Chapter 7

1K 56 0
                                    

“George?”

Dia masih tetap diam sejak kami kembali dari rumah sakit beberapa jam yang lalu. George mengabaikanku dan hanya berdiam diri dibalkon. Aku terus mencemaskannya sejak tadi, tapi dia seolah tidak melihat apa yang sedang kucoba lakukan. Kurasa semua ini lagi-lagi karena kebohonganku.

Kali ini, aku menunggunya di kursi meja makan. Bahkan setelah aku berendam cukup lama, dia masih saja bergeming ditempat yang sama. Aku memutuskan meninggalkannya ke bawah setelah beberapa waktu aku duduk di sana. Kalau dia memutuskan untuk berdiam diri, aku tidak bisa melakukan apapun selain membiarkannya sampai dia lelah.

“Kenapa kau turun lagi?”

Aku menoleh setelah menuruni tangga. Sarah dengan lap ditangannya menatapku dengan dahi berkerut. Aku memutuskan mendekatinya dan mendudukkan pantatku di kursi bar yang kosong. Aku menopang daguku dan menatapnya penuh rasa penasaran.

“Bagaimana caranya agar seseorang berhenti mogok bicara?”

“Apa ini tentang George?”

Aku mengangguk kecil sebelum mendesah lelah. Walau bagaimanapun, semua ini adalah salahku. Kalau aku tidak menyembunyikan apapun padanya, dia tidak akan bersikap seperti ini. Tapi semua orang pasti berbohong karena suatu alasan. Jika berbohong menjadikan semua keadaan menjadi lebih terkendali, tidak ada salahnya kan? Karena memang berbohong terkadang dibutuhkan.

“Kalau kau ingin tahu, aku tidak pernah bisa memahami sifat adikmu itu. Bahkan setelah mengenalnya selama 2 tahun. Terkadang dia menggemaskan, tapi juga menyebalkan, dan bahkan sulit untuk dimengerti. Memang sulit, kan?”

“Sometimes, I don’t know.”

“Kau ingin es latte? Sepertinya kau butuh sesuatu yang dingin.”

“Yes, please.”

Kembali, aku hanya menyandarkan daguku ditangan dan memperhatikan Sarah yang sibuk dengan peralatannya. Pikiranku kembali melayang ke masa kuliahku. Aku bisa membiasakan diriku dengan kondisi di sana dalam beberapa minggu. Flat kecil yang tidak jauh dari kampus, dan lingkungan yang memang sepi, dimana aku sangat menyukainya.

Semuanya berjalan lancar selama beberapa bulan. Kuliahku berjalan dengan baik, bahkan terkesan memuaskan, pekerjaan yang membuatku mendapat cukup banyak uang untuk kutabung, dan juga beberapa teman yang membantuku menjalani hariku di sana. Walau aku tidak pernah memiliki waktu luang untuk hang out bersama mereka karena pekerjaanku, mereka masih setia membantuku dalam banyak hal.

Kemudian setelah hari-hari menyenangkan itu, aku mulai merasakan resah, panik, dan cemas. Saat itu aku sedang berada di flat setelah pekerjaan terakhirku. Entah apa yang menyebabkanku mengalami itu, tapi tiba-tiba saja aku sudah terjatuh dan semua rasa itu menyerbuku. Bayangan George yang masih kecil menjalani kehidupannya sendiri, tidak ada yang membuatkannya makanan atau bekal, membersihkan apartemen sendirian, dan berjuang saat sakit.

Awalnya kupikir aku hanya sedang kelelahan karena semua pekerjaan dan kegiatan kuliah, tapi ternyata serangan panik itu tidak hanya terjadi satu kali. Dan setelah serangan panik yang ketiga, aku mencoba untuk berkonsultasi pada dosenku. Kucoba semua yang disarankannya untuk menjadi lebih baik, tapi itu hanya sementara. Aku masih terus mencemaskan banyak hal, terutama adikku yang tinggal sendiri.

Dan sebelum masa kuliahku habis, serangan itu terjadi sekali saat aku sedang bersama dengan Keenan di pusat kota. Aku menemani Keenan berbelanja beberapa barang untuk tugas kuliahnya dan kejadian itu terjadi begitu saja. Serangan panik menyerbuku saat kami baru saja akan menyeberang jalan. Keenan yang memang selalu memperhatikanku setiap akan menyeberang jalan menarikku ke trotoar, tepat sebelum sebuah sedan menghantamku.

Aku begitu panik sampai seluruh tubuhku bergetar. Keenan berusaha menenangkan selama beberapa menit yang terasa mencekam. Saat aku sadar, Keenan menatapku marah dan cemas. Dia memarahiku karena tidak pernah mengatakan apapun tentang serangan panik yang sudah terlalu sering kualami itu. Dia memaksaku untuk ke rumah sakit, tapi aku menolak dengan keras. Aku hanya merasa masih bisa mengatasinya, walau sudah jelas kalau aku memerlukan semua penanganan itu.

“Georgia!”

Aku tersentak dan hampir saja membenturkan daguku ke meja kalau saja aku tidak cepat tersadar. Aku menatap Sarah yang melihatku dengan mata kesalnya.

“Apa saja yang kau lamunkan? Aku sudah memanggilmu ratusan kali.”

Aku terkekeh pelan dan meraih gelas latteku. Kuteguk beberapa kali sebelum kembali menaruh perhatianku pada Sarah. “Ada apa dengan tatapanmu itu?”

“Kurasa kau lebih baik menyelesaikan masalahmu dengan George sebelum malam. Dia sangat menyayangimu, percayalah. Kuyakin dia tidak akan marah terlalu lama padamu.”

“Aku tahu. Tapi kurasa lebih baik untuk memberinya waktu, setidaknya untuk sekarang. Aku akan berbicara dengannya nanti.”

“Semuanya terserah padamu.”

Aku mengangkat bahuku kecil dan menghabiskan latteku. Mungkin setelah ini aku bisa memasak makan malam dan membicarakan masalah yang membuat George terus diam. Entah apa yang akan terjadi kalau dia terus mendiamkanku seperti ini.

“Aku ke atas dulu. Terima kasih untuk lattenya.”

“Good luck, Georgia.”

“Yup.”

Setelah meletakkan gelas kotor ke tempat cuci, aku naik ke atas dan menuju dapur. Bahkan dari dapur, aku masih bisa melihat George duduk di balkon. Kurasa dia sudah terlalu lama berada di sana. Sebentar lagi hampir gelap, aku tidak ingin mengambil resiko dia terkena angin malam dan berakhir sakit.

“Tidak ada banyak waktu untuk memasak, I guess.”

Dan akhirnya beberapa menit berlalu sampai aku menyelesaikan masakanku. Aku mencuci tanganku diwastafel dan kembali melirik balkon. George sudah tidak ada di sana, dan aku tidak menyadari pergerakannya. Kuseka tanganku dengan cepat dan beranjak ke kamar adikku itu.

“George?”

Karena tidak mendengar suara apapun, aku membuka pintu kamarnya, tapi tidak ada siapapun di sana. Di mana dia? Kupikir dia ada dikamarnya.

Kemudian saat aku mendengar langkah kaki di belakangku, aku tahu kalau George baru saja dari kamarku. Kubalikkan badanku dan menatap George yang terlihat sangat marah. Aku melirik tangannya yang sedang memegang handphoneku. Apa yang dia lakukan dengan handphoneku?

“George…”

“APA MAKSUD SEMUA INI?!”

Aku menatap George dengan bingung saat dia menunjukkan layar ponselku yang menampilkan kotak pesan. Kenapa dia membentakku seperti itu?

-Terima kasih karena sudah melunasi hutangku. Dan untuk jatah bulan ini.-

Sial. Ayah tidak pernah menghubungiku bahkan setelah aku mengirimi semua uang itu. Dan tiba-tiba saja dia mengirimiku pesan dan George menemukannya. Dan aku tahu pasti kalau dia sudah melihat semua pesan dari ayah yang selalu meminta uang padaku.

“George, kakak…”

“KAKAK BILANG TIDAK PERNAH MENGHUBUNGINYA LAGI!! KAKAK BAHKAN MEMBERI ORANG ITU UANG?! DAN MELUNASI HUTANGNYA?! ITUKAH KENAPA KAKAK MENJUAL MOBIL KAKAK?”

“George, dengarkan penjelasan kakak dulu, …”

George meletakkan handphoneku ke meja disampingnya dengan marah. Aku tidak pernah melihatnya sampai semarah ini. Dia tidak pernah marah padaku, dalam hal apapun. Dan sekarang, dia terlihat begitu menyeramkan dengan kemarahannya.

“Kakak menyembunyikan semua hal dariku. Sekarang kakak pikir aku akan percaya dengan semua penjelasan kakak? KAKAK BERBOHONG PADAKU. Kakak berkata satu hal, dan melakukan hal yang lainnya. Kakak berjanji padaku untuk tidak pernah menghubungi orang itu, tapi lihat apa yang kakak lakukan sekarang. YOU LIE TO ME, all this time.”

Aku berusaha meraih tangannya tapi dia menepisnya dengan cepat. Mataku berkaca-kaca saat melihatnya seperti ini. Dia tidak pernah membentakku sekeras ini ataupun terlihat sangat marah. Dia tidak pernah membuatku merasa takut seperti saat ini. Dan semua itu terasa sangat mengerikan.

“George, kakak mohon. Dengarkan dulu…”

“Aku tidak ingin mendengar apapun. Kakak yang memilih semua ini. Berbohong tentang keadaan kakak. Berbohong tentang orang sialan itu. Dan kurasa kakak sudah berbohong cukup banyak untuk membuatku mau mendengarkan penjelasan apapun itu.”

Dia melewatiku dan menutup pintu kamarnya dengan kasar. Suara putaran kunci itu menyadarkanku. Aku mencoba membuka pintunya, tapi sudah terkunci. Dengan panik, aku mengetuk pintunya keras. Semua ini tidak seharusnya terjadi. Bukan ini yang kuinginkan.

“George, tolong… buka pintunya. Biarkan kakak berbicara.”

Aku tidak mencoba menghalau air mata frustasiku lagi. Aku mencoba mendorong pintunya, tapi tenagaku tidak cukup untuk merusaknya. Bahkan dengan semua air mata yang masih mengalir, kekuatanku seolah pergi. Aku hanya bisa memegang handel pintu dan memutarnya dengan kasar. Tapi seolah semua hal mendukung tindakan George, aku tidak membuat perubahan apapun pada pintu sialan ini.

“George. Maafkan kakak.”

Tidak ada suara apapun dari dalam kamarnya, dan itu membuatku takut. Bagaimana kalau George pergi dari sini? Bagaimana kalau dia melakukan sesuatu yang ceroboh atau berbahaya? Bagaimana kalau dia tidak akan pernah mau mendengarkan penjelasanku? Apakah dia akan memaafkanku? Apakah dia akan tetap tinggal disisiku?

Rasa panik yang luar biasa itu mulai menyerbuku. Aku terhuyung ke kanan dan menabrak vas bunga yang tepat berada disampingku. Suara vas itu jatuh dan pecah tidak membuatku terkejut. Aku hanya terkejut dengan rasa panik yang masih menyerbuku. Tubuhku terasa lemas dan napasku terasa sesak. Serangan panik kembali menghantuiku, dan itu sangat menakutkan.

Tubuhku terjatuh di lantai dan semua yang bisa kulihat hanyalah bayangan George pergi meninggalkanku dan dia tidak menoleh sama sekali untuk menatapku. Aku menekan dadaku yang terasa sakit dan terisak pelan.

MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang