Chapter 8

882 55 0
                                    

“Viktor?”

Dia menatapku terkejut sebelum akhirnya tersenyum lembut. “Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”

“What’s wrong?”

Aku menoleh pada George yang menyentuh lengan kiriku dengan lembut. Dia menatapku dengan bingung dan mengikuti arah tubuhku. Alisnya terangkat tinggi sebelum bibirnya menyunggingkan senyum lebar.

“Kak Viktor! Bagaimana kakak bisa ada di sini?”

“Hai, George. Aku tidak tahu kalau kalian akan menonton.”

Well, kalau begitu, kebetulan yang sangat aneh. Walau aku tidak ingin berpikir dia sengaja mengikutiku, tapi berpikir kalau kami bertemu secara tidak sengaja di sini, sangat mengejutkan, bukan?

“Kakak dengan siapa? Sendirian?”

Dia menunjuk depannya dengan dagu. Mataku bergerak dengan penasaran dan menemukan pasangan yang sedang dimabuk cinta itu di sana. Tentu saja, dan Viktor hanya akan menjadi pengganggu kalau memilih untuk duduk disebelah mereka.

“The lovebird.”

“Of course, they are.”

Aku tersenyum kecil saat melihat Keenan mengusap bahu Katarina dan mencium pelipisnya. Interaksi mereka membuatku merasa iri, bagaimanapun. Aku adalah wanita dewasa yang sudah memasuki usia untuk merasakan semua itu, atau bahkan mungkin untuk menikah dan memiliki anak.

“Kenapa? Kau ingin seperti mereka?” Bisikan ditelinga kananku itu membuatku bergidik. Aku mengusap tengkukku dan sedikit menghindar dari wajah Viktor yang terasa begitu dekat. Kedekatan ini membuatku sesak karena detakan jantung yang menjadi lebih cepat.

“Apa yang kau bicarakan?”

“Aku tahu arti dari tatapanmu, Georgie. Kenapa? Aku benar, kan?”

Aku menghindarinya dengan bergeser ke kiri sehingga lebih menempel pada George. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan yang mungkin membuatnya menang banyak. Dan yang benar saja, mana mungkin aku mengatakan dengan gamblang kalau aku iri dengan kemesraan pasangan di depanku itu.

“Filmnya sudah dimulai.”

Mataku menatap layar didepanku dengan sedikit ragu. Film dengan genre horror dan thriller adalah satu-satunya film yang selalu kuhindari. Bagian jump scare seringkali membuatku melonjak dengan terkejut, dan panas dingin selama menontonnya, sungguh bukan genre yang membuatku tertarik.

Dan karena aku sudah berjanji untuk menuruti George hari ini, akhirnya aku memilih mengalah dan ikut menontonnya.

“Lebih baik kita tidak pergi saja tadi.”

“Hanya kali ini, Kak. Lebih asyik menonton di bioskop daripada di home theater kakak itu. Lagipula kakak juga bisa bertemu dengan Kak Viktor, kan?”

“Apa lagi maksudmu?”

Kali ini dia memilih berbisik ditelingaku. “Aku tahu kakak merindukannya.”

Aku menjauhkan tubuhku dengan malu. George menyebalkan, dia berani menggodaku tentang Viktor. “Dari mana pemikiranmu itu? Mengada-ada saja.”

Dia menarik sudut bibirnya dan kembali memainkan handphonenya. Aku berdecak malas dan meneguk sodaku. Lampu sudah dimatikan dan bisa dipastikan kalau sebentar lagi filmnya akan diputar.

“Kau juga suka film horror?”

Tanpa meletakkan sodaku, aku menoleh pada Viktor yang sedang mengunyah popcornnya. “Tidak.”

“Lalu? Kau berani menontonnya?”

Aku menggeleng. “Tidak.”

Dan tawanya membuat pipiku merona. Mungkin dia sedang mengejek atau mentertawakan jawabanku. Tapi aku tidak ingin berbohong, karena cepat atau lambat dia akan tahu setelah filmnya berjalan.

“Wajahmu itu lucu sekali, Georgie.” Dia kemudian menghentikan tawanya setelah melihat ekspresi tidak sukaku. “Jadi, George yang mengajakmu? Atau dia memaksamu? Kalau kau memang tidak suka, lebih baik tidak menontonnya.”

Aku sedikit bergerak ke kanan agar George tidak mendengar obrolan kami. “Dia sedang merajuk, dan cara membujuknya hanya dengan menuruti semua keinginannya.”

Dia tersenyum, mungkin melihat kedekatan kami atau karena mendengar ceritaku. “Adikmu terdengar seperti Katarina. Mereka sering merajuk, kan? Atau sedikit-sedikit marah karena tidak dituruti keinginannya.”

“Kau benar. Mungkin mereka mirip. Apalagi kalau sedang marah, tidak ada yang bisa membujuknya sampai dia lelah sendiri.”

Viktor tidak menjawabku dan memilih melipat kakinya. Aku memperhatikan wajahnya dari samping. Aku baru menyadari kalau dia memiliki titik hitam kecil didagu kirinya, dan membuatku ingin menyentuhnya. Bahkan rambutnya yang terlihat dirapikan dengan asal membuat kesan muda itu kembali.

Pakaian kasual memang selalu menunjukkan karakter seseorang. Dan melihat Viktor hanya memakai celana hitam dan kaus polos navynya membuat dia terlihat lebih santai dan segar, bukannya kaku dan membosankan dengan setelan jasnya.

Tunggu dulu, kenapa aku jadi semakin memperhatikan Viktor? Bukankah aku harusnya tidak begitu peduli?

Tapi aku tidak bisa menepis kenyataan kalau dia terlihat begitu memukau dimataku, atau dimata semua orang. Dan terus menyangkal semua itu, justru membuatku begitu sadar bagaimana Viktor sebenarnya. Dia baik, penyayang, perhatian, jujur dan mungkin ‘gila kerja’.

“Georgie?”

Aku mengerjap dan menyadari kalau wajah Viktor berada begitu dekat padaku. Dengan gugup, aku mendorong bahunya sehingga dia menjauh dariku. “Apa yang kau lakukan?”

“Kau diam saja, kupikir kau sakit. Ternyata melamun. Ada apa dengan wajahku? Kau mulai tertarik padaku?”

“Apa maksudmu, Viktor?” Dia membuatku gugup lagi, dan aku menyukainya. Damn it, sepertinya aku sudah mulai terjebak dalam pesonanya. “Jangan mengada-ada.”

Kami terdiam dan menikmati film yang mulai diputar. Aku tidak begitu ingin melihatnya, jadi dengan gerakan lambat, aku bersandar sedikit ke kanan dan memilih menikmati popcorn yang terlihat lebih menarik daripada film horror itu.

Entah berapa lama sudah berjalan, dan aku memekik kecil karena adegan mengejutkan dengan munculnya hantu mengerikan itu.

Aku pasti terlihat seperti anak kecil yang takut saat mendengar suara dahan pohon menabrak jendela kamar.

Adegan demi adegan berlalu dengan menegangkan, dan aku semakin tenggelam dikursi. Bahkan tanpa sadar aku mencengkeram lengan Viktor yang bersandar disandaran kursi. Dia memekik dan membuatku sadar dengan apa yang sudah kulakukan.

“Maafkan aku.”

Dia mengernyit dan menatapku dalam. Aku ingin menghindari tatapan mematikannya dan melihat arah lain, tapi film horror itu masih berjalan, dan aku terlalu takut untuk menontonnya lagi.

“Kau pucat, Georgie.”

Aku meneguk ludah dan menunduk menatap tanganku yang masih mencengkeram lengan Viktor. Segera kulepas tanganku dan menggenggamnya dengan gugup.

“Sepertinya kau memang takut. Kau ingin keluar saja?”

Gelengan kecil dariku membuatnya mengangguk. Aku menyandarkan punggungku dan memilih bermain dengan handphoneku. Mungkin sebentar lagi filmnya habis, karena ini sudah hampir dua jam kami berada di sini.

“Kak?”

“Hmm? Ada apa?”

“Tidak nonton?”

“Sudah.”

“Kakak ingin pulang?”

Aku mengernyit dan mengalihkan mata dari handphone. George menatapku menunggu jawaban dariku. Apa dia bilang? Dia mengajakku pulang?

“Setelah filmnya selesai. Kenapa?”

George melirik layar bioskop itu dan kembali padaku. Dia mengernyit tidak suka. “Seharusnya kakak menolakku lebih tegas tadi.”

Dia ini. Aku bergerak memeluk lengannya dan menyandarkan kepalaku ke bahunya. “Sudahlah, kakak tidak masalah. Hari ini adalah milikmu, kakak hanya akan mengikutimu.”

“Maafkan aku.”

“Hmm.” Aku lebih memilih bergumam untuk menjawabnya, karena aku tahu dia akan terus membantahku kalau aku terus menanggapi ucapannya, dan aku tidak ingin kami membuat keributan ditengah-tengah bioskop.

Kemudian setelah film berakhir beberapa menit kemudian, George menggandengku keluar dengan Viktor yang mengikuti dibelakang kami. Entah kenapa dia mengikutiku, mungkin karena tidak ingin mengganggu waktu Katarina dan Keenan. Tapi bukankah sekarang dia jadi menggangguku dan George?

‘Apa benar kau merasa terganggu oleh Viktor, Georgia?’

“Tunggu sebentar, Georgie.”

Aku dan George menghentikan langkah kami dan berbalik. Viktor terlihat membawa jaket kulit berwarna cokelat ditangannya. Entah kenapa aku tidak melihat jaket itu tadi.

“Ada apa, Kak Viktor?”

“Apa kalian mau makan malam bersamaku? Aku yang traktir.”

Viktor menatapku, bukan pada George yang memberinya pertanyaan. Aku melirik George menunggu jawabannya. Karena seperti janjiku, hari ini miliknya, aku hanya akan mengikuti keinginannya.

“Boleh. Kita akan makan malam di mana?”

“Ada restoran didekat sini yang biasa kudatangi.” Apakah itu salah satu restoran mahal? “Bukan restoran mewah, tenang saja.”

Well, aku memang tidak begitu suka datang ke resto-resto mewah, karena bukan hanya ribet tapi suasananya tidak begitu nyaman. Apalagi tatapan pengunjungnya yang terkadang menatapku dengan sebelah mata.

“Bagaimana? Kalian mau?”

Aku mengangguk kecil setelah mendapat persetujuan George. Viktor menyunggingkan senyum lebarnya dan mengangguk antusias. “Kalau begitu, ayo. Mobilku ada di basement.”

Viktor berjalan lebih dulu dan kami segera mengikutinya. Well, dari belakang dia terlihat semakin mempesona. Punggungnya yang lebar dan otot yang terbentuk dibalik kausnya, aku bahkan yakin akan sangat nyaman kalau bisa bersandar di sana.

Sepertinya pikiranku mulai kacau. Semua pria sama saja, Georgia.

.
.
.

“Jadi, bagaimana kabar kalian selama beberapa minggu ini? Rasanya lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu di rumah sakit.”

Aku meletakkan gelas limeku dan menatap Viktor dengan antusias. Aku bahkan tidak sadar kalau sudah hampir sebulan tidak bertemu dengannya. Tentu saja banyak yang terjadi sejak terakhir kali.

“Aku sedang memulai pembangunan cabang cafeku. Ada lahan kosong dipinggiran kota yang tidak terlalu mahal. Kupikir memang sebaiknya aku tidak membuka cabang diluar kota dulu, karena masih banyak hal yang harus dilakukan. Bagaimana menurutmu?”

Viktor tersenyum lembut melihat keantusiasanku membahas cabang cafe yang sedang kubangun itu. Sudah lama aku menabung untuk pembangunan cabang cafe, tapi karena beberapa pengeluaran tidak terduga selama beberapa kali, akhirnya aku bisa mewujudkan impianku. Aku tidak peduli kalau aku belum bisa membeli mobil lagi, karena yang penting sekarang adalah melebarkan usahaku dan membuat George bisa menyelesaikan kuliahnya.

Lagipula kami belum begitu membutuhkan mobil, walau biaya transportasi jadi lebih banyak. Aku bahkan tidak begitu suka mengendarai mobil, karena sebelumnya juga George yang selalu membawa mobil. Jadi, sepertinya ini bukan masalah besar untuk saat ini.

“That’s great. Aku yakin kalau cafemu akan terkenal. Apalagi belum banyak cafe di daerah pinggiran, jadi cafemu tidak akan memiliki saingan yang berat. Apa konsepnya akan sama dengan cafemu sekarang?”

Aku berpikir sejenak mendengar pertanyaannya. Jujur, aku belum memikirkan konsepnya sama sekali karena aku bisa menentukannya nanti setelah renovasi tempat selesai.

“Aku belum berpikir sejauh itu. Renovasinya masih selesai dua bulan lagi, kupikir aku bisa memikirkannya nanti. Aku seharusnya mempertahankan ciri khas cafeku, benar kan? Sepertinya aku tidak akan mengubah banyak konsep. Apalagi cafe ini tidak akan sebesar cafe pusat. Bagaimana, Viktor?”

Bahkan tanpa sadar aku sudah mencondongkan tubuhku ke arahnya. George hanya bermain dengan handphonenya tanpa bergabung dengan percakapanku dan Viktor. “Bagaimana? Viktor.”

“Kau antusias sekali. Apa membahasnya saja membuatmu begitu senang?”

“Tentu saja. Jadi?”

Suara tawanya membuatku tersenyum lebih lebar. Walaupun rasa ragu itu masih ada, tapi aku tidak akan memungkiri kalau Viktor membuatku menjadi diriku sendiri di masa lalu. Aku dulu begitu antusias dan ceria, bahkan tidak pernah terpikir untuk bersedih sama sekali. Dan perasaan ini meluap-luap membuatku tidak bisa mencegah diriku sendiri.

“Menurutku memang seharusnya tidak menghilangkan ciri khas cafemu. Kalau merubah seluruhnya mungkin akan memakan waktu lebih lama lagi. Jadi untuk percobaan pertama, kita tidak ingin mengambil terlalu banyak resiko, bukan?”

Aku mengangguk setuju dan meneguk habis limeku yang sudah tidak lagi dingin. Sepertinya tanpa sadar kami sudah menghabiskan banyak waktu di sini, tapi tidak masalah karena aku juga menikmatinya.

“By the way, Keenan berencana melamar adikku sebentar lagi.”

Mataku membelakak dengan terkejut. “Really? Kate sudah tahu?”

Dia menggeleng dan terkekeh. “Tidak mungkin. Dia bahkan tidak sadar kalau kami sengaja menjaga jarak dengannya. Aku hanya takut dia berpikir yang tidak-tidak.”

“Mungkin saja. Lalu, kapan mereka menikah?”

Viktor kembali terkekeh. “Kau tahu Keenan. Mungkin dia berkata sebulan lagi, tapi entah kenapa aku tidak begitu yakin.”

Aku tertawa kecil dan mengangguk setuju. Keenan memang tidak bisa ditebak, kadang dia bergerak tanpa sadar atau mungkin karena dia terlalu memaksa. Well, menjadi temannya selama ini membuatku cukup tahu kalau dia selalu yakin dengan apa yang dilakukannya.

“Sepertinya sudah terlalu malam. Apa kalian ingin pulang?”

Aku melirik jam tanganku dan mengangkat alisku. Ini bahkan memakan waktu lebih lama dari yang kupikirkan, seharusnya aku tidak melebihi jam malam kami, tapi ini sudah hampir tengah malam.

“Kak?”

“Kita pulang. Kenapa tidak bilang kakak kalau sudah malam?”

George tidak marah, dia hanya tersenyum kecil dan memakai jaketnya lagi. “Kakak terlihat asyik sekali. Aku tidak ingin mengganggu.”

Aku meringis dan menghela napas. George memang benar, aku tidak memperhatikan jam sejak tadi. Dan sepertinya Viktor memang selalu membuatku ingin mengobrol panjang lebar.

“Baiklah, aku akan mengantar kalian.”

Viktor bangkit dan mencari kasir untuk membayar bill makanan. Aku memakai jaketku dan menyimpan handphone ke tas. George meraih tas kecilku dan membawanya.

“Kakak lelah?”

“Sedikit, but it’s fine.”

“Jadi kakak akan berendam?”

Aku menoleh dengan terkejut. “Boleh?”

Aku tahu George mengangguk dengan terpaksa, tapi dia memilih tersenyum dan mengusap pelipisku. “Hanya kali ini, dan tidak lama-lama.”

“Baiklah, terima kasih.”

George membantuku bangun dan menaikkan zipper jaketku sampai atas. Aku tersenyum kecil dan meraih lengannya untuk kupeluk.

“Ada apa?”

“Apanya?”

“Aku melihat kalian berdebat.”

George tertawa kecil membuatku mengernyit. “Kakakku ini sangat keras kepala. Aku selalu bilang kalau dia hanya bisa berendam selama setengah jam, tapi kakak tidak akan keluar sebelum airnya berubah dingin.”

“Benarkah? Adikku juga sering sekali seperti itu. Menyebalkan sekali, bukan?”

“Kak Viktor benar. Aku bahkan selalu menunggu di depan kamar mandi sampai kakak keluar.”

Mataku menyipit tidak setuju. “Kakak tidak pernah menyuruhmu melakukannya.”

“Dan kakak tidak akan keluar sebelum sakit.” Dia menyelaku dengan bersikeras.

“Kakak tidak mungkin berendam selamanya, George.”

“Tetap saja...”

Aku mendengus dengan malas. Di saat bertengkar seperti ini, aku tidak pernah menang. Bukan karena aku selalu kalah, tapi aku lebih memilih untuk mengalah. Karena sebenarnya sifat kami cenderung sama, jadi kalau tidak ada yang mengalah, kami tidak akan berhenti sampai kami lelah.

“Sudah, sudah. Aku tidak menyuruh kalian bertengkar. Bukankah kita akan pulang?” Viktor menengahi kami dan menyentuh bahuku pelan.

“Maaf, Viktor. Kita pulang saja sekarang. Ayo.”

Aku menarik tangan George keluar dari restoran mendahului Viktor. Memalukan, bagaimana bisa kami bertengkar dihadapan Viktor seperti itu? Kami seharusnya mengenal tempat sebelum mulai berargumen.

“Maafkan aku, Kak.”

“Lain kali jangan berdebat ditempat umum.”

“Iya, maaf.”

Aku menghela napas dengan lelah sekali lagi. Keadaan luar tidak begitu sepi, masih cukup ramai, mungkin karena restoran ini dibuka sampai pagi atau karena ini masih berada di pusat kota. Tapi mengingat ini adalah akhir pekan, aku yakin kalau daerah ini tidak akan sepi sampai nanti pagi.

“Ayo.”

Aku tersentak kecil saat sebuah tangan menepuk punggungku. Viktor di sana dengan jaket dalam genggamannya. Aku tersenyum dan mengikutinya masuk ke dalam mobil.


MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang