiri bahkan masih merasa canggung dan gugup saat berhadapan dengan Viktor.

.
.
.

Setelah menyelesaikan berendamku, aku segera memakai tanktop dan celana yoga pendek. Viktor baru saja memutuskan kembali ke rumah sakit sebelum aku akhirnya bisa memanjakan tubuhku. Dia memintaku untuk datang lagi besok. Dia bahkan mengatakan untuk membawa George juga. Kupikir tidak ada salahnya membawa George bertemu Keenan. Dia juga belum pernah bertemu temanku di London itu.

“Kak? Sudah lebih dari setengah jam. Cepat keluarlah.”

“Iya, sebentar.”

Seperti biasanya, dia selalu menungguku kalau aku berendam malam-malam. Yang benar saja, kan? Mana ada orang yang menunggu kakaknya berendam untuk memastikan kakaknya tidak lupa waktu dan keluar hidup-hidup. Adikku ini memang terlalu berlebihan.

Setelah menggantungkan handuk yang baru saja kupakai, aku membuka pintu kamar mandi dan keluar. George, seperti biasa, bersandar ditembok dengan tangan terlipat didada. Aku menarik tangannya dan menggiringnya ke kamar. Kalau tidak cepat membawanya ke kamar, dia benar-benar akan kehilangan waktu tidurnya.

“Harusnya tadi langsung tidur saja. Kenapa justru menunggu kakak selesai mandi?”

“Kakak tahu alasanku. Kurasa aku tidak perlu menjawabnya lagi.”

“Baiklah, baby boy. Now, time for sleep.”

George mendengus pelan dan membaringkan tubuhnya diranjang. Aku menarik selimut menutupi tubuhnya dan duduk disisi ranjang. George meraih tanganku dan membawanya dalam genggamannya. Aku mengusap keningnya dan tersenyum.

“Jadi, bagaimana dengan Viktor?”

“Sayangnya, dia terlalu menyenangkan. Aku tidak bisa melarang kakak untuk menemuinya. Dan dia juga baik, terlebih mengasyikan. Kenapa kakak tidak mengenalkannya lebih cepat?”

Aku terkekeh mendengar dia menjawab dengan bersemangat. “Lihat siapa yang ketakutan kemarin. Sekarang, kau yang terlalu berlebihan dengan Viktor.”

George menyeringai dan menarik tanganku ke atas perutnya. “Aku hanya merasa kalau Kak Viktor itu seperti kakak. Hanya versi prianya saja. Aku yakin kalau dia tidak pernah memarahi adiknya. Terlihat sekali kalau dia adalah seorang kakak yang penuh sayang. Just like you. Aku akan senang kalau kakak bisa bersamanya.”

Aku menghela napas dan mengalihkan pandanganku ke jendela kamar George. “Kami hanya berteman, George. Apa yang kau bicarakan?”

“Ayolah, aku bisa melihat bagaimana tatapan Kak Viktor pada kakak. Kakak juga pasti menyadarinya, kan?”

“Begitulah. Tapi kakak tidak memiliki perasaan seperti itu padanya.”

Tentu saja itu bohong. Aku hanya tidak ingin mengakui perasaanku sendiri. Karena setiap kali membayangkan sebuah hubungan, aku selalu teringat dengan apa yang terjadi pada ayah dan bunda. Aku takut kalau semuanya itu sampai terjadi padaku. Semuanya terasa menakutkan dan membuatku ragu untuk melangkah lebih jauh.

“Don’t be so hard on yourself, sister. Kau tahu semua itu tidak baik untukmu. Aku bisa melihat bagaimana cara kakak memperhatikan Kak Viktor. Aku bisa melihat dengan jelas.”

Aku menatap George dengan sendu. Dia sungguh mengenalku. “Kakak berusaha, George. Tapi semua kenangan itu terus membayangi kakak. Membuat kakak takut dan tidak siap.”

“Aku hanya ingin kakak bahagia.”

“I know. Biarkan waktu yang menentukannya. Sekarang, tidurlah. Kakak akan menunggumu sampai tidur.”

George sekali lagi menatapku dalam. Sebaik apapun orang berbohong, matanya akan selalu menunjukkan kejujuran. Dan George sama pintarnya denganku dalam hal itu. Dia bisa membacaku dengan mudah, seperti aku bisa membacanya.

“Kakak bisa pergi tidur. Aku baik-baik saja.”

“Tidak. Kakak akan di sini sampai kau tidur.”

Dia memilih memejamkan matanya dengan tanganku tetap berada digenggamannya. Aku bersenandung pelan seperti biasanya. Dulu, aku selalu menyanyikan lagu pengiring tidur untuk George, saat malam-malam penuh mimpi buruk itu menghantui kami. Dan sepertinya kali ini aku yang membutuhkannya, untuk menenangkan diriku sendiri.

She’s imperfect, but she tries
She is good, but she lies
She is hard on herself
She is broken and won’t ask for help
She is messy, but she’s kind
She is lonely, most of the time
She is all of this mixed up
And baked in a beautiful pie
She is gone, but she used to be mine

(Sara Barailles – She Used to be Mine)

Setelah memastikan George terlelap, aku melepas genggaman kami dengan hati-hati. Dia terlihat sangat tampan saat tidur seperti ini, semakin mengingatkanku pada ayah yang sudah lama sekali tidak kutemui. Kuusap wajahnya sekali lagi dan mencium keningnya lama.

“Kakak mencintaimu, sayang.”

Aku memperbaiki selimutnya lagi dan sedikit menaikkan suhu ruangan. Dan setelah memastikan jendelanya sudah terkunci, aku meninggalkan kamarnya dan menutup pintu dibelakangku. Aku memutuskan ke bawah dan memeriksa café yang beberapa hari ini tidak kuperhatikan.

“Sepertinya semua orang sudah pulang.”

Kulangkahkan kakiku ke meja kasir. Terkunci, seperti perintahku. Aku memang beruntung karena memiliki pegawai yang sangat jujur. Mereka tidak pernah melakukan apapun tanpa seizinku. Dan aku selalu memastikan mereka nyaman berada di sini. Karena aku hanya bisa bekerja dengan mereka yang bisa kupercaya.

Aku membawa catatan keuangan dan pendapatan hari ini ke kamarku setelah meninggalkan beberapa jumlah untuk tetap di mesin kasir. Karena lebih nyaman untuk bekerja di dalam kamarku sendiri.

Kulakukan semua pembukuan dengan teliti dan menyimpan pendapatannya ke brankas. Sepertinya sudah waktunya menyimpan uang di bank dan mengirim gaji para pegawai. Dan aku juga harus mengirim jatah bulanan ayah.

“Aku memang terlalu keras pada diriku sendiri.”

Kutatap langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk. “Kuharap aku bisa terus menyembunyikannya dari George. Jangan sampai dia menemukan hal ini, atau dia akan marah besar padaku. Dan pasti bukan hanya marah.”

.
.
.

Dan selama beberapa hari ini, aku terus mengunjungi Katarina di rumah sakit. Saat dia sadar dua hari yang lalu, aku bisa melihat kalau kecemasan Viktor mulai berkurang. Dia terlihat tenang dan jauh dari rasa bersalah. Aku senang karena dia bisa mengurangi rasa bersalahnya itu.

Yang membuatku sedih adalah, Katarina terlihat sangat lemah. Dia gadis yang baik, tapi dia terlalu banyak terluka. Bahkan sekarang, keadaan tubuhnya tidak akan sama seperti dulu lagi. Aku tidak bisa membayangkan ada psikopat yang tertarik padaku dan melukaiku seperti itu. Semuanya terasa menyeramkan.

Dan hari ini, akhirnya aku bisa membawa George mengunjungi Katarina. Belakangan ini dia memang sedang sangat sibuk di kampus, dan aku tidak bisa menyalahkannya. Dan hari ini dia kebetulan mendapat libur selama seminggu. Aku merasa tenang karena akhirnya George bisa mengistirahatkan tubuhnya dari kesibukan kuliah. Aku hanya khawatir tubuhnya tidak bisa mentolerir semua kegiatannya.

“Seperti apa Kak Katarina itu?”

Aku mengeratkan pelukanku dilengannya dan membayangkan Katarina. “Dia gadis yang baik dan menarik. Dia terlihat sedikit berbeda dari Viktor. Bertubuh lebih kecil daripada kakak dengan rambut dan mata coklat tua. Dia sangat cantik, kakak tidak akan terkejut kalau kau terpesona nantinya.”

“Hmm, aku bisa membayangkannya.”

“Dia sedang dalam masa pemulihan. Kalau bisa, jangan buat dia tertawa terlalu keras. Kau bisa membuatnya sesak napas. Dan, jangan terlalu dekat, nanti Keenan bisa menerkammu. Kau tahu, kan? Teman di London yang kakak ceritakan. Dia adalah kekasih Katarina. Jadi, jaga matamu.”

“Terdengar sangat protektif.”

“He is. Baiklah. Kau siap?”

George terkekeh dan mengusap keningku. “Kakak pikir aku akan menjalankan eksekusi? Tentu saja aku siap. Bukankah kita hanya mengunjungi adik Kak Viktor? Kenapa kakak terlihat gugup begitu?”

“Entahlah. Kalau begitu kita masuk saja.”

“Kakak yakin baik-baik saja?”

“Ya, George. I’m alright.”

Aku membuka kamar VVIP itu dan menemukan Katarina sendirian di sana. Aku mengernyit bingung dan segera masuk. Katarina mengalihkan pandangannya dari handphone dan tersenyum lebar. Dia melambaikan tangannya menyuruhku mendekat.

“Kak Georgia. Kenapa tidak mengatakan akan ke sini? Kak Viktor sedang bekerja.”

“Aku ingin mengunjungimu, bukan Viktor. Yang benar saja, Kate.”

“Baiklah, aku hanya bercanda.”

Aku menarik George untuk mendekat ke ranjang Katarina. “Aku membawa adikku hari ini. Kenalkan, George.”

Aku duduk dan membiarkan kedua orang itu saling berkenalan. George terlihat senang bertemu dengan Katarina. Sepertinya mereka akan menjadi teman baik.

“By the way, Kate. Dimana bodyguardmu itu? Sepertinya tidak mungkin kalau dia meninggalkanmu sendirian.”

Katarina menunjukkan handphonenya padaku dan aku hanya bisa melihat sebuah pesan dari Keenan.

Ini terakhir kalinya aku mengikuti permintaanmu. Kalau saja tidak ada rapat sialan ini, aku pasti masih akan tetap disampingmu. Lihat saja apa hukumannya untukmu nanti, baby.

“Jadi, kau mengusirnya untuk pergi rapat? Hebat sekali kau bisa membuatnya patuh.”

“Aku mengancamnya, tentu saja.”

“Dan dia meninggalkanmu sendirian?”

Katarina menggeleng dan menatapku konyol. “Kakak tidak melihat orang-orang berbaju hitam di luar atau sekitar sini? Mereka orang-orang Keenan dan Kak Viktor. Sepertinya aku tidak akan bisa bebas lagi.”

Aku tertawa kecil dan mengangguk paham. “Tentu saja mereka tidak akan membiarkanmu benar-benar sendirian. Mereka pasti masih mengkhawatirkanmu.”

“Aku tahu. Tapi mereka terlalu berlebihan. Dua orang saja sudah cukup banyak untuk menjagaku. Dan mereka menaruh sepuluh orang. Bukankah menurutmu itu berlebihan, George?”

“Mereka masuk akal.”

Aku memutar mata dan menatap Katarina yang sepertinya setuju kalau George sama saja dengan laki-laki yang sedang dibicarakan. “George memang sama seperti mereka, Kate. Kaum pria dan egonya.”

Aku meraih buah jeruk di atas nakas dan mengupasnya setelah mendapat izin Katarina. “Jadi, apa mereka belum bisa melepaskan selang oksigennya?”

Katarina menerima jeruk dari tanganku dan mengunyahnya. “Aku tidak tahu kalau bernapas tanpa oksigen bisa seberat itu. Sebenarnya aku sudah ingin melepasnya, tapi mereka mengatakan tidak.”

Aku menatapnya sedih dan kembali memberikannya potongan jeruk. George bahkan merebut beberapa dari tanganku. Dia ini kalau sudah nyaman, tidak akan mempedulikan lagi semuanya. Benar-benar tipe anak-anak yang tidak tahu malu.

“Bertahanlah. Semuanya pasti membaik. Sebentar lagi juga sudah bisa pulang, kan? Mereka pasti akan melepaskan oksigennya.”

“Kakak benar. Kalau aku sudah pulang, kakak sering-sering berkunjung, okay? Aku akan kesepian karena Kak Viktor lebih sering di ruang kerjanya atau di kantor. Walau Keenan pasti lebih sering di rumah.”

Ternyata Viktor memang seseorang yang sibuk dan gila kerja. Kupikir dia CEO bodoh yang hanya menghabiskan paginya di cafeku. Ternyata dia lebih sibuk daripada bayanganku. Padahal dia sendiri yang mengatakan ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Katarina. Tapi dia lebih memilih bersama pekerjaannya daripada Katarina.

“Apa kau sudah sarapan, Kate?”

“Belum. Makanan rumah sakit tidak ada rasanya.”

“Pasti para pria itu tidak tahu kalau kau belum sarapan. Aku akan mencarikanmu makanan, kalau begitu. Apa yang kau inginkan?”

Katarina tersenyum lebar dengan antusias. Semua orang sudah tahu kalau makanan rumah sakit memang tidak enak. Itulah kenapa tidak ada yang betah untuk tinggal di rumah sakit.

“Aku ingin cheese burger dan massed potato.”

Aku mengernyit mendengar jawabannya. “Apa kau sudah diizinkan untuk mengkonsumsi makanan seberat itu? Kalau kentangnya tidak masalah, tapi kalau burgernya…”

Katarina menatapku dengan memohon. Tipikal seorang adik kalau sedang ingin kakaknya menuruti semua kemauannya. “Bagaimana kalau Keenan atau Viktor tahu? Mereka akan memarahiku.”

“Ayolah, kak. Aku belum makan apapun dari tadi pagi.”

“Baiklah. Tapi aku akan menanyakannya dulu pada doktermu.”

Aku membuang sampah jeruk di tempatnya sebelum bangkit berdiri. “George, kau ingin titip sesuatu?”

“Kenapa tidak aku saja yang membelinya? Kakak bisa tetap di sini.”

“It’s alright, George. Kau temani Katarina di sini. Mengerti?”

“Jangan lama-lama.”

“Baiklah.”

.
.
.

Setelah mendapat persetujuan dari dokter yang menangani Katarina, aku membeli cheese burger dan massed potato di café dekat rumah sakit. Entah kenapa tidak ada makanan seperti itu di cafetaria rumah sakit, jadi aku harus berjalan cukup jauh ke satu-satunya café terdekat.

Dan aku hanya membeli jus buah untukku dan George. Well, seperti yang kubilang, dia melarangku meminum kafein terlalu banyak, karena memang dia tidak pernah mengkonsumsinya. Dia selalu mengatakan, ‘makanan sehat, kak’. Karena itu dia selalu makan di rumah, sebisa mungkin, atau sengaja membawa bekal.

Aku masuk ke kamar Katarina yang terbuka. Seingatku aku meninggalkannya dengan keadaan tertutup. Atau mungkin ada seseorang yang sedang berkunjung?

“Katarina, aku membawakan pesanan…” Aku menghentikan ucapanku saat melihat Keenan mencengkeram kerah baju George dengan erat. “Ada apa ini?”

Semua orang menatapku dan aku hanya bisa menatap Keenan dengan, well, sedikit marah. Lagipula, kenapa dia harus memperlakukan adikku seperti itu? Benar-benar tidak sopan sekali.

“Kak Georgia. Aku sudah memberitahu Keenan kalau George adalah adikmu. Tapi dia tidak percaya. Beritahu dia.”

“Hands off, Keenan. Kau pikir apa yang kau lakukan? Dia adikku, silly.”

Keenan menatapku sebentar sebelum kembali menatap George, dan kembali lagi kepadaku. Dia melepaskan tangannya dan duduk disebelah Katarina dengan santai. Yang benar saja, dude. Dia pikir sedang berhadapan dengan siapa?

“Apa kau cari masalah denganku?”

Keenan mengangkat tangannya. “Well, aku tidak yakin kalau dia adikmu. Jadi, lupakanlah apa yang terjadi.”

Dia memang benar-benar tidak berubah sama sekali. Selalu arogan, dingin, dan menyebalkan. Beruntung sekali dia mendapatkan seseorang seperti Katarina yang lembut dan penyayang itu. “Kalau kau berani menyentuh adikku lagi, kau sudah tahu akibatnya, Keenan.”

“Sudahlah, kak. Aku baik-baik saja.”

Aku mendengus kesal dan mendekati George. Kuperiksa wajahnya yang tidak terluka sama sekali. Beruntung Keenan belum menyentuhnya. Kalau George terluka sedikit saja, aku akan membalasnya dengan lebih kejam.

“Tahu seperti ini, kenapa kau tidak melawan saja?”

George melirik Keenan dan memberikan kode padaku. ‘Dia terlihat menyeramkan’. Oh yang benar saja. Keenan hanya menyebalkan, bukan menyeramkan seperti itu.

“Aku kan sudah bilang, dia itu adiknya Kak Georgia. Kau yang tidak mau mendengarkanku. Kenapa kau selalu bertindak semaumu sendiri, Kee? Aku tidak akan bicara denganmu kalau sampai Kak Georgia tidak mau menemuiku lagi.”

“Kenapa seperti itu? Aku kan tidak mendengarmu mengatakannya.”

“Yang benar saja. Aku bahkan sampai berteriak. Apa kau pura-pura tuli?”

“Baby, aku tidak suka melihatnya menyentuh tanganmu.”

“George hanya memeriksa apakah jarum infusnya melukaiku. Kenapa kau berlebihan sekali?”

Aku mendesah kecil mendengar pertengkaran kecil mereka. Keenan memang pantas menerima kemarahan Katarina. Sesekali memang harus ada yang menyadarkannya, bukan? Dia tidak pernah sadar kalau terkadang dia sudah sangat berlebihan.

“Sudahlah, Kate. Dia memang seperti itu, kan? Kau pasti sudah hapal.”

Aku mendekati ranjang Katarina dan memberikan kantong berisi makanan pesanannya. “Dokter bilang kau sudah bisa memakannya, tapi kau harus makan pelan-pelan.”

“Kenapa kau membeli makanan? Apa kau belum sarapan?”

“Makanannya tidak enak, karena itu aku meminta Kak Georgia membelinya.”

“Kenapa tidak menghubungiku?”

“Kau sedang rapat penting, Kee. Aku tidak ingin mengganggumu.”

“Kau bisa…”

“Apa kau ingin terus berdebat dan tidak membiarkan kekasihmu makan?” Aku memilih memotong perdebatan mereka. Bukankah seharusnya kalau berdebat mereka mengingat situasi dan kondisi? Dan aku sudah lelah mendengar mereka terus berdebat sejak tadi.

“Terima kasih, Kak.”

“Anytime.”

Aku kemudian mengajak George untuk duduk di sofa dan meminum jus yang kubeli. Dia menceritakan kejadian tadi padaku dengan pelan. Kurasa dia memang takut dengan sikap Keenan yang terlalu posesif itu.

Jadi, Katarina meminta pada George untuk memeriksa apakah jarum infusnya melukai tangannya. Bukan tanpa alasan, tapi Katarina merasa kalau tangannya terluka. Jadi George akhirnya menyentuh lengan Katarina untuk menolongnya. Tapi Keenan tiba-tiba datang dan menariknya menjauh dari Katarina.

Well, memang terdengar sangat berlebihan. Seharusnya dia mendengarkan penjelasan mereka sebelum bertindak.

“Jadi bagaimana dengan usahamu? Kau berhasil merintisnya, kan?”

Aku mengalihkan perhatianku pada Keenan dan mengangguk. “Ya, semuanya berjalan baik. Bahkan lebih pesat dari yang kubayangkan. Aku juga sudah mempertimbangkan akan membuka cabang pertamaku.”

“Itu terdengar bagus. Oh ya, bagaimana dengan serangan panikmu itu? Apa kau masih sering mengalaminya? Kurasa kau perlu berkonsultasi pada dokter tentang itu. Karena setahuku, itu cukup berbahaya.”

George mencengkeram lenganku, memaksaku menatap matanya. Aku menatap tajam Keenan karena sudah mengatakan hal terlarang itu. Aku bahkan berusaha keras untuk menutupinya dari semua orang.

“Apa maksudnya, Kak? Serangan panik apa?”

“Kau tidak memberitahu adikmu tentang itu?”

Aku menghembuskan napas pasrah dan menatap George dengan lembut. “Kakak akan menceritakannya di rumah. Tidak di sini.”

“Kakak menghindariku.”

“Tidak, George. Nanti akan kakak beritahu.”

“We’ll see.”

Aku melepaskan tangannya dari lenganku dan menggenggamnya. Dia terlalu takut saat ini, dan mungkin sedikit marah karena aku tidak menceritakan apapun tentang serangan panik yang dulu beberapa kali terjadi padaku.

“It’s okay.”

George masih belum melepaskan tatapannya dariku. Aku mengusap rahangnya untuk menenangkannya. Kurasa aku tidak bisa terus di sini. Kami harus pulang dan membicarakan semua ini.

“Tunggu sebentar.”

Aku melepas tangannya dan mendekati ranjang Katarina. Aku menatap mereka dengan sedikit bersalah. Sebenarnya aku berniat untuk menghabiskan lebih banyak waktu di sini, tapi keadaan George tidak memungkinkan.

“Maaf, aku harus pulang. Aku harus menenangkan adikku. Dan kau seharusnya tetap mulut, Keenan. Kau tidak tahu bagaimana reaksi adikku itu. Maaf, Kate. Aku akan datang lain waktu.”

“Tidak apa-apa, Kak. Maafkan Keenan. Sepertinya George sangat terkejut dan terguncang. Dia memang lebih baik pulang.”

“Kupikir kau sudah memberitahunya. Kenapa juga kau menyembunyikannya dari adikmu? Kalau terjadi sesuatu saat dia tidak di rumah bagaimana?”

“Sudah kubilang kalau kau tidak mengenal adikku. Sudahlah, aku pulang dulu. Cepat sembuh, Katarina.”

“Hati-hati di jalan, Kak Georgia.”

“Okay.”

Dengan segera aku meraih tangan George dan membawanya pulang. Dia masih saja terdiam seolah fakta yang baru saja didengarnya adalah hukuman mati untukku. Yang benar saja, aku hanya mendapat serangan panik, bukan berarti aku akan meninggal sewaktu-waktu. Entah dia shock atau terlalu berlebihan.

MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang