“Jadi kau pergi dari rumah sejak 7 tahun yang lalu?”
Aku tidak menghentikan usapanku didahinya setelah mendengar pertanyaan itu. Sudah sebulan sejak kami berpacaran, dan baru hari ini aku berani membahas masa laluku dengannya. Kupikir tidak ada yang salah selama aku tidak menceritakan sesuatu yang akan membuatku merasa tidak nyaman.
“Ya. Aku baru saja lulus menengah atas waktu itu.”
Viktor mengubah posisi tidurnya menghadap wajahku. Mungkin dia menunggu cerita lebih lanjut dariku makanya dia hanya diam dan menatapku dalam.
Aku tersenyum kecil sebelum menatap ke layar televisi yang hitam, mencoba mengingat-ingat hari itu.
Entah berapa lama kami hanya berputar-putar didaerah yang sama sekali asing untuk kami. Akhirnya aku menarik tangan George untuk segera duduk disebuah kursi umum yang berada dipinggir jalan.
“Apa kau lapar? Kita bisa mencari makan lebih dulu sebelum kembali mencari tempat tinggal.”
George menatapku dengan bimbang sebelum mengalihkan pandangannya pada sebuah tempat makan yang berada tepat di belakang kami.
Aku tersenyum lembut dan mengusap rambut pendeknya. “Tenang saja, George. Kakak masih punya banyak untuk makan dan menyewa tempat tinggal. Jadi, kita makan atau mencari tempat tinggal dulu?”
Adik kecilku itu mengangguk kecil sebelum meminum air mineral ditasnya. “Kita cari tempat dulu, setelah itu makan. Bolehkah?”
“Tentu saja.” Aku bangkit dari dudukku dan meraih tas pakaian berukuran besar itu. “Ayo, kita harus menemukan tempat sebelum malam.”
George dengan cepat menautkan jemarinya padaku dan mulai mengikuti langkahku dengan kaki kecilnya. Aku tersenyum sedih mengingat keadaan kami yang benar-benar sendiri sejak hari itu. Seandainya saja George sudah lebih besar, dia pasti tidak akan kebingungan dan menyadari posisi kami.
“Kita akan ke agen saja. Sepertinya percuma saja kita berputar-putar sejak tadi.”
Setelah memutuskan hal itu, kami akhirnya mendapatkan sebuah flat kecil yang hanya berisi sebuah kamar kecil lengkap dengan ranjang dan lemarinya. Kamar mandi dan dapur mini juga tersedia didalam. Sebenarnya aku ingin mencari tempat tinggal yang lebih besar, tapi karena hanya flat itu yang sesuai dengan tabunganku, aku akhirnya menyewanya untuk setengah tahun ke depan.
“Sementara kita tinggal disini, okay? Kakak akan mencari kerja dan mengumpulkan uang, setelah itu kita akan mencari tempat tinggal yang lebih besar.”
“Ini sudah cukup, Kak. Kita bisa tidur sekamar, seperti sebelumnya.”
Mengetahui pikiran adikku yang mulai sadar dengan keadaan kami saat ini, aku tidak bisa menghentikan diriku untuk memeluk tubuh mungilnya dan terisak pelan.
“Maafkan kakak karena semua ini harus terjadi. Kakak akan berusaha keras untuk kita berdua. Jadi mulai saat ini, anggap saja kakak adalah ayah dan bunda untukmu, mengerti? Kita harus saling mengandalkan.”
George membalas pelukanku dan aku bisa mendengar isakan tertahan dari mulutnya. Dia seharusnya masih bisa bersenang-senang dengan anak-anak sekitar rumah, bermain setelah pulang sekolah dan melakukan hal yang lainnya. Tapi setelah semua ini terjadi, dia hanya bisa melakukan apa yang bisa kuberikan padanya.
“Tidak apa-apa, ada Kakak.”
.
“Baik-baik di sekolah, mengerti? Kakak akan menjemputmu nanti, jadi tunggu sampai kakak datang dan jangan pergi jauh-jauh. Janji?”
George mengangguk mengerti dan mencium pipi kananku. “Aku janji. Kakak tidak perlu terburu-buru, aku bisa bermain dulu nanti sambil menunggu urusan kakak.”
Aku tersenyum kecil dan mengusap kepalanya. “Baiklah. Jangan lupa makan siang dengan uang saku yang kakak beri, okay? Kakak pergi dulu.”
“Aku tahu. Hati-hati, Kak.”
Setelah melihat bocah itu masuk ke kelas barunya, aku berbalik dan segera berjalan ke arah kota. Hari ini aku sudah menyiapkan surat lamaran untuk mencari beberapa pekerjaan. Karena uang yang kutabung dan dikurangi biaya sewa flat, pendaftaran sekolah baru George dan seragamnya, mungkin hanya bisa untuk beberapa bulan kedepan. Mau tidak mau aku harus mulai mencari pekerjaan untuk menutupi pengeluarkan kami nantinya.
“Apa yang terjadi? Kenapa kalian harus pergi dari rumah?”
Aku tercekat napasku selama sesaat sebelum menunduk menemukan Viktor yang menatapku tidak paham. Tanpa sadar aku menceritakan semuanya. Tentang pembunuhan itu, dan kenyataan ayah yang seorang mantan kriminal dan hutangnya yang menyebar luas.
“Kalian tidak seharusnya mengalami itu. Kau masih muda, dan George hanyalah anak kecil.”
Aku tertawa sinis mendengar pembenarannya. “Apa yang bisa kita lakukan kalau berurusan dengan yang namanya takdir, Viktor? Aku tidak bisa memilih keadaan, bukan?”
Viktor meraih tanganku yang masih berada dikepalanya. “Kau baik-baik saja?”
“Yah, aku sudah melewati masa-masa itu, dan aku tidak ingin kembali terpuruk karenanya. Untuk apa aku menangis lagi, kan?”
Viktor tersenyum lembut dan mencium punggung tanganku. Aku hanya bisa memperhatikan perubahan di wajah Viktor yang awalnya sedih, kemudian marah, dan akhirnya mengerti.
“Itulah sebabnya kau menghindariku sejak awal.” Itu adalah pernyataan.
“Ya. Kau tahu maksudku sekarang.”
“Aku tidak akan melakukan hal-hal mengerikan seperti itu, sayang. Kau harus percaya padaku.”
“Bukankah dengan menceritakan masa laluku membuatmu sadar kalau aku sudah percaya padamu?”
Dia tersenyum lagi dan mengangguk kecil. “Kau benar.”
Aku tertawa kecil mendengar tingkah konyolnya. Selama sebulan ini, aku tidak lagi meletakkan tembok pembatas diantara kami. Dia setiap hari selalu datang ke café dan makan bersama kami. Bahkan setiap akhir pekan, dia akan membawaku dan George menghabiskan waktu diluar. Atau bahkan membantu kami dalam pembukaan cabang café.
Hari ini juga, George harus melakukan beberapa kegiatan di kampus, jadi Viktor yang sedang libur memilih menemaniku di rumah tanpa berniat untuk mengajakku pergi keluar.
“Oh ya, bagaimana kabar Katarina? Aku sudah lama tidak bertemu dengannya.”
Viktor mendengus tidak suka dengan bahan pembicaraanku kali ini. “Dia masih di London. Baru saja kembali dari honeymoon mereka, Keenan harus membawa adikku pergi lagi karena ada urusan pekerjaan.”
“Dia sudah bukan milikmu lagi, sayang. Kapan kau akan bersikap biasa tentang kehidupan mereka?”
“Princess tidak pernah menemuiku lebih dari 5 jam karena Keenan yang selalu memaksa Katarina selalu disampingnya. Aku sebagai kakaknya berhak untuk protes, kan?”
Aku mengangkat alisku dengan menggoda sebelum mengangkat kepalanya untuk bersandar pada bantal. Punggungku sudah lelah karena sejak tadi dia memaksa tidur dipangkuanku. Akhirnya aku memilih berbaring disebelahnya dan memeluk boneka penguin milikku.
“What about you?”
“Maksudmu?” Viktor miring menghadapku dan menumpu kepalanya dengan sebelah tangan.
“Kalau George cemburu dengan kedekatan kita, apa yang akan kau lakukan?”
“Tentu saja aku akan mengusirnya.” Dia terlihat sebal sebelum akhirnya paham dengan maksudku. Dia mengusap pelipisnya dengan malu dan menghempaskan kepalanya ke bantal. “Kau benar. Ah, menyebalkan sekali.”
“Makanya jangan terlalu posesif. Adikmu sudah memiliki keluarganya sendiri, dan kau juga akan memilikinya suatu saat nanti. Bukankah lebih baik kalau kau mulai terbiasa dengan semua itu?”
Viktor menatapku sebentar sebelum menatap langit-langit kamar dengan kesal. “Tetap saja.”
Aku terkekeh pelan dan meraih handphone di nakas. George mengirimiku pesan kalau dia akan pulang lebih sore nanti. Sepertinya banyak kegiatan yang harus dia urus hari ini.
Got it. Jangan lupa makan siang, and be careful.
“Siapa?”
“George, dia bilang akan pulang sore.”
Saat melihat nama kontak Katarina, aku menatapnya sedikit lebih lama. “Bagaimana kalau aku menelpon Katarina? Sudah lama sejak terakhir kali kami berbicara.”
“Go on, anggap saja aku tidak di sini.”
Aku mengangguk kecil dan menghubungi nomor Katarina. Seharusnya di sana sudah pagi. Setelah menekan tombol loudspeaker, aku meletakkan handphone di atas ranjang.
Terdengar nada sambung selama beberapa kali sebelum suara lembut itu menjawab. – Hello? Kak Georgia?-
“Hai, sweety. Bagaimana kabarmu? Kudengar kau berada di London saat ini.”
-Iya, Kak. Keenan bilang masalah di sini lebih serius dari yang dia pikir, jadi kami tinggal di sini untuk sementara.-
Aku menatap Viktor yang mencebikkan bibirnya seperti anak kecil. Dia pasti semakin kesal setelah mendengar jawaban langsung dari Katarina.
“Benarkah? Di mana pria itu sekarang?”
Suara helaan napas di sana membuatku sadar kalau Keenan sedang pergi. - Dia sedang rapat direksi. Tadi dia berangkat pagi sekali, sepertinya sangat mendesak. Entahlah, dia belum menghubungiku lagi.-
Viktor terlihat marah, mungkin karena Keenan tidak menemani adiknya di negeri orang itu.
“Begitu ya? Kalau begitu kau mengobrol saja denganku, daripada kesepian karena suamimu, kan?”
Tawa kecil itu membuat kami tersenyum. - Benar. Sebenarnya aku sudah ingin menelpon Kakak beberapa hari yang lalu, tapi Keenan tidak ingin waktunya diganggu, jadi aku tidak bisa menghubungi siapapun. Bahkan Kak Viktor juga tidak menelponku sama sekali.-
Aku mengangkat alisku dan menatap Viktor penuh selidik. “Benarkah? Aku akan menasihati pria tua itu nanti, jadi dia akan menghubungimu.”
Setelah mendengar gumamannya, aku melanjutkan. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”
-Hmm, sebenarnya aku tidak begitu yakin untuk menanyakan hal ini.- Dia terdengar ragu tapi tetap melanjutkan apa yang ingin dia katakan. - Apa menurut kakak aku akan hamil dalam waktu dekat? Aku takut kalau masalah menstruasiku mungkin akan mengganggu rahimku.-
Suaranya terdengar tidak yakin dan takut, jadi aku memilih untuk mencoba menenangkannya. Viktor juga sudah mengernyitkan dahinya dengan bingung dan marah mungkin.
“Apa Keenan sudah membicarakan masalah kehamilan padamu? Pernikahan kalian masih seumur jagung, sweety, kurasa hal itu bisa dimaklumi.”
-Keenan tidak pernah membahas tentang ini, aku hanya merasa khawatir. Apakah mungkin?-
Viktor menghembuskan napasnya dengan lega, karena aku tahu kalau dia sempat berpikir Keenan yang mungkin memaksa Katarina berpikir seperti itu.
“Sweety, anak adalah titipan dari Tuhan. Kakak yakin kalau suatu saat nanti kalian akan memilikinya. Mungkin memang bukan sekarang tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi dimasa depan, kita hanya bisa berdoa dan menyerahkannya pada Tuhan. Bisakah kau melakukannya?”
Suara isakan tertahan itu membuatku merasa sedih. Katarina masih muda dan aku yakin kalau dia bisa hamil, walau tidak dalam waktu dekat ini. Lagipula hasil pemeriksaan dokter mengatakan tidak ada masalah dengan rahim dan kesehatannya. Jadi, besar kemungkinan dia akan memiliki anak, kan?
“Kate, sweety. Kau baik-baik saja?” Aku mengusap pipi Viktor saat dia mulai merasa bersalah. Mendengar isakan Katarina memang terasa menusuk hati kami.
-Ya, aku hanya merasa sedih.-
“It'll be fine, trust me. Kau tidak boleh terus berpikir seperti itu, mengerti? Kesehatanmu nomor satu.”
-Hiks, aku ingin memiliki anak. Bagaimana, kalau aku tidak pernah hamil?-
“Jangan bicara seperti itu. Masa depan ada ditangan Tuhan, jadi kita hanya perlu berdoa dan berusaha keras, okay?”
Gelak tawa itu mendesak isakan Katarina. Dia pasti terkejut dengan ucapanku. Berusaha keras? Maksudnya dia harus bercinta setiap saat, begitu?
-Kakak! Vulgar sekali.-
Aku terkekeh pelan dan mengusap sudut mataku yang berair. “Yang penting kau tidak sedih lagi. Jadi, merasa lebih baik setelah membicarakannya?”
-Hmm, better. Thank you.-
“Never mind, lain kali…”
-Baby, what’s wrong? Kenapa kau menangis? Ada yang sakit? Kau baik-baik saja?-
Aku menatap Viktor yang terpaku sebelum akhirnya kami berdua tertawa. Keenan tidak tahu sama sekali kalau telepon kami masih terhubung.
-Hei, what’s wrong? Tell me, baby. Apa aku menyakitimu? Apakah aku melakukannya terlalu kasar tadi?-
Wajahku terasa memanas mendengar perkataan frontal itu. Mungkinkah mereka selalu membicarakan hal seperti itu saat hanya berdua di kamar?
-Tidak, Kee. Aku baik-baik saja, hanya merindukan Kakak. Bolehkan aku menelponnya?-
Aku terkekeh mendengar alasan tidak masuk akal Katarina. Seharusnya dia membicarakan hal itu dengan Keenan, tapi dia seperti tidak ingin membahasnya sama sekali.
-Tentu saja boleh. Kapan aku melarangmu menelpon Viktor? Kau bisa menghubunginya kapan saja, asal tidak saat kita sedang bercinta.-
Jawaban frontal lagi. Aku sudah ingin mematikan sambungan telepon saat tangan Viktor mencegahku. Aku mengangkat sebelah alisku melihat tingkahnya. Tapi dia hanya menyeringai dengan konyol.
-Kita akan menghubunginya nanti. Sekarang, aku harus membuatmu merasa lebih baik dulu. Apa yang harus kita lakukan, hmm? Sepertinya kau tahu maksudku, baby. Pintar sekali.-
Dan setelah itu hanya terdengar suara desahan dan erangan, sebelum akhirnya aku mematikan sambungan dengan pipi memanas. Menguping orang bercinta bukanlah hal baik, kan?
“Kenapa dimatikan?”
“Kau ingin mendengar adikmu bercinta? Yang benar saja”
Viktor menyingkirkan handphone ke nakas dan menarik tubuhku menempel padanya. Aku menahan dadanya saat dia maju untuk menciumku. “Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku ingin menciummu, sayang. Kenapa?”
“Are you horny right now?” Tatapan selidikku membuatnya menyeringai konyol. Aku mendengus kecil dan menjitak dahinya. “Yang benar saja. Sekarang apa yang ingin kau lakukan?”
“Hanya mencium, Georgie. I promise. Please?”
Akhirnya aku memilih mengalah dan kami mulai berciuman. Bukan ciuman yang lembut atau penuh perasaan, tapi sebuah ciuman menuntut yang membuatku terhanyut. Kami memang sering make out seperti ini, dan tidak pernah lebih dari ciuman dan usapan pada tubuh. Walau bagaimanapun kami tahu batasan, kan?
Dan setelah cukup puas dengan perang lidah, Viktor mulai menciumi rahang dan leherku. Aku menggigit bibirku sendiri untuk menghindari desahan yang selalu membuat Viktor bertindak lebih jauh dari biasanya.
Aku menarik lepas kaus yang dipakainya dan mengusap perut terpahat itu. Viktor menggeram dan menurunkan tali cami dress yang kukenakan. Dia mengecup tulang selangkaku sebelum berakhir dengan menenggelamkan wajahnya dipuncak dadaku.
“Viktor.”
Dia menarikku sehingga dia berada diatas tubuhku. Aku hanya bisa mendesah kecil saat dia mulai mencium dadaku yang mengintip dari sela dress. Tanganku bergerak dengan gelisah dipunggungnya saat gairah itu mulai membakar tubuhku.
“Viktor. We need…”
Tanpa mendengarkan ucapanku, dia membungkam mulutku dengan bibirnya dan kami kembali beradu bibir. Tangannya dengan lembut meremas dadaku membuatku melenguh dalam ciumannya.
Kemudian hembusan napas kami saling beradu dan aku berpegang pada bahunya. Mata Viktor berkilat penuh gairah dan aku tahu kalau dia berusaha keras menahannya untukku.
Tanpa mengatakan apapun, dia memeluk tubuhku dan memutar tubuh kami sehingga aku berada diatasnya. Aku menyandarkan kepalaku didada telanjangnya dan memejamkan mata. Detak jantungnya yang cepat membuatku menghangat.
“Haruskah kita menikah saja?”
Deg!
Aku membuka mataku dengan terkejut. Menikah bukanlah hal yang kuinginkan saat ini, dan tidak seharusnya Viktor membahas itu bersamaku. Dia seharusnya sadar kalau aku tidak ingin membicarakan hal itu saat ini.
“Georgie?”
“Viktor, kau tahu…”
Helaan napas itu membuatku merasa bersalah. Aku tahu pasti kalau umur Viktor sudah sangat pantas untuk memikirkan pernikahan, dan fakta kalau dia mencintai gadis sepertiku membuatnya harus menunda keinginannya.
“Baiklah, maafkan aku. Kita tidak akan membahasnya lagi.”
Aku berusaha melepas pelukannya dan duduk, tapi Viktor tidak ingin mengurai dekapannya sama sekali. Akhirnya aku mengalah dan tetap dalam posisi kami ini.
“Ceritakan lagi tentangmu, semuanya. Itu hukuman karena kau tidak ingin membicarakan tentang itu.”
Tanganku bergerak mengusap dadanya, berusaha untuk menenangkan perasaannya. “Haruskah aku melakukannya?”
“You have to.”
Akhirnya aku menghela napas dan memeluk tubuhnya. Aku tahu sebesar apapun rasa cintaku padanya, menikah bukanlah sesuatu yang kuinginkan dalam waktu dekat ini.
“Sayang.”
“Hmm? Tanyakan saja, aku akan menjawabnya.”
Viktor terdiam, tangannya bermain dengan untaian rambutku. Aku ingin menatapnya, tapi dia tidak juga melepas pelukan kami.
“Apa saja yang kau kerjakan sebelum menerima beasiswa kuliah itu? Aku tahu kalau bukan hal yang mudah untuk menghidupi kalian berdua, saat itu.”
Aku menarik napas dengan perlahan sebelum mengingat-ingat hari penuh perjuangan itu.
“Kakak yakin akan berangkat kerja sekarang? Ini sudah malam, dan kakak terlihat pucat.”
Aku menyelesaikan ikatan sepatu kets usang milikku dan menatap George penuh pengertian. “Iya, baby boy. Kakak pucat karena tidak memakai make up, dan pekerjaan malam ini lumayan untuk kita.”
“Tapi ini hari Sabtu. Apa kakak tidak bisa istirahat saja malam ini?”
Setelah meraih ransel cokelatku, aku mengusap kepala George dan mencium pelipisnya lama. “Karena ini Sabtu, makanya kakak harus bekerja. Mereka membayar kakak dua kali lipat saat akhir minggu, jadi kakak tidak ingin melewatkannya.”
George menarik bibirnya ke bawah dengan lucu, membuatku terkekeh kecil. “Sudahlah, lain kali saja kita bermain, okay? Tidak perlu menunggu kakak pulang, langsung tidur saja.”
“Baiklah. Hati-hati, mengerti?”
“Aye, Sir.”
.
Jika bagi kebanyakan orang akhir pekan adalah segalanya, bagiku akhir pekan adalah neraka dunia. Aku bekerja dua kali lebih banyak disaat kebanyakan orang sedang bersenang-senang.
Pada jam subuh aku mengantarkan susu dan koran dibeberapa kompleks, kemudian kembali ke flat untuk memasak sarapan dan makan siang George. Sekitar jam 8 pagi, aku langsung menuju restoran untuk menjadi waitress, mungkin sampai sekitar jam 5 sore.
Waktu istirahatku hanyalah disela-sela waktu jam kerja parttimeku. Dan setelah aku menghabiskan beberapa jam bersama George tadi, akhirnya aku harus berangkat ke restoran lain sebagai buruh cuci. Dan karena bayarannya yang besar, aku tidak jadi mengeluh tentang tanganku yang menjadi keriput karena air.
Nanti setutupnya restoran, aku akan pergi ke coffee shop sebagai barista bayaran.
Walau mungkin orang berpikir aku bekerja seperti orang gila, aku tidak mempedulikannya. Kalau dengan melakukan banyak pekerjaan sekaligus membuatku memiliki tabungan yang cukup, aku tidak akan mengeluh. Walau mengambil 2 pekerjaan saja sudah mendapat cukup untuk kebutuhan sebulan, aku masih akan melakukan pekerjaan lainnya untuk menambah tabunganku.
Tabungan sekolah milik George, tabungan untuk menyewa apartemen kecil, dan tabungan untuk aku meneruskan mimpiku nantinya. Cukup banyak tabungan yang harus kuisi, jadi aku harus bekerja dengan lebih keras lagi.
“Kau bekerja sebanyak itu?”
“H-mm. Ambisiku cukup besar, jadi tidak ada yang bisa menghentikanku walaupun tubuhku sekalipun.”
Geraman tertahan itu membuatku mendongakkan kepalaku untuk menatap tersangka. “Ada apa?”
“Kau menyakiti tubuh milikku, Georgie. Bagaimana kau bisa bekerja sebanyak dan sekeras itu dengan tubuh mungil ini?!”
Aku tergelak dan kembali menyandarkan kepalaku ke dadanya. “Apa lagi yang bisa kulakukan?”
“Tetap saja.”
“Hidup itu kejam, sayang. Tidak akan ada yang peduli walaupun aku dan George tidur dipinggir jalan. Tidak akan ada yang peduli walaupun aku menangis meraung-raung. Kau tahu kenapa?” Tidak ada jawaban dari Viktor, dan aku memilih melanjutkan. “Karena mereka hanya peduli dengan kehidupan mereka sendiri. Dan aku tidak akan menyalahkannya karena memang kenyataannya seperti itu. That’s why, bekerja dan mendapat uang adalah prioritasku saat itu.”
Dia mencium puncak kepalaku dengan lembut. “Itulah kenapa George begitu manja padamu saat ini.”
Aku tersenyum saat mengingat George yang menjadi lebih manja akhir-akhir ini. “Kau benar. Waktu itu aku tidak memiliki banyak waktu untuk kubagi bersamanya, dan dia juga menjadi lebih mandiri. Tapi saat aku sudah menyelesaikan kuliahku, dia tidak pernah tidur tanpaku sampai café ini selesai dibangun.”
Kekehan itu keluar dari mulut Viktor. “Pantas saja. Aku masih sering melihat kalian tidur bersama. Bukankah George sudah menghentikannya sejak kita berpacaran? Sekarang justru semakin menjadi.”
“Dia hanya tidak ingin kehilanganku, lagi.”
Untuk beberapa saat kami hanya terdiam. Aku memutuskan untuk turun dari atas tubuhnya dan hanya bersandar didadanya. Detak jantung yang seirama milikku itu membuatku merasa nyaman.
“Dan selama kau kuliah, siapa yang merawat George?”
“Tidak ada. Dia sendirian di sini, dan aku hanya bisa rutin mengiriminya uang untuk semua kebutuhan.”
“Kenapa kau tidak menitipkannya di panti sosial? Bukankah akan lebih aman seperti itu?”
Viktor menatapku dengan kening berkerut bingung. Well, aku tahu kenapa dia sangat penasaran dengan itu.
“Aku sudah menawarinya, tapi George bersikeras ingin tinggal sendirian di sini.”
“Kenapa?”
“Dia bukan anak yang mudah bergaul, kau tahu. Aku sempat khawatir saat pertama kali dia masuk sekolah baru. Dia terlihat pendiam, dan kupikir tidak akan ada banyak anak yang ingin mendekatinya. Tapi, dia menjelaskan padaku kalau dia benar-benar tidak ingin berada di panti sosial. Aku bisa apa selain mengiyakan saat melihat puppy eyes-nya itu?”
Dengusan itu membuatku tergelak dalam tawa. Aku tahu apa yang sedang dipikirkannya, karena kami mengenal George dengan sangat baik. Dan saat mendengar dengusan itu, Viktor pasti sedang teringat dengan bocahku itu.
“Aku bisa membayangkannya dengan baik, sungguh.”
“Aku tahu.”
“Tapi, sayang…”
“Hmm?”
“Kenapa kau tidak pernah kembali ke Indonesia sebelum kuliahmu selesai?”
Aku terdiam sesaat. Usapan dikepalaku itu tidak berhenti, seolah menandakan kalau Viktor sedang menunggu jawaban dariku dengan sabar.
“Kupikir menabung adalah tujuan utamaku saat itu, apalagi biaya tiket pesawat tidaklah murah. Jadi, selama 3 tahun kepergianku, aku tidak pernah kembali ke Indonesia untuk berlibur atau sekadar menjenguk George.”
“Bukankah waktu itu kau berteman dengan Keenan? Kenapa kau tidak meminjam uangnya?”
Aku mendengus dan menjauhkan wajahku dari dadanya. Kutatap dia dengan pandangan ‘kau tahu aku’. “Memangnya aku akan meminjam uang hanya untuk pulang? Mana mungkin. Walau kami berteman baik, aku tidak pernah meminjam ataupun memakai uangnya dengan seenaknya.”
Viktor mengangguk setuju sebelum menatap langit-langit kamar. “Kau benar. Aku bahkan sampai mengusap dada karena sifat keras kepalamu itu. Tapi, bagaimana rasanya harus berpisah dengan George selama 3 tahun? 12 tahun sangatlah sulit, dan aku tahu kalau 3 tahun bukanlah waktu yang singkat.”
“Kau yang paling tahu bagaimana rasanya, Viktor. Tapi bedanya adalah, aku masih bisa menghubungi adikku dan mengetahui kalau dia baik-baik saja. Sedangkan kau? Kupikir mengetahui kalau Katarina hidup saja sudah sebuah anugerah.”
“Kau memang benar, selalu benar.”
Dan untuk beberapa waktu kemudian, kami hanya berbaring di ranjang dan berakhir tidur.
.
.
.
“Kak?”
Aku mengerjap dengan cepat dan terduduk. Kenapa George berteriak? Ck, bahkan pintu kamarku tidak tertutup.
“Apa!”
Suara langkah itu mendekat, dan George muncul dengan masih memakai setelan kuliahnya. Aku mengernyit dan melirik jam digital di nakas. 17.20
“Sore sekali, George.”
Dia hanya menyeringai dan melirik ranjangku. Aku mengikuti pandangannya dan menemukan Viktor yang sedang telungkup, sepertinya dia masih tertidur.
Dengan cepat aku melirik George dan Viktor. “Kami tidak melakukan apapun, George. Sungguh!”
Melihat seringaian mesumnya membuatku bergidik ngeri. Aku dengan cepat bangkit dan mendorong George keluar dari kamar, takut menimbulkan keributan yang akan mengganggu waktu tidur Viktor.
“What the hell, Kak?”
“Kau akan mengganggu Viktor.”
Tawa kecilnya itu mengiring kami ke kamar tidurnya. Aku berkacak pinggang dan memperhatikan George melepas sepatunya.
“Seringaian apa itu? Kakak tidak melakukan apapun dengan Viktor. Kau tidak percaya?”
“Lagipula, siapa yang mempermasalahkannya? Aku tidak masalah kalau kakak sudah tidur dengan Kak Viktor.”
Aku membelalak malu dan mengacak rambutku. Kami tidak pernah membicarakan hal dewasa seperti ini, karena aku selalu menganggap George adalah anak kecil. Dan saat dia tiba-tiba membicarakannya, kenapa aku yang merasa malu?
“Ck, terserahlah.”
Kutinggalkan George untuk kembali ke kamarku. Viktor masih bergeming diatas ranjang, membuatku mengernyit karena menurutku tidak biasanya dia tidur selama itu. Mungkin akhirnya dia mendapatkan tidur nyenyaknya.
Setelah meraih pakaian ganti dilemari, aku masuk ke kamar mandi dan menguncinya. In case, Viktor tiba-tiba masuk dan melihatku telanjang. Yah, walaupun kami sudah sering make out, tapi kami belum pernah sampai telanjang. Bahkan melihatnya telanjang dada saja masih sering membuatku berdebar-debar.
Tanpa memakan waktu yang lama, aku sudah mengganti pakaianku dengan sepasang piyama tidur berupa tanktop croptop dan celana pendek. Tadi kami sudah membahasnya, dan tidak ada acara keluar malam nanti, karena kami bertiga akan pergi jalan-jalan besok. Jadi, aku hanya akan memakai baju tidur.
“Georgie, sayang?”
Kulempar handuk basah ke keranjang pakaian kotor dan membuka pintu kamar mandi. Viktor sudah terduduk di ranjang dengan tangan mengusap matanya yang masih mengantuk.
“Kau sudah bangun?”
“Kau sudah mandi. Kenapa tidak membangunkanku?”
Aku berjalan ke arahnya dan memberinya ciuman dibibir. “Kau terlihat nyenyak sekali. Lumayan, kan? Kau akhirnya tidur dengan benar.”
Viktor menarik tanganku dan membuatku terduduk dipangkuannya. Dia membawaku dalam rengkuhannya dan mencerukkan wajahnya dileherku.
“You smell so good.”
“Kalau begitu mandilah, kau bisa memakai sabun dan shampoo milik George. Atau kau ingin memakai milikku?”
Kekehan itu membuatku geli. Hembusan napasnya membuat bulu kudukku meremang dan itu tidak baik. Aku menyusupkan jemariku ke rambutnya dan menariknya pelan sehingga dia menjauhi leherku.
“Ada apa, hmm? Kita bisa melakukan ini nanti, setelah kau mandi dan makan. Bukankah kau bilang ingin menonton film di home theater ku?”
Dia memberengut dan mengangkat tubuhku saat dia bangkit dari ranjang. Aku meremas pantatnya dengan jahil saat melihatnya masih cemberut. Dia hanya membelalakan matanya dan akhirnya tertawa.
“Kau mulai nakal, ya? Kita lihat nanti apa yang bisa menjadi hukumanmu.”
Aku menyeringai dan meninggalkannya di kamar. Biarkan dia melakukan apa yang dia mau, aku akan menyiapkan makan malam.
Saat melihat kamar George terbuka, aku memeriksanya sebentar, dan dia tidak ada dikamarnya. Suara air dikamar mandi dapur membuatku tahu kalau dia sedang mandi.
Tanpa ingin mengganggunya, aku berbelok ke dapur dan memeriksa bahan makanan dikulkas untuk makan malam. Seingatku aku belum sempat untuk berbelanja dan hanya ada beberapa bahan sederhana di kulkas. Tapi setidaknya masih ada daging sapi untuk kupanggang.
Makanan sudah siap diatas meja dan kedua priaku itu belum juga selesai mandi. Akhirnya aku memilih mengangkat pakaian yang kujemur dibalkon dan meletakkannya di ruang cuci. Belakangan ini sering turun hujan, jadi aku hanya bisa mencuci saat cuaca sedang bagus.
Setelah memilah pakaian untuk disetrika dan kain-kain yang lebar, aku menutup pintu balkon dan menguncinya. Hampir saja hujan, dan aku bersyukur karena sudah menyingkirkan cucianku.
“Kakak? Ayo makan!”
Suara George yang keras membuatku sedikit terlonjak. Aku jadi heran kenapa dia berubah seperti anak kecil belakangan ini. Biasanya dia tidak pernah berteriak atau tiba-tiba masuk ke kamarku untuk tidur bersama. Tapi sejak aku memiliki hubungan dengan Viktor, dia kembali dengan sifat lamanya, sebelum kepergianku kuliah. Mungkinkah ini sesuatu yang baik?
“Ya, I’m coming.”
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)
RomansaCerita ini tentang Georgia Alexander (25), gadis dengan semua kenangan masa lalunya. Setelah menghadapi segala penderitaan hidupnya, dia bertemu dengan Viktor Junior Black (29), seorang CEO yang dianggapnya bodoh. Perjalanan kisah mereka menjadi cob...