“Maafkan aku.”
Aku mencoba mengendalikan diriku dengan menghembuskan napas panjang. Kenapa aku selalu meledak jika sudah marah? Biasanya aku hanya akan berbicara dengan paksaan, bukan bentakan seperti ini.
“Kenapa, George?”
“Mereka hanya ingin memastikan keadaan kakak. Sebenarnya sudah beberapa kali mereka datang, tapi saat itu kakak masih belum sadar.”
Kenapa sulit sekali untuk membuat kakak menerima mereka? Seharusnya kakak mendengar penjelasan mereka dulu.
“Kakak tidak ingin mendengar apapun lagi dari mereka, jadi berhentilah membawa mereka ke sini.”
George mendongak dengan terkejut. “Tapi, kak...”
“Atau kakak akan memaksa pulang hari ini juga.”
Dia bungkam dan memalingkan wajahnya. Selalu saja mengancam dengan keadaannya.
Aku tidak mempedulikan pikirannya itu, terserah dia akan berpikir apa tentangku, karena memang seharusnya aku tidak mendengarkan pikiran mereka.
“Turun, Viktor, aku ingin tidur.”
Tanpa mengatakan apapun, Viktor melepas pelukannya dan turun dari ranjang. Aku dengan segala emosi yang sedang berkecamuk di dalam kepalaku, memilih untuk menutup seluruh tubuhku dengan selimut.
“Biarkan kakakmu istirahat, kita keluar dulu.”
Setelah mereka keluar dari kamar, aku mulai menangis. Rasa takut yang sudah lama hilang, sekarang muncul lagi bersamaan dengan kedatangan mereka.
Dulu, saat aku menemukan fakta mengejutkan, di mana aku bukanlah anak kandung orangtuaku, hanya rasa sedih dan terluka yang kurasakan. Banyak sekali pikiran-pikiran buruk tentang alasan dibalik semua yang terjadi. Apakah aku dan George adalah anak yang tidak diinginkan, atau mereka akan membawa George pergi saat mereka ingin? Bagaimana jika memang hal itu yang terjadi?
Aku mencari-cari siapa orangtuaku dan di mana keberadaan mereka. Tepatnya setelah aku kembali ke Indonesia, mereka tiba-tiba saja muncul dihadapanku, bersamaan dengan kedatanganku di kampung halamanku dulu.
Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah mereka, orangtua kandungku. Untuk beberapa saat, aku hanya diam memperhatikan mereka. Wajah pria paruh baya itu benar-benar cerminan George, dan hal itu membuatku tidak bisa menyangkal kenyataannya.Perasaan marah muncul saat melihat mereka cukup berada, pakaian mereka bukanlah pakaian murahan, bahkan dari merk yang terkenal mahal, membuatku semakin geram. Kenapa mereka membuangku dan George kalau begitu, bahkan saat mereka memiliki banyak uang?
“Siapa kalian?” Aku bahkan tidak peduli saat melihat wanita paruh baya itu menangis dalam pelukan suaminya. Mereka baru muncul sekarang, memangnya apa yang bisa mereka harapkan?
“Ini mama dan papa, sayang. Kau tidak mengenali kami?”
“Maaf, sepertinya kalian salah orang.”
Di saat aku ingin menghindar dari mereka, tangan seseorang menahan lenganku. Aku tidak berbalik, dan tidak juga mencoba untuk menepis tangan itu. Walau ingin mengelak, tetapi tangan itu terasa sangat hangat.
“Bisakah kami menjelaskan dulu apa yang terjadi, sayang? Hanya sebentar.”
“Tidak bisa, seseorang sedang menungguku.”
“Apakah adikmu baik-baik saja? Dia sudah besar ya sekarang. Apakah sekolahnya berjalan dengan lancar?”
Aku menghela napas dengan keras dan menepis tangan itu. “Maaf, aku tidak mengenal kalian, jadi bisakah berhenti menggangguku dan membiarkanku pergi?”
Tanpa menunggu jawaban apapun dari mereka, aku melangkah pergi.
Sekarang mereka muncul lagi. Apa yang mereka inginkan dariku? Apakah aku salah karena pergi tanpa mendengarkan penjelasan mereka sama sekali? Apakah mereka akan mengambil kesempatan kali ini untuk merebut George dariku?
Tidak, George sudah cukup dewasa untuk memilih mana yang baik untuknya. Tapi dia sudah memanggil mereka mama dan papa.
“Sial.”
Kasihan sekali melihat mama terus menangis. Apakah tidak ada cara untuk membuat kakak menerima mereka?
Seharusnya aku menjelaskan semuanya sejak awal pada mereka.Seharusnya Georgia mengenalku sebagai mamanya. Seharusnya aku tidak lengah saat itu.
Seharusnya aku bisa menjaga mereka dengan lebih baik.
Aku menutup telingaku dengan panik dan gemetar. Pekikan yang cukup keras keluar begitu saja dari mulutku saat semua suara-suara itu menyerbu kepalaku. Aku tidak bisa mengendalikan kepalaku sehingga membuat suara-suara pikiran semua orang menyakiti kesadaranku.
“Kakak! Ada apa?”
“Sayang, kau mendengarku?”
Sepasang tangan itu mencoba menarik tanganku yang masih menutup telinga dengan kencang. Aku tidak membuka mataku dan kembali menjerit.
Apa yang terjadi pada kakak? Kenapa dia terlihat sangat kesakitan?
Tangannya kencang sekali.
Masalah apalagi yang terjadi saat ini?
Anakku, tolong berhentilah. Jangan membuat kami semakin menderita.
“Aku tidak ingin mendengarnya! Siapapun suruh mereka berhenti bicara! Kepalaku serasa ingin pecah, tolong.”
“Sayang, tenanglah. Tidak ada yang bicara sama sekali di sini. Katakan mana yang sakit. Kepalamu sakit?”
“George panggil dokter sekarang.”
Kesadaranku secara perlahan mulai menghilang, aku tidak lagi melawan dan membiarkan siapapun itu menarik tanganku dan menyandarkan tubuhku padanya.
“Apa yang terjadi?”
“Dia tiba-tiba saja berteriak dan terlihat kesakitan, aku tidak tahu. Tolonglah.”
“Dia sudah kelelahan, aku akan memberinya obat tidur sehingga dia bisa beristirahat.”
Kalau saja penculikan itu tidak terjadi, mungkin kita masih tinggal bersama.
Hanya itu hal terakhir yang kudengar sebelum kegelapan menelanku.
.
.
.
“Sayang?”
Keningku mengernyit saat mencoba membuka mata. Rasa pening itu membuatku mual, dan itu menyakitkan.
“Kakak?”
Tangan kananku bergerak memijat pangkal hidungku sebelum membuka mata. Suara-suara mulai muncul dikepalaku tapi aku memilih mengabaikannya dan memfokuskan diriku pada sekeliling.
“Kak?”
“George?”
“Aku di sini, Kak.” Tanganku digenggam olehnya sebelum sebuah ciuman mendarat di sana. “Ada apa? Kepala kakak masih sakit?”
“I want to go home.”
Ketidaksetujuan kedua orang itu otomatis membuatku membuka mata. “Please.”
“Tapi, Kak, terapi kakak belum selesai. Dan masih banyak hal lain untuk dipertimbangkan.”
“Kakak bisa melakukannya di rumah, George. Please.”
Lama tidak ada yang bersuara, sampai sebuah ciuman mendarat dipelipisku. “Aku akan coba bicara dengan dokter. Kita tunggu, okay?”
“Kak Viktor, tapi...”
“Tidak apa-apa, George.”
Aku tersenyum berterima kasih sebelum membalik badanku membelakangi mereka dan kembali menutup mataku. Sepertinya obat tidur tadi masih bekerja, karena aku akhirnya kembali tertidur dengan nyenyak.
.
.
.
“Senang bisa pulang?”
Aku tersenyum dan mengangguk dengan antusias. Saat ini kami masih dalam perjalanan dari rumah sakit. Tadi pagi, setelah melakukan sesi terapiku, Viktor mengatakan kalau aku sudah bisa pulang sore harinya. Rasa lelah setelah terapi langsung hilang karena mendengar kabar bahagia itu.
“Tapi jangan lupa dengan semua pesan dokter tadi, mengerti? Kau tidak boleh kelelahan dan melakukan pekerjaan berat yang menguras tenagamu, apalagi sampai banyak pikiran.”
Aku mendengus dengan kesal karena sudah kelima kalinya Viktor mengingatkanku hal itu. Memangnya apa yang bisa kulakukan dengan keadaan kaki yang masih seperti ini? Berjalan saja masih butuh tenaga ekstra, apalagi melakukan pekerjaan yang lain.
“Jangan seperti itu. Kalau aku melihatmu melanggar satu saja pesan dokter, aku akan langsung menyeretmu ke rumah sakit dan membiarkan mereka mengurungmu di sana.”
“Iya, aku sudah mendengarnya, dan mengingatnya diluar kelapa.”
Suara kekehan dari George membuatku menengok dengan tidak percaya. Dia baru saja mentertawakanku, bukan?
“Semua orang tahu betapa keras kepalanya kau, sayang. Kurasa memberitahumu hanya sekali tidak akan pernah cukup.”
What? Kenapa mereka tiba-tiba jadi seperti ini? Apa saja yang kulewatkan sampai-sampai mereka bisa sangat kompak dalam semua hal? Apakah hanya dengan satu tahun aku melewatkan begitu banyak hal bersama mereka? Kenapa aku tidak bangun lebih cepat? Apa saja yang kutunggu hingga tertidur selama itu?
“Kau baru saja melanggar satu hal, sayang. Apa aku perlu memutar balik dan membawamu kembali ke rumah sakit?”
Mataku mengerjap dengan cepat dan berubah panik saat melihat Viktor sudah siap memutar jalan. “Tidak, tidak. Aku hanya berpikir sebentar, Viktor. Jangan seperti itu!”
Saat melihat kerlingan dimata Viktor, aku langsung sadar kalau dia hanya mempermainkanku. “Jalan ke rumah memang harus memutar balik, sayang. Kau tidak ingin pulang?”
Setelah menyadari kalau ucapan Viktor memang benar, aku memalingkan wajahku dengan malu. Sial, gara-gara panik aku jadi lupa arah jalan pulang.
Usapan ibu jari dipipiku membuatku merona. Viktor tidak berpaling dari jalanan, tapi tangannya berhasil menenangkanku. “Maaf.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.”
.
.
.
“Sini biar aku bantu, Kak.”
Aku melingkarkan lenganku ke lehernya dan segera bangkit dari ranjang. Dengan bantuan George, aku bisa masuk ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri.
Mungkin kebanyakan orang akan merasa kesal ataupun marah jika berada diposisiku, dengan kaki yang tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya. Tapi karena aku tahu kalau memang ini akan terjadi, aku tidak pernah mengeluh. Kekakuan otot ini hanyalah masalah waktu, aku masih bisa berjalan lagi setelah melakukan terapi dengan teratur.
“Nanti panggil aku kalau selesai, okay?”
“Iya, George.”
Aku mengunci kamar mandi dan duduk diatas kloset. Viktor baru saja pulang setelah aku berhasil memaksanya untuk beristirahat dirumahnya sendiri. Bukan berarti aku tidak suka kalau dia tinggal di sini, hanya saja aku juga butuh waktu untuk merenung dan bebas darinya.
Aku cukup tahu kalau pikirannya melayang kemana-mana saat bersamaku. Dia memikirkan tentang hubungan kami, tubuhku, gairahnya, masalah kami, dan bahkan dia sudah kembali memikirkan tentang pernikahan.
Tentu saja bukan berarti aku munafik karena tidak mengakui kalau aku juga memikirkan hal yang sama. Tapi karena masalah yang masih ada, dan ketidaksiapanku akan hal itu, aku memilih untuk tidak memikirkan lebih jauh.
Aku sudah bisa terbebas dari ayah tiriku, itu hal pertama yang kusyukuri setelah bangun dari koma. Walau aku marah besar karena masalah itu, tapi aku kembali memikirkannya ribuan kali, kalau George dan Viktor adalah yang terpenting. Aku memilih membuang ego dan harga diriku untuk memaafkan mereka berdua, orang yang membuatku bisa bertahan sampai saat ini. Kalau bukan karena mereka, mungkin aku sudah menyerah sejak kecelakaan itu terjadi.
“Sepertinya aku memang terlalu keras kepala.”
Setelah berhasil menghentikan semua pemikiranku itu, aku memilih untuk membersihkan diri dan memakai piyama tidur berwarna hitam.
“George? Kakak sudah selesai.”
“Open the door, then.”
Aku membuka kunci pintu dan membiarkan George mengangkat tubuhku kembali ke kamar. Aku bersandar dengan nyaman di kepala ranjang sebelum meraih handphone baru di atas nakas. Viktor bersikeras kalau handphone ini milikku, dan tidak ada data yang hilang walaupun aku sangat yakin kalau aku sudah menghancurkan handphoneku waktu itu.
“Kakak ingin tidur?”
“Belum. Kau sudah lelah? Tidurlah, besok ada kuliah.”
George tidak beranjak dari kamarku, justru berbaring disampingku dan bergerak memeluk pinggangku. “Kenapa?”
“Aku ingin tidur di sini.”
Aku hanya mengangguk dan membiarkannya tidur dengan nyaman. Setelah dengkuran halus itu terdengar, aku kembali memeriksa handphoneku. Memang semua data masih ada, tapi aku belum terbiasa dengan fitur-fiturnya. Terlalu banyak aplikasi yang tidak pernah kulihat, jadi aku memutuskan untuk berselancar di aplikasi online shop.
Beberapa menit kemudian, aku kembali bosan. Aku memilih untuk menghubungi Viktor via video call. Lama, hanya nada sambung yang terdengar, sebelum wajah segarnya memenuhi layar handphoneku.
“Hai, sayang. Kau belum tidur?”
Aku menggeleng kecil dan memperhatikan dada telanjangnya yang masih sedikit basah. “Kau baru mandi? Kenapa tidak mengeringkan tubuhmu?”
“Kau menelepon tepat setelah aku keluar dari kamar mandi. Di mana George?” Viktor menyeka tubuhnya dengan handuk sebelum berbaring diatas ranjang besarnya.
Aku memutar handphone sehingga memperlihatkan George yang sedang terlelap dengan damai. “Dia langsung tidur setelah aku mandi.”
“Kebiasaan. Kenapa dia tidak tidur di kamarnya sendiri?”
Dengan senyum kecil diwajahku, aku memberitahunya kalau George ingin tidur bersamaku.
“Dia selalu tidur denganmu, sedangkan aku harus tidur sendirian diranjang sebesar ini.” Wajah merajuknya membuatku tertawa kecil. Padahal dia sudah berumur, tapi tetap saja manja sekali.
“Ayolah, Viktor, kau sudah terbiasa tidur sendiri. Kenapa sekarang manja sekali, hmm?”
“Mana aku tahu. Entah kenapa, setiap bersamamu, aku selalu ingin bersikap manja. Mungkin karena aku sudah sangat ketergantungan padamu.”
Aku mencoba membaca pikirannya, tapi sepertinya tidak bisa. Mungkin karena kami tidak bertatapan secara langsung, jadi kemampuanku tidak berguna sama sekali.
“Apa yang akan kau lakukan besok? Bukankah George harus ke kampus?”
“Ya, mungkin maraton movie atau hal lainnya. Kenapa?”
Viktor menggeleng kecil. “Tidak, hanya penasaran. Aku akan ke sana sepulang kerja besok. Pastikan aku tidak mendengar laporan dari Sarah, sayang.”
Kuputar mataku malas dan merebahkan tubuhku, sepertinya aku sudah mulai mengantuk. “Aku ingin tidur, kau bisa bernyanyi untukku?”
Viktor menjelaskan semua yang terjadi selama aku koma, tidak terkecuali dengan rekaman-rekamannya yang selalu diputar untuk menemaniku, dan aku ingin sekali mendengarnya menyanyi secara langsung, walau dia tidak berada didepanku saat ini.
“Lagu apa yang ingin kau dengar?”
“Sesuatu yang lembut.”
Viktor terkekeh pelan dan memperbaiki posisinya sehingga dia kembali duduk sebelum bersandar dikepala ranjang. “Pelukanku lebih lembut, sayang.”
Aku menahan tawaku sembari menggigit bibirku. “Aku tahu. Tapi yang kubutuhkan sekarang adalah nyanyianmu, aku butuh istirahat.”
Dia tersenyum lembut sebelum bersenandung.
There’s a calm surrender
To the rush of day
When the heat of a rolling wave
Can be turned away
An enchanted moment
And it sees me through
It’s enough for this restless warrior
Just to be with you
And can you feel the love tonight?
It is where we are
It’s enough for this wide-eyed wanderer
That we’ve got this far
And can you feel the love tonight?
How it’s laid to rest?
It’s enough to make kings and vagabonds
Believe the very best
Setelah meletakkan handphone di nakas dan memastikan Viktor masih bisa melihatku, aku mulai memejamkan mata.
There’s a time for everyone
If they only learn
That the twisting kaleidoscope
Moves us all in turn
There’s a rhyme and reason
To the wild outdoors
When the heart of this star-crossed voyager
Beats in time with yours
And can you feel the love tonight?
It is where we are
It’s enough for this wide-eyed wanderer
That we’ve got this far
And can you feel the love tonight?
How it’s laid to rest?
It’s enough to make kings and vagabonds
Believe the very best
It’s enough to make kings and vagabonds
Believe the very best
(Elthon John – Can You Feel the Love Tonight)
“Mimpi indah, Georgia.”
Suara lembutnya mengiringku ke dalam kegelapan dunia yang tak berujung..
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)
RomanceCerita ini tentang Georgia Alexander (25), gadis dengan semua kenangan masa lalunya. Setelah menghadapi segala penderitaan hidupnya, dia bertemu dengan Viktor Junior Black (29), seorang CEO yang dianggapnya bodoh. Perjalanan kisah mereka menjadi cob...