Chapter 18

943 50 0
                                    

“Hari itu adalah mimpi buruk paling mengerikan dalam hidup kami.”

Aku menatapnya dalam, mencoba mencari kebohongan yang mungkin diciptakannya. Tapi semua yang bisa kutemukan hanyalah kejujuran semata.

“Dulu, kau paling suka bermain di taman kota. Kau selalu bilang kalau di sana menyenangkan dan kau tidak pernah bosan berada di sana. Entah apa yang membuatmu begitu betah di sana, kami tidak pernah bisa melarangmu bermain.”

Mama menutup matanya sebentar, mencoba mengenyahkan bayangan masa lalu yang kembali menghantuinya. Aku mencoba mengabaikannya dan hanya mendengarkan semua penjelasannya.

“Tepat dihari ulang tahunmu yang ke-9, kau memaksa kami untuk merayakannya di sana. Sekali lagi, kami tidak pernah bisa melarangmu yang sangat keras kepala.” Dia terkekeh pelan sebelum membuat gerakan memutar dipunggung tanganku.

“Mama merasa begitu bodoh hari itu, sungguh.”

Dia berhenti sejenak untuk mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Papamu sedang sibuk hari itu, jadi mama hanya bertiga saja dengan kalian. Entah apa yang membuat mama teralihkan, adikmu merengek minta es krim, dan kau tidak ingin membelikannya, jadi mama meninggalkan kalian sebentar untuk membelinya.”

Aku mencoba mencari ingatan lama di otakku, tapi yang kutemukan hanyalah kekosongan.

“Tidak jauh, hanya di supermarket seberang jalan. Tapi karena antrian kasirnya sangat panjang, mama tidak bisa kembali dengan cepat.”

Cukup lama dia terdiam membuatku penasaran dengan yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tidak ingin menginterupsi kediamannya, mungkin dia sedang mencoba mengingat atau menghilangkan kenangan buruk yang harus diingatnya lagi.

“Is there something wrong?”

Dia tersenyum kecil, “Tentu saja semua itu salah, sayang. Mama kehilangan kalian tepat setelah mama berhasil membawakan es krim untuk George. Tempat kalian duduk sudah berantakan, dan sialnya memang taman sedang sepi hari itu.”

“Kami hilang? Bagaimana bisa?”

“Mama tidak tahu apakah itu adalah kelicikan musuh papamu, atau penculik yang memilih korbannya dengan acak. Yang pasti, mama langsung menghubungi papamu tentang hilangnya kalian.”

Untuk kesekian kalinya, dia menghindari kontak mata denganku dan menghela napas. Aku benar-benar tidak suka membahas tentang ini sama sekali, tapi putriku harus tahu yang sebenarnya.

Mungkinkah aku terlalu memaksanya? Bukankah aku bisa mengetahui kebenaran itu hanya dengan membaca pikirannya tanpa memaksanya bercerita?

“Jika terpaksa, tidak perlu memberitahuku.”

“Tidak, sayang. Kau berhak tahu semuanya.”

Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat, menunjukkan kalau aku ada di sini bersamanya. Mungkin memang menceritakannya padaku adalah suatu mimpi buruk untuknya, tapi karena dia juga ingin menjelaskannya padaku, aku hanya bisa menunjukkan padanya kalau aku ada di sini untuk menguatkannya.

“Papamu marah besar hari itu, dia membenci mama karena lalai menjaga kalian. Bahkan dia mencaci maki mama dengan mengatakan kalau mama tidak becus menjadi ibu.”

Matanya yang berkaca-kaca menyadarkanku kalau hal ini benar-benar menyakitinya. Dia hanya berusaha terlihat tegar didepanku, walaupun hatinya berteriak kesakitan.

“Kau tahu apa yang mama rasakan saat itu? Hancur, sudah pasti. Pria yang paling mama cintai, mengatakan hal paling kejam yang pernah mama dengar. Sudah cukup kehilangan kalian, dan dia menambahkan hal-hal yang menghancurkan perasaan mama. Detik itu juga, mama pergi dari rumah dan mencari kalian bersama detektif yang mama sewa.”

Mereka bertengkar separah itu, aku penasaran bagaimana mereka bisa kembali bersama.

“Apa yang mama temukan selama itu?”

“Kalian hilang tanpa jejak. Detektif yang mama sewa adalah detektif yang terkenal dalam memecahkan kasus, tapi dia sendiri bilang kalau menemukan kalian adalah kasus paling sulit yang pernah dipecahkannya, karena dia membutuhkan hampir 10 tahun sebelum menemukan jejak-jejak penculikan.”

Aku tersenyum sedih sebelum menatap tautan tangan kami. “Dan aku justru menolak kalian setelahnya.”

Dia menarik daguku sehingga aku mendongak menatapnya. “Semua orang tidak akan percaya kalau berada diposisimu, sayang. Kau sudah banyak menderita, dan itu salah mama. Sekarang, biarkan mama menyelesaikan ceritanya.”

“Apa yang terjadi pada kalian?”

Mama terkekeh pelan dan mencubit pipiku. “Kau lebih tertarik dengan kami daripada kasus kalian? Kau memang tidak berubah sama sekali.”

Aku tersenyum malu dan mengusap tengkukku. “Sepertinya kasusku sudah tidak penting lagi.”

“Ya, intinya kalian diculik oleh musuh papamu dan kau mengalami trauma yang menyebabkan amnesia. Kalian memang kabur, dan diadopsi oleh bundamu itu. Dan mama tidak tahu bagaimana mereka bisa mengetahui nama asli kalian.”

Dengan sedikit usaha, aku mencoba membaca pikirannya yang rumit dan mendesah pelan. “Jangan jelaskan hal itu lagi, aku sungguh tidak ingat sama sekali. Dan aku tidak ingin memaksa otakku untuk mengingatnya.”

“Tadi memaksa, sekarang sudah tidak penasaran lagi? Bukankah kau masih ragu kalau mama ini mama kandungmu?”

Mendengar penuturannya, aku hanya bisa terkekeh pelan dan menarik tanganku darinya. “Sebenarnya aku tidak meragukannya, hanya saja aku tidak bisa mempercayai hal aneh ini.”

“Jadi sekarang bagaimana? Sudah mengakui mama, belum?”

“Hmm, begitulah.”

Dia tersenyum lebar sebelum menarikku dalam pelukan hangatnya. “Maafkan mama.”

“Untuk apa?” Aku membalas pelukannya dengan bingung dan bersandar di bahunya.

“Karena sudah lalai menjaga kalian. Kau sudah sangat menderita, Georgia. George sudah menceritakan semuanya pada mama, dan mama tidak suka karena kau terlalu bekerja keras. Mulai saat ini, ada mama dan papa yang akan selalu menjaga kalian.”

“Mama belum cerita bagaimana kalian bisa bersama lagi.”

Mama menghela napas dan mengusap kepalaku. “Tanyakan saja pada papamu, ya? Mama tidak begitu yakin bisa membicarakannya.”

Aku tidak ingin mendebat karena mama kembali terluka hanya dengan memikirkannya, aku bisa membaca pikirannya yang ingin menangis dan pergi ke pelukan suaminya.

“Mama baik-baik saja?”

Tentu saja tidak, sayang. “Ya, mama baik-baik saja.”

Helaan napas itu keluar dari mulutku sebelum aku melepas pelukan kami. Aku tahu mama sedang menderita, dan aku yakin kalau aku tidak bisa memperbaiki suasana hatinya.

“Mama ingin menemui papa?”

Dia menatapku dalam sebelum mengernyit. “Apa kau bisa membaca pikiran mama? Aneh sekali.”

Aku mengusap tengkukku dan mengalihkan pandangan. Tidak mungkin aku mengakui kemampuanku itu padanya, karena aku bisa mendapatkannya setelah kecelakaan itu. Mama pasti juga tahu kalau aku tidak seperti ini dulu.

“Mana mungkin. Aku hanya asal menebak.”

“Kau benar, tidak mungkin ada yang bisa membaca pikiran orang lain. Kalau ada, mungkin orang itu tidak normal.”

Aku meneguk ludahku karena secara tidak langsung mamaku mengataiku tidak normal. Well, memang tidak ada orang normal yang bisa membaca pikiran orang lain. Lagipula, apa aku masih bisa dibilang cukup normal?

“Ya sudah, mama temui papa dulu. Apa ingin mama panggilkan Viktor?”

“Ya, George juga boleh.”

Dia mendekatkan tubuhnya dan mencium keningku lembut. Perasaan ini jelas sangat berbeda dengan ciuman yang selalu diberikan George dan Viktor. Lebih hangat dan membuatku merasa tenang. Mungkinkah ini perasaan dicintai oleh seorang ibu?

“Mama tinggal dulu. Nanti turun untuk makan, mengerti? Makanmu sedikit sekali tadi.”

“Ya, Mama.”

Dia tersenyum lebar sebelum meninggalkan kamar tanpa menutup pintunya. Perasaanku menjadi sangat lega setelah kami menyelesaikan kesalahpahaman yang selama ini selalu kuabaikan. Mungkin memang seperti ini rasanya dulu saat aku masih memiliki keluarga yang utuh dan saling berbagi kasih sayang.

Awalnya dulu saat aku mengira orangtua yang sudah membesarkanku adalah orangtua kandungku, aku seperti menyesal telah dilahirkan didunia ini. Aku selalu mengeluh tentang banyak hal, terutama ketidakharmonisan keluargaku.

Dan saat tahu kalau aku memiliki keluarga kandung, hatiku merasa lega dan bersyukur, ternyata mereka bukanlah bagian dari hidupku. Walau banyak luka dan duka yang masih membekas sampai sekarang, aku hanya menyesal karena mereka merawat kami melalui banyak pertengkaran.

“Sayang.”

.
.
.

Mereka tega sekali karena meninggalkanku sendiri dengan pria paruh baya itu. Setelah aku turun bersama Viktor dan George untuk makan malam, mereka tiba-tiba saja meninggalkanku di ruang makan bersama pria tanpa ekspresi itu, atau mungkin aku harus memanggilnya ‘papa’.

Dehaman rendah itu membuatku menunduk menatap tanganku diatas paha. Suasananya terasa dingin dan aku tidak tahu kemana sikap keras kepalaku yang selalu berani menatap lawan bicaraku.

“Kau tidak ingin mengangkat wajahmu?”

“Mm, ya.”

Aku mendongak dengan sangat ragu dan menatapnya. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana ekspresinya saat ini, karena dia hanya menatapku datar. Setelah beberapa detik dan dia hanya diam saja, aku mengalihkan pandanganku dan menarik napas dalam, tidak tahan dengan situasinya.

“Kau tidak ingin mengatakan apapun?”

“Aku… tidak tahu harus mengatakan apa.”

Mungkin kami terlihat bodoh, atau hanya aku saja, karena saling terdiam dengan suasana yang dingin. Padahal bisa saja aku langsung berbicara padanya, meminta maaf atau menanyakan bagaimana hubungannya dengan mama setelah kami hilang. Tapi setelah melihat wajahnya lagi, aku justru ketakutan dan hilang nyali.

“Benar tidak ada yang ingin kau tanyakan?”

Aku bingung, apakah dia tidak sedang memikirkan apapun atau aku yang gagal membaca pikirannya. Sungguh, hanya ada suara bip panjang saat aku mencoba kemampuanku itu.

“Georgia, papa bicara denganmu.”

Mendengar ucapannya, aku otomatis mengerjap dan kembali menatap mata hitamnya. Dia tidak lagi terlihat dingin, justru seperti tidak pernah menampilkan wajah datar tadi, karena aku bisa melihatnya menatapku lembut.

“Papa.”

Sekarang dia memasang senyum diwajahnya, yang mana langsung membuat mataku berkaca-kaca. Aku menggigit bibirku dan mengerjapkan mataku, mencegah air mata itu menetes.

Dia beranjak dari tempat duduknya dan melangkah kearahku. “Jangan menangis.”

Bukannya tenang, aku justru semakin terisak saat dia perlahan memelukku. Aku tidak membalasnya, hanya bersandar diperut kerasnya dan kembali menangis.

“Sudahlah, tidak ada yang perlu ditangisi lagi.”

Sepertinya papaku tipe orang yang keras dan tidak bisa menenangkan orang. Buktinya dia hanya menyuruhku berhenti menangis dan mengusap kepalaku. Atau mungkin dia tipe orang yang kaku dan tidak mudah berekspresi.

“Papa bisa dimarahi mamamu kalau melihatmu menangis seperti ini, sweety.”

“Siapa juga yang ingin menangis.” Gerutuanku membuatnya terkekeh. Dia semakin erat memelukku dan mencium puncak kepalaku.

“Papa tahu kalau banyak sekali yang kau pikirkan dikepalamu ini, tapi mamamu sudah menjelaskan. Apa masih ada yang membuatmu penasaran? Butuh penjelasan papa?”

Aku mengusap air mataku sebelum menarik tubuhku dari pelukannya. “Aku sangat penasaran bagaimana mama mau kembali pada papa. Kalau aku, mungkin akan ribuan kali berpikir ulang.”

Papamu ini brengsek sekali saat itu, sayang. Seharusnya papa tidak menghancurkan mamamu seperti itu, yang bahkan sampai sekarang masih merasakan sakitnya.

“You will tell me, won’t you?”

Apa harus aku menceritakan hal itu padanya? Aku tidak ingin dia berpikir kalau aku ini seorang suami yang gagal.

“Pa?” Aku mendongak menatap wajahnya yang terlihat bimbang. Kepalanya tidak berhenti berpikir, jadi aku memutuskan tidak mendengarkan pikirannya lagi.

“Tidak ingin mengatakannya padaku?”

Dia menghela napasnya dan mengusap kepalaku sayang. “Bukan begitu, sayang. Papa hanya tidak yakin untuk menceritakannya, terutama padamu.”

Aku menatap matanya dan mendengus kecil. “Apa George tahu tentang itu?”

Gelengannya membuatku lega, berarti dia tidak hanya enggan untuk memberitahuku saja. “Tidak. George tidak pernah bertanya apapun.”

Tentu saja, adikku itu memang bodoh.

“Ya sudah, aku ingin pulang saja.”

Matanya terlihat membelalak tidak percaya sebelum menahan kedua bahuku. “Pulang? Ini ‘kan rumahmu, kemana lagi kau akan pulang?”

Aku benar-benar ingin tertawa, sungguh. Apa papa pikir kalau aku sudah mengakui mereka dan menerimanya, aku akan langsung menerima kehidupanku sebelumnya? Tentu saja tidak semudah itu.

“Tentu saja pulang ke rumah, my own house.”

“Kau tidak ingin kembali ke rumah?”

Aku menggeleng sembari tersenyum kecil. “Belum saatnya.”

Dia tidak terima, “Tapi sebentar lagi kau akan menikah. Kapan lagi kalau bukan sekarang waktunya kembali ke rumah?”

Aku mengernyit tidak mengerti saat dia mengatakan aku akan segera menikah. Memangnya kapan aku mengatakan akan menikah? Bahkan aku tidak lagi memikirkannya sejak sadar dari tidur panjangku. Siapa juga yang berani membahasnya?

“Jangan mengatakan omong kosong, papa. Siapa juga yang akan menikah?”

Sekarang, papa yang mengernyit tidak mengerti. “Bukankah Viktor sudah mengajakmu menikah? Dia bahkan sudah melamarmu pada papa dan mama.”

Viktor? Bukankah dia tahu kalau aku selalu menghindari topik itu selama ini?

“Jangan bercanda, Pa. Aku ingin pulang saja sekarang. Di mana lagi George?”

.
.
.

“Aku ingin menginap malam ini. Boleh ‘kan, Kak?”

Aku menghela napas lelah dan memilih mengangguk. Dia seperti tahu kalau ada banyak hal yang harus kubicarakan dengan Viktor.

“Terima kasih. Aku akan pulang besok.” Dia mencium pipiku dengan cepat sebelum kabur ke dalam rumah. Aku berdecak malas dan beralih pada kedua orangtuaku itu.

“Yakin tidak ingin menginap di sini?”

“Ada yang harus menjaga café, Ma. Kapan-kapan aku akan ke sini.”

“Mama saja besok yang mengantar George.”

Aku menyetujuinya sambil lalu sebelum benar-benar pulang. Viktor terlihat bingung sejak tadi karena aku mengacuhkannya, tapi aku memilih mengabaikannya selama perjalanan dan menatap keluar jendela.

“Sayang.”

“Hmm.”

“Ada apa? Kenapa diam saja sejak tadi? Ada yang sakit?”

“Tidak ada.”

Georgie aneh sekali sejak bicara dengan papa. Apa ada yang salah dalam pembicaraan mereka?

Cukup lama sebelum akhirnya kami sampai ke café. Keadaan sudah sepi, karena memang sudah lewat dari jam tutup café.

Aku melepas seatbelt dan langsung keluar dari mobil. Suara pintu mobil ditutup terdengar dibelakangku. Viktor sepertinya sadar kalau aku ingin membicarakan sesuatu dengannya.

“Biar aku saja yang mengunci pintunya. Kau naik dulu.”

Viktor mendorongku dengan lembut ke arah tangga. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti perintahnya. Lagipula, aku sudah merasa sangat lelah sejak dari rumah mama tadi.

Dengan sedikit mengantuk, aku berhasil memakai piyama tidur bergaris milik Viktor ditubuhku. Hari ini aku sedang ingin memakainya saja, walau Viktor pasti memilih menginap di sini malam ini.

“Sayang?”

“Di kamar.”

Suara langkah sepatunya mendekat sebelum pintu kamar dibuka dan ditutup kembali. Viktor melempar jasnya ke keranjang pakaian sebelum membuka kancing kemejanya satu persatu. Dia terbiasa melepas pakaiannya begitu saja dihadapanku tanpa canggung sama sekali. Aku hanya bersandar dengan nyaman dikepala ranjang dan memperhatikan setiap gerak gerik Viktor.

Dia sudah bertelanjang dada dan segera melepas celana kainnya, meninggalkan boxer briefnya. Tanpa berpikir untuk berpakaian lebih dulu, dia melenggang masuk ke kamar mandi dan melakukan ritual malamnya.

Aku sudah terbiasa, tapi tetap saja merona setiap kali dia melakukan hal itu dihadapanku. Dia mungkin tidak sadar kalau sudah berhasil menggodaku secara tidak langsung, atau memang sengaja melakukannya untuk menggodaku.

“Di mana sikat gigiku, sayang?”

“Di laci wastafel.”

“Aku selalu saja lupa.” Kekehannya membuat senyum kecil muncul dibibirku. Memang dia itu pelupa, padahal dia sendiri yang selalu menyimpan sikat giginya di laci, tapi selalu saja bertanya padaku.

Setelah beberapa menit, Viktor keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar. Dia langsung bergerak ke ranjang dan menempatkan diri disebelahku.

“Kau tidak akan memakai celana?”

“Kenapa? Kau malu melihatnya?”

Aku memutar mataku malas dan segera berbaring dengan nyaman. Sisi ranjang lainnya sedikit bergoncang saat Viktor mulai memelukku dari samping.

“Apa yang ingin kau katakan padaku? Kepalamu ini seperti memendam sesuatu.” Dia menopang sebelah tangannya, jadi aku bisa melihatnya dengan jelas.

“Apa saja yang sudah kau bicarakan dengan papa?”

Viktor menyingkirkan anak rambut dikeningku sebelum berhenti menatap mataku. “Banyak hal yang kami bicarakan, sayang. Ada apa?”

Aku tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini, kuharap akan berakhir baik.

“Kau membicarakan tentang pernikahan padanya?”

Apa papa sudah menyinggungnya? Padahal sudah aku bilang untuk merahasiakannya sampai aku bisa melamar Georgia dengan benar.

“Ya?”

“Kau membicarakannya dengan papa?”

“Iya.”

“Dan kau tidak mengatakannya padaku?”

Dia terlihat bimbang dan mengalihkan pandangan matanya. “Kau tidak suka saat aku membahas hal itu.”

Aku masih tidak menyerah padanya. “Dan kau membicarakannya dengan papa? Memangnya siapa yang ingin kau nikahi? Papaku?”

Dia langsung menatapku dengan gelagapan. “Tentu saja kau, Georgie.”

“Lalu?”

Viktor terlihat bimbang, tapi aku bica membaca pikirannya dengan jelas. Sebenarnya aku sudah tidak terlalu mempermasalahkan ‘pernikahan’ yang mungkin memang sangat Viktor inginkan. Aku hanya ingin mendengarnya langsung dari mulutnya kalau dia ingin menikahiku, atau penjelasan lain yang bisa membuatku tidak lagi ragu untuk mengatakan ‘ya.”

Awalnya mungkin memang aku tidak ingin menikah sama sekali, tapi setelah semua perjuangan Viktor, setelah apa yang kami berdua lalui, bukankah sebuah pernikahan adalah hadiah yang cukup berharga untuk kami miliki?

“Will you marry me?”

Aku tergelak dan memutar mataku. “Kau melamarku dengan situasi seperti ini? Kau hampir telanjang, dan aku yang terlihat tidak layak?”

Viktor tersenyum lembut sebelum bergerak mengusap pipiku. “Aku tidak peduli pada apapun itu, asal kau mau menikah denganku. Bahkan aku tidak masalah kalau harus melamarmu di tengah keramaian.” Dia berhenti sebentar untuk menatapku. “Atau, kau sebenarnya ingin lamaran yang romantis?”

Siapa yang tidak ingin, bodoh.

Aku tidak menjawabnya, karena aku tahu kalau dia belum selesai berbicara. “Menurutku, lamaran tidaklah penting selama aku mengutarakan kesungguhanku untuk menikahimu. Lagipula, aku tahu kalau kau paling tidak suka menjadi pusat perhatian. Aku akan memikirkan cara lain untuk melamarmu nanti.”

Dan kupastikan kau akan menyukainya.

“Jadi, apakah kau ingin menikah denganku? Membangun keluarga bersamaku? Menjadi istri dan ibu dari anak-anakku?”

Mataku berkaca-kaca saat kata-katanya mengena dihatiku. Viktor tidak pernah seserius ini, atau bahkan terlihat gugup seperti ini. Dulu, dia sangat yakin saat memintaku menjadi kekasihnya. Tapi sekarang, apakah dia takut aku akan menolaknya?

Kumohon katakan ya.

“Aku mencintaimu, Georgia, sangat. Mungkin kau lelah dengan semua sifatku, terlebih sifat manja dan egoisku yang selalu ingin bersamamu. Tapi, aku akan membahagiakanmu, aku janji. Aku akan memberikan dunia dibawah kakimu, jika memang itu yang kau inginkan, kita bahkan bisa membuat dunia sendiri.”

Aku tidak bisa menahan air mataku lagi melihat kesungguhannya. Aku merasa tidak adil karena aku bisa membaca semua pikiran Viktor, tapi dia sama sekali tidak memahami perasaanku padanya.

“Please, Georgia.”

“I will, Viktor.”

Entah kenapa, Viktor menatapku dengan tidak percaya. Dia menatap mataku dalam dan mencari kejujuran di sana.

Mungkin aku salah mendengarnya. Atau Georgia hanya mengerjaiku?

“Aku tidak bercanda, Viktor.”

“Jadi, kau mau menikah denganku?”

Merasa kesal, “Jadi kau tidak mau?”

“No, no, no. Kau mau menikah denganku? Sungguh? Aku tidak salah dengar, kan?” Dia langsung terduduk dan menarikku ke pangkuannya. “Sungguh?”

Viktor terlihat sangat bahagia dengan mata berkaca-kaca. Aku memeluk lehernya dan berbisik pelan ditelinganya. “Ya, I will, Viktor.”

“Terima kasih, sayang. Terima kasih.”

Tanpa menunggu lama, bibirnya sudah menemukan bibirku dan membawaku ke dalam ciuman penuh perasaan. Aku mengusap kepalanya dan membalas ciuman mautnya itu.

“Aku mencintaimu.”

“Aku mencintaimu, Viktor.”

“I’m truly, madly, deeply, in love with you, Georgia.”

Ciumannya berubah menuntut, dan aku hanya bisa mengimbanginya dengan gairah yang sama. Suara decapan kami memenuhi kamar yang sunyi ini, membuatku terlarut dalam gairah yang sudah lama tidak kurasakan.

“Viktor.” Aku mengerang saat Viktor mengalihkan ciumannya ke leher dan tulang selangkaku. Dia membuka kancing piyamaku dengan cepat, menyisakan bra hitam yang kukenakan.

“Kau sangat indah.”

Sentuhan bibirnya membuatku gila. Aku hanya bisa mendesah dan mencengkeram rambutnya saat Viktor berhasil membuka kaitan bra milikku dan mulai menciumi puncak dadaku.

“Viktor.”

Kulumannya membuat pandanganku mengabur karena kenikmatan yang diciptakannya. Dia tidak kasar, hanya mencium, mengulum, dan meremas. Aku sudah terlalu larut hingga melupakan fakta kalau kami melangkah terlalu jauh.

Pinggangku bergerak dengan tidak nyaman saat merasakan sesuatu yang keras itu berada dibawahku. Kami benar-benar harus berhenti, atau akan ada penyesalan nantinya.

“Ngh,”

Secepat kami memulainya, secepat itu juga Viktor berhasil mengendalikan dirinya. Aku terengah-engah saat Viktor memelukku dengan erat. Kepalaku bersandar dibahunya karena kabut gairah yang masih menguasaiku.

“Maafkan aku.”

“It’s okay, aku juga lupa diri, Viktor.”

“Tubuhmu terlalu indah, aku takut tidak bisa mengendalikan diriku lagi.”

Wajahku memanas saat menyadari kalau kami sama-sama bertelanjang dada dengan dadanya yang menekan dada telanjangku.

“Viktor, aku malu.”

Kekehannya membuatku tersenyum. Dia mengusap punggungku dan mencium tulang selangkaku. “Sepertinya ini pertama kalinya aku membuka bramu atas keinginanku sendiri.”

“I almost forget that I am still virgin, stupid me.” Aku benar-benar bertingkah seperti pernah tidur dengan seorang pria. Nyatanya, aku tidak pernah mencium laki-laki lain selain Viktor.

“Kau masih..? Kukira kau… di Inggris…”

Aku terkekeh pelan dan memejamkan mataku. Tidak salah kalau dia sampai berpikir aku pernah tidur dengan pria lain karena aku pernah tinggal lama di Inggris. Tapi, sungguh, aku bahkan tidak pernah berhubungan dengan pria manapun selain Viktor.

“Aku tidak serusak itu, Viktor. Prinsipku adalah, aku masih bisa mencari kenikmatan itu setelah menikah. Kalau bisa menahannya, kenapa harus merusak diriku sendiri?”

Kecupannya dipelipisku menghangatkan perasaanku. Aku tersenyum sebelum bergerak mencari posisi yang nyaman dipelukannya. Aku tidak sempat berpikir untuk memakai bajuku lagi.

“Kau ingin menggodaku, sayang?”

“Tidak.”

“Jangan bergerak-gerak. Kau tidak merasakan kalau yang dibawah sana masih keras?”

Aku semakin merona dan menenggelamkan wajahku ke lehernya. “Aku malu, Viktor.”

“Pakai lagi bajumu, hmm?”

Tangannya bergerak menjauhi tubuhku sebelum memasangkan kembali piyama yang sempat dilepasnya tadi. Aku tidak berkomentar saat dia tidak memasangkan bra hitam milikku. Mungkin dia tidak bisa, atau memang tidak mau.

Saat ini, kami berbaring dengan tubuh saling melilit diatas ranjang. Tangannya masih setia mengusap kepalaku, membuatku semakin mengantuk.

“Tidurlah, ada aku di sini.”

“Tetap di sini saat aku bangun, Viktor.”

“Tentu, sayang.”

.

MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang