Chapter 13

813 52 1
                                    

Viktor’s POV

Mungkin inilah rasanya mati untuk kedua kalinya. Pertama, aku hanya bisa melihat adikku terlempar ke jurang dan menghilang. Sekarang, aku melihat gadis yang kucintai dihempas fortuner hitam dan berlumuran darah. Aku mengutuk tubuhku sendiri karena tidak bisa menangkapnya tepat waktu, dan hanya bisa terdiam saat tubuh itu digenangi banyak darah. Seandainya saja aku berlari dua detik lebih cepat, mungkin tubuh mungil itu tidak akan terluka.

Bukannya aku buta dengan keadaan Georgia sebelum melangkah ke jalanan, aku sangat yakin kalau dia bertindak seperti orang linglung. Kedua tangannya yang mencengkeram kepala, dan kakinya yang bergerak dengan kacau. Mungkin dia mendapat serangan panik karena pertengkaran kami, karena aku yang tidak bisa mengendalikan emosiku saat melihatnya lepas kendali, dan George semakin memperkeruh keadaan.

Aku tidak akan menyalahkan George karena dia memang tidak tahu apapun. Apalagi aku memang bertindak ceroboh dengan mengabaikan pendapat Georgia tentang apa yang aku lakukan. Kalau saja aku tidak marah setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya, tidak mungkin aku membawa pengacara untuk menghentikan ayah tiri yang dengan tidak tahu dirinya terus mengganggu kehidupan gadisku itu.

Cukup lama aku tahu kalau Georgia rutin mentransfer uang ke sebuah rekening. Tentu saja itu membuatku penasaran, akhirnya aku mengirim Richard untuk menyelidiki hal itu dan semua fakta akhirnya terungkap.

Gadisku menjadi seperti sekarang karena pria tidak tahu diri yang Georgia kira ayahnya, atau dia sudah tahu sejak lama kalau dia bukanlah ayah kandungnya. Aku cukup terkejut dan marah setelah mengetahuinya, karena Georgia menyembunyikan rahasia sebesar itu dariku, bahkan dari George.

“Bagaimana keadaan kakakku?”

Aku mengangkat kepalaku dan melihat George menyongsong kedatangan dokter dari ruang operasi. Tubuhku bergerak lebih cepat dari otakku, karena aku bisa merasakan tubuhku melangkah ke arah mereka.

“Operasinya berhasil. Beberapa rusuknya patah, tapi bukan masalah besar. Yang jadi masalah adalah dia kehilangan banyak darah karena pendarahan diperutnya.”

“Lalu?”

“Kami tidak yakin Georgia akan bangun dalam waktu dekat. Kepalanya mengalami cidera cukup parah, dan dia sedang dalam keadaan koma.”

Oksigen terasa menyempit setelah dokter itu mengeluarkan pernyataannya. Aku tercekat napasku sendiri sebelum bergerak spontan menangkap George yang jatuh tak sadarkan diri. Wajahnya bahkan lebih pucat dari wajah kakaknya, dan aku yakin kalau penampilanku tidaklah beda jauh.

“Tolong adikku, dokter.”

Dengan bantuan beberapa perawat, George bisa dibawa ke ruang gawat darurat untuk diperiksa. Aku tahu kalau keadaan Georgia sudah membuatku merasa takut, tapi George juga perlu dipikirkan, dia sudah seperti adik kandungku sendiri, jadi tanpa sadar aku akan selalu mencemaskannya.

“Bagaimana?”

“Tekanan darahnya menurun, dia hanya mengalami shock. Sementara ini biarkan dia beristirahat.”

Aku hanya bisa mengangguk mengerti sebelum dokter itu mengundurkan diri. Tatapanku berhenti pada ruang rawat dan ICU di ujung lorong. Sesak itu membuatku segera mengalihkan mataku dan mengusap wajahku kasar.

Dokter tidak memperbolehkan siapapun menemui Georgia sampai keadaannya benar-benar stabil, dan aku tidak tahu kapan itu akan terjadi. Bukankah keadaan seperti benar-benar membuatmu sesak? Aku bahkan belum meminta maaf padanya atas semua perkataan kasarku. Aku belum mengungkapkan betapa aku sangat dan sungguh mencintainya, walaupun dia selalu bersikap seolah aku hanyalah pria keduanya.

Kalau aku diberi satu kesempatan lagi, aku tidak akan pernah melepaskannya. Aku tidak akan pernah mengeluarkan perkataan tanpa memprosesnya hingga berhasil melukai perasaannya. Dan aku akan berusaha mencintai semua sifatnya, termasuk kemandiriannya yang keterlaluan itu.

Aku hanya butuh satu kesempatan, Tuhan. Dan hanya itu yang kuminta saat ini.

“Kakak?”

Suara lembut itu memaksaku mengalihkan perhatianku pada adik perempuanku. Entah bagaimana dia bisa sampai di sini, karena aku belum menyentuh handphone sama sekali. Mungkin saja Richard yang memberitahunya.

“Princess.”

“Bagaimana keadaan Kak Georgia? Aku langsung ke sini setelah mendengar kabar dari Richard.”

Aku menarik tangan adikku itu sehingga dia duduk disampingku. Dia menatapku dengan sedih, membuatku tidak bisa menahan gejolak itu. Tubuhku bergerak lebih cepat untuk memeluknya dan terisak pelan. Tubuhku terasa bergetar karena ketakutan, dan aku tidak menyukainya.

“She’s in coma.”

“I know. Everything will be alright.”

Katarina mengusap kepalaku dan aku bisa merasakan tepukan pelan Keenan dipunggungku. “Bagaimana, kalau dia tidak akan bangun? Semua ini salahku.”

“Kakak.”

“Kita tidak seharusnya bertengkar tadi. Dia terluka dengan ucapanku, dan kecelakaan itu terjadi. Bukankah ini salah kakak?”

“Don’t be so hard to yourself. Kakak tahu kalau kita tidak bisa menentukan takdir kita. Mungkin ini hanyalah satu dari jalan kalian berdua.”

Aku kembali terisak dan bersandar dibahu kecilnya. Sudah lama sejak terakhir kali aku menangis, mungkin saat Katarina juga mengalami koma, atau setelahnya. Tapi bukan tangisan seperti ini yang kuharapkan. Harusnya aku menangis saat Georgia menerima lamaranku, atau saat dia berjalan di altar di hari pernikahan kami.

“Tidak apa-apa. Kakak menangis saja, karena aku tahu kakak membutuhkannya.”

“Terima kasih.”

.
.
.

Aku langsung beranjak dari sofa begitu melihat George berusaha membuka matanya. Setelah hampir 12 jam dia tidak sadar, akhirnya aku tahu kalau dia akan baik-baik saja.

“George.”

Pria itu mengernyit sebentar sebelum menoleh padaku. Dia terlihat mencerna apa yang sedang terjadi sebelum dia duduk dengan tiba-tiba.

“Pelan-pelan, George.”

“Kakak di mana?”

Aku tersenyum getir dan mendudukkan pantatku di sisi ranjang. “Kita tahu apa yang terjadi, George.”

George menggigit bibir bawahnya sebelum menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Aku memilih untuk memeluknya saat dia mulai terisak.

“Aku menyesal. Tidak seharusnya aku meragukan kakak. Dia pasti terluka dengan ucapanku.”

“Kita berdua melukainya.”

“Tapi ucapanku lebih menyakitinya.”

Aku terdiam untuk sesaat mencoba menghalau air mata yang sudah siap menetes. Kenyataan bahwa kekasihku sedang berbaring dengan berbagai alat penunjang hidupnya, dan entah kapan matanya akan terbuka, benar-benar membuat dadaku sesak.

“Aku tidak bisa kehilangannya.”

Aku juga sama, George.

“Tuhan tidak akan mengambilnya dariku, kan?”

Dia tidak bisa sekejam itu pada kita.

“Lebih baik aku yang mati. Kakak selalu menderita karenaku.”

Mungkin lebih baik kalau aku tidak pernah hadir dalam kehidupan kalian.

Aku menghentikan tetesan air mataku dan segera mengusap kepalanya. “Kau tahu apa yang selalu kakakmu utamakan?”

“Itu kau,” lanjutku. “dia selalu menomorsatukanmu, bahkan diatas dirinya sendiri. Menurutmu, bagaimana perasaannya kalau kau sampai meninggalkannya?”

“Kakak akan hancur.”

“Kau benar. Dia selalu mengutamakanmu, melindungimu, merawatmu, bahkan membanggakan semua kekuranganmu. Dan aku selalu merasa iri karena kedekatan kalian.”

George terisak sekali, “Tapi dia mencintaimu.”

“Cintanya padaku berbeda dengan perasaannya padamu. Kalian bersaudara, sedarah. Aku tidak yakin kalau ikatanku dengan Katarina sekuat ikatan kalian.”

Tidak ada sahutan darinya, tapi aku tahu kalau dia masih mendengarkanku. Sudah lama sejak aku menganggap George sebagai adikku sendiri. Melihat bagaimana Georgia memanjakan George, membuatku tanpa sadar juga melakukannya. Bahkan terkadang aku menjadi lebih cerewet daripada Georgia.

“Do you want to see our girl?”

“Bisakah?”

“Keadaannya sudah cukup stabil. Sepertinya dokter akan mengizinkan.”

“Let’s see her, then.”

.
.
.

Kakiku berhenti melangkah saat melihat tubuh itu terlihat tenang dengan beberapa alat disekitar tubuhnya. Aku hanya bisa melihat perban melilit dahinya, yang terlihat begitu mencolok. Mungkin kalau dia tidak sedang memakai pakaian, aku bisa melihat bebat didadanya.

Napasku tercekat menahan gejolak ingin berteriak tidak terima karena Georgia harus mengalami hal mengerikan itu. Lebih baik aku yang berada diposisinya saat ini, karena dia jauh lebih berharga daripada diriku.

“Kakak.”

Suara George kembali menyadarkanku. Aku hanya bisa memperhatikannya saat dia meraih jemari Georgia untuk digenggamnya. Kemudian hanya ada suara George yang mengisi ruangan dingin ini.

Begitu banyak kata maaf dan penyesalan dari mulutnya, ditambah dengan cerita George tentang masa kecil mereka. Aku merasa mendapat banyak keuntungan darinya, karena Georgia tidak pernah membahas masa lalunya.

“Kakak yang selalu memelukku sampai aku tidur. Bahkan tangan kakak selalu membungkam telingaku saat mereka mulai berteriak. Aku tahu kakak tidak ingin aku mendengar perkataan kasar mereka, apalagi sampai aku ikut terpengaruh.”

“Sebenarnya aku tahu apa yang terjadi dulu, tapi melihat kakak yang begitu melindungiku, aku menjadi sedikit manja, mungkin sebenarnya sangat manja.” George terkekeh kecil. “Tapi aku benar-benar menyukai sikap kakak yang selalu ada untukku. Kakak adalah segalanya, untukku, untuk Kak Viktor. Mungkin kakak lelah karena mengurusi dua pria kekanakan seperti kami, jadi sekarang kakak memilih untuk tidur. Tapi kakak harus ingat kalau masih ada aku yang menunggu kakak di sini, masih ada Kak Viktor yang menunggu jawaban 'ya' dari kakak. Cepatlah bangun, dan biarkan aku menebus perbuatanku.”

“Aku selalu mencintaimu, Kakak.” Selanjutnya George mencium kening Georgia dengan lembut.

Aku segera menghapus air mata yang sudah jatuh dipipiku, tanpa sadar. George tidak pernah terlihat semenderita ini. Dia selalu berusaha terlihat baik-baik saja agar Georgia tidak mengkhawatirkannya, tapi sifat aslinya keluar begitu keadaan Georgia seperti ini.

“Aku akan kembali ke kamarku, sebelum dokterku mengamuk karena aku pergi terlalu lama. Kak Viktor bisa tetap di sini, aku tidak perlu ditemani.”

Aku hanya bisa mengangguk saat dia melewatiku dengan tiang infus ditangan kanannya. Kakiku bergerak dengan lemah ke arah ranjang sebelum tubuhku luruh terduduk dikursi tunggu.

“Hiks. Kenapa kau harus mengalami semua ini?”

Tanganku bergerak menggenggam tangannya dengan lembut dan mengusapkan ibu jariku. Rasanya dadaku begitu sesak dan sakit, sungguh menyedihkan.

“Harusnya aku. Kau sudah terlalu lama menderita, kenapa bukan aku saja?”

Georgia hanya bergeming, dan aku tahu kalau dia tidak akan meresponku sama sekali untuk saat ini. Tapi keinginan untuk berbicara tidak bisa kukendalikan. Biasanya dia selalu ada untukku saat aku butuh seseorang untuk mendengarkan, dan aku selalu bergantung padanya sejak kami berhubungan. Dan sekarang, saat dia tidak bisa, siapa yang akan menjadi sandaranku, tempatku berkeluh kesah?

“Tolong bangunlah, sayang. Aku akan melakukan semua permintaanmu, bahkan meninggalkanmu, kalau memang itu keinginanmu.”

Aku tersedak tangisku. Tanganku dengan gelisah membawa telapak tangannya untuk menyentuh pipiku. Dia selalu mengusap pipiku, bahkan saat aku sedang tidur.

“Apakah ucapanku menyakitimu, jadi kau tidak ingin bangun? Kalau begitu biarkan aku berlutut dihadapanmu, meminta maaf, tapi kau harus baik-baik saja.”

Lagi, tidak ada respon sama sekali, hanya bunyi bip pada monitor jantungnya yang menandakan kalau dia masih di sini bersamaku. Bunyi itu hanya membuatku paranoid, bukannya tenang.

“Sepertinya kau butuh istirahat. Kalau begitu, aku akan meninggalkanmu sendiri. Cepatlah bangun, mengerti?”

Aku mencium bibirnya lembut sebelum beralih ke keningnya. “Aku mencintaimu.”

.
.
.

“Kau harus mulai kuliah lagi, George.”

Dia berhenti menyeka tangan Georgia dan hanya menatap kosong ke depan. Sudah hampir seminggu dia bolos kuliah, padahal dia sudah sehat dan tidak perlu diinfus lagi, tapi entah kenapa dia tidak juga pergi kuliah.

“Aku tidak ingin meninggalkan kakak sendirian.”

“Aku bisa menjaganya saat kau kuliah.”

“Kak Viktor juga tidak pergi bekerja kenapa?”

Aku menggigit bibirku dan mengalihkan pandanganku. Memang aku juga selalu bolos bekerja sejak hari kecelakaan itu, karena aku memang tidak ingin meninggalkan gadisku itu.

“Kakak juga sama saja, kenapa aku harus pergi kalau kakak tidak?”

Aku menghela napas dan mengacak rambutku. “Georgia akan baik-baik saja. Tidak bisakah kau terus berpikir seperti itu?”

“Tidak ada yang tahu.”

“Apa kau ingin melihat Georgia menyesal saat bangun nanti? Kau pikir dia akan senang melihatmu menelantarkan kuliahmu? Setelah perjuangannya menyekolahkanmu selama ini?”

George hanya terdiam tanpa melanjutkan kegiatannya menyeka tubuh Georgia. “Kau tahu sendiri bagaimana kerja keras kakakmu selama ini untuk kalian berdua, kau ingin menghancurkan semuanya? Cafe kalian, kuliahmu, banyak yang harus tetap berjalan selama kakakmu tidak sadar, George.”

“Maafkan aku.”

“Minta maaf padanya.”

Dia kembali menangis, entah untuk kesekian kalinya hari ini. Bukan tanpa alasan aku selalu menangis saat George tertidur, tapi tangisan itu bisa membuat semua orang merasa sedih.

“Aku tidak ingin terjadi sesuatu saat aku pergi. Aku takut bahkan hanya untuk keluar dari ruangan ini.”

“She will fine, we have to believe. Kalau kita terus berpikir seperti ini, apakah semuanya akan berjalan dengan benar?”

“Tidak, aku tahu itu. Tapi tetap saja, rasa takut lebih menguasaiku. Apa mungkin aku masih bisa berpikir jernih di saat nyawa kakakku masih tidak jelas seperti ini? Dia bisa tiba-tiba membaik, lalu memburuk. Kalau sampai sesuatu terjadi, dan aku tidak...”

“Itu tidak akan pernah terjadi! Berhenti mengatakan sesuatu yang mengerikan seperti itu! Aku tidak ingin mendengarnya lagi.”

George terkesiap dan terpaku menatap Georgia, seolah dia baru sadar kalau yang dikatakannya bukanlah hal yang baik.

Aku mengusap rambutku kasar sebelum melangkahkan kakiku lebih dekat ke arah ranjang. “Kemarilah.”

Aku memutar bahunya sehingga dia menghadap tubuhku, sebelum akhirnya aku memeluk tubuh adik Georgia yang masih bergetar karena tangis.

“Sudah, berhentilah menangis. Georgia tidak pernah suka melihatmu menangis seperti ini.”

“Bisakah aku bertukar posisi dengannya? Aku lebih baik mati daripada melihat kakak seperti ini, sungguh.”

“Berhenti bicara omong kosong.”

Dia memilih diam dan melanjutkan tangisnya dengan tangan meremas kemejaku. Aku hanya bisa mengusap punggungnya menenangkan sembari menatap Georgia dalam.

Apa kau pernah melihat George serapuh ini? Tidak, kan? Apa kau bahagia melihatnya? Kuharap kau cepat bangun dan bisa memarahinya karena bersikap kekanakan seperti ini, sayang.

“Mulai besok kita kembali ke rutinitas kita, okay? Aku akan pergi bekerja, dan kau harus kuliah. Aku akan menempatkan beberapa orang untuk menjaga Georgia selama kita tidak ada di sini, dan kita bisa menjaganya saat sore.”

“Aku mengerti.”

Kuharap dengan keputusan ini, kami bisa sedikit menerima keadaan Georgia yang memang sepertinya terlalu lelah untuk bangun. Dengan terus berharap seperti itu, aku selalu memiliki harapan kalau dia akan bangun setelah menghilangkan rasa lelahnya.

Aku akan selalu menunggumu, Georgie. Bahkan walau aku harus menunggu lebih lama lagi.

.

MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang