-Kau ingat aku? Perampok di Bali.-
Aku menatap layar handphoneku sekali lagi dengan tidak percaya. Pria kemarin benar-benar menghubungiku? Kupikir dia orang sibuk. Benar-benar tipikal CEO bodoh.
Kupikir aku sudah minta maaf padamu.
Aku baru saja akan meletakkan handphoneku dimeja saat handphoneku kembali berbunyi.
-Just kidding. Berarti kau masih mengingatku.-
Ya, ingatanku sangat bagus, kalau kau ingin tahu.
Aku meletakkan handphone ke meja saat melihat seorang pelanggan menuju meja kasir. Biasanya aku hanya bekerja dibalik layar, tapi karena ada satu pegawaiku yang sedang sakit, aku menggantikannya sebagai kasir. Alasanku hanyalah aku tidak terlalu suka berbicara dengan banyak pria. Walaupun mungkin mereka hanya akan membayar dan pergi, aku tetap menghindari resiko itu.
Aku menerima bill ditangan pria didepanku ini. “Totalnya Rp 253.000,-. Cash atau kartu?”
Pria itu memberikan tiga lembar uang seratus ribu padaku. Aku memberikan uang kembalinya dan mengucapkan terima kasih. “Terima kasih. Silahkan berkunjung kembali.”
“Terima kasih, nona.”
Aku kembali duduk di kursi dan menyalakan handphoneku. Ada satu pesan dari Viktor beberapa menit yang lalu.
-Aku percaya, mungkin. Apa kau sudah kembali ke Jakarta?-
Jelas, Viktor tidak tahu aku kembali kemarin sore. Seingatku memang aku mengatakan akan pulang hari ini.
Aku sudah di rumah sejak kemarin.
-Jelas sekali kau mengatakan akan pulang hari ini, Georgie.-
Aku pulang tepat setelah makan siang denganmu.
Dengan cepat kuletakkan handphone ke meja saat melihat George masuk dengan ransel dipunggungnya. Aku berdiri dan melihat George sedang berjalan ke arahku. Kusambut dia dengan senyuman lebarku dan rentangan tanganku. Dia terlihat lelah.
“Kakak.”
Dia masuk ke dalam pelukanku dan menarik napasnya dalam. Aku mengusap punggungnya dan mencium kepalanya. Dia pasti mengalami hari yang buruk dikampus. Karena tidak biasanya dia pulang dengan wajah lelah seperti ini. Selelah apapun George, dia selalu memberiku senyumannya.
“Tidak apa-apa. Hari burukmu sudah berlalu. Kau pasti lelah, kan?”
“Hmm.”
“Mandilah dan turun untuk makan. Kakak akan menemanimu makan malam.”
George melepas pelukannya dengan enggan dan mencium pipiku. “Aku ke atas dulu.”
“Langsung turun untuk makan, okay?”
Aku memperhatikan George yang menghilang dibalik meja bar. Kuhembuskan napas panjang dan kembali duduk sebelum memeriksa handphoneku. Baru kali ini aku tertarik untuk menunggu balasan pesan seseorang. Biasanya bahkan aku tidak akan membalas pesan yang tidak terlalu penting, kecuali George tentu saja.
-Kau tidak mengatakan akan pulang sore itu.-
Aku tidak harus memberitahumu, kan?
-Kau bilang kita berteman.-
Sepertinya aku bilang kalau aku akan memikirkannya.
Aku kembali menyimpan handphoneku saat melihat seorang pelanggan berjalan kearah kasir. Kami melakukan transaksi dengan cepat dan jam kerjaku habis. Fara akan menggantikanku setelah ini.
Aku membawa handphoneku dan masuk ke dapur. Aku memasak fettucini cream mushroom dan salad bacon. Karena aku adalah pemilik café ini, aku bebas melakukan apapun yang kumau. Aku keluar masuk dapur semauku dan menggunakan semua bahan dengan bebas.
“Kak.”
Aku mendongak setelah meletakkan kedua piring dinampan. George berdiri diambang dapur dengan rambut yang masih basah. Dia baru saja mandi.
“Cari meja dulu. Kakak akan segera menyusul.”
George menghilang dan aku segera menyelesaikan masakan ini. Setelah mengambil dua botol jus, aku menyusul George yang sudah duduk di meja untuk dua orang didekat dinding kaca, tempat favorit kami. Entah bagaimana, kami memang selalu duduk disana kalau sedang makan di café.
“Makanlah.”
George meletakkan piring-piring di meja dan meminum jus apelnya. Aku menopang daguku dan memperhatikannya makan. Tangan kiriku bergerak dengan gatal karena melihat rambut setengah basah berantakannya.
“Kenapa tidak mengeringkan rambutmu dengan hairdryer?”
“Nanti juga kering. Sama saja.”
“Hmm. Apa yang terjadi di kampus hari ini? Apa sesuatu yang buruk terjadi?”
George menghentikan makannya dan meminum jusnya lagi. Kulihat dia semakin gugup dibawah tatapanku. Yah, walaupun aku menatapnya dengan biasa-biasa saja, dia tetap merasa gugup.
“Hanya beberapa masalah dengan dosen.”
Aku mengangkat alisku penasaran. Masalah dengan dosen? Sejak kapan bocah ini pernah bermasalah dengan dosen?
“Ada apa? Kau berjanji tidak akan berbohong pada kakak mengenai kuliahmu lagi.”
Aku menyilangkan tanganku diatas meja dan mencondongkan tubuhku mendekat, mencoba membaca mata George. Dia mencoba mengalihkan tatapannya, tapi aku melotot sebelum dia sempat melakukannya.
“George. Tell me, atau kakak akan marah padamu.”
“Maafkan aku.”
George menatapku ragu dan meletakkan kedua tangannya dipaha. Bahkan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Masalah apa yang sedang terjadi sebenarnya?
“George.”
“Ada uang kuliah yang tidak aku beritahukan pada kakak.”
“George, how many times do I have to tell you? Just tell me everything. And you keep refusing. How much?”
George menutup matanya selama beberapa detik sebelum akhirnya berani menatapku lagi. “Aku pikir keuangan kakak sedang bermasalah. Kakak bahkan menjual mobil kakak. Aku tidak mungkin meminta uang kuliah disaat seperti ini.”
Aku menghembuskan napasku panjang dan menatapnya lembut. “George, keuangan kakak baik-baik saja. Kakak menjual mobil untuk keperluan lain, bukan karena kakak kekurangan uang. Seharusnya beritahu kakak sebelum dosen menegurmu. Kakak tidak ingin kau memikirkan masalah administrasi lagi. Semua itu urusan kakak. Kau hanya perlu belajar dan menikmati masa kuliahmu. Kau dengar tidak?”
“Bukankah ini terlalu berat untuk kakak?”
Aku menatapnya dengan bingung. Apa yang akan dibahas bocah ini sekarang?
“Kakak sudah merawatku selama 7 tahun. Bahkan saat kuliah dulu, kakak tetap mengirimiku uang setiap bulannya. Kupikir aku bisa memakai tabunganku untuk membayar uang kuliah itu kali ini. Tapi ternyata aku hanya bisa membayar setengahnya. You’ve done too much for me. Aku tidak ingin membuat kakak melupakan kepentingan kakak untukku.”
Aku menarik tangan George dan menggenggamnya. “George. Asal kau tahu. Kakak bukan melakukan semua ini karena beban atau tanggung jawab apapun padamu. Kakak melakukan semua ini karena kakak ingin kau mendapatkan semua yang terbaik. Kakak tidak ingin kau mengalami apa yang kakak alami dulu. Sekarang, kau bisa menikmati masa kuliahmu, kau bisa berkencan dengan seorang gadis, hangout with boys, just have fun.”
“Kakak.”
“Kau adalah segalanya untuk kakak, George. Kau adalah yang terpenting. Kakak melakukan semua ini untuk ketenangan dan kedamaian kakak. Kalau kau menolak apa yang kakak berikan, maka sama saja kau menolak kakak.”
“Tidak, kak.” Dia menyelaku dengan cepat, “Aku tidak tahu lagi apa yang aku pikirkan, kak. Aku merasa menjadi beban untuk kakak. Semua pikiran itu membuatku kalut dan tidak ingin terlalu merepotkan kakak. Kakak selalu memberiku yang terbaik dan aku tidak bisa melakukan apapun untuk membuat kakak merasa bahagia.”
“Dengan kau selalu berada disamping kakak, sudah membuat kakak merasa bahagia, George.”
“Kakak,”
Aku melepas tangan George dan menahan napasku. “Hentikan argumen ini. Kakak tidak ingin menangis lagi atau merasa tertekan, George. Kakak akan mengirim lagi uang bulananmu dan uang kuliah.”
“Kak,”
“End of story. Kakak pusing.”
Aku berdiri dan menuju meja bar. Sarah ada disana dan aku mendesah lega. “Aku tidak akan ikut beres-beres nanti. Kau handle semuanya, okay? Maafkan aku.”
“Siap, bos. Serahkan semuanya padaku. Istirahatlah.”
Aku mengangguk dan naik ke lantai atas. Aku masuk ke kamarku dan menghempaskan tubuhku ke ranjang. Kututup mataku dengan satu lengan, menghalangi cahaya yang menyinari kamarku. Aku lelah dengan semua perdebatan ini. Dan ketika George mengetahui semuanya nanti, aku tidak tahu apa yang akan terjadi.
Dia bisa sangat menakutkan kalau sedang marah. Aku tidak bisa membayangkan dia pergi dariku dan tidak kembali lagi. Dia satu-satunya yang kumiliki sekarang, kalau dia pergi meninggalkanku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Aku bisa benar-benar hancur.
“Kakak.”
Aku menghapus air mata disudut mataku dan melihat George berdiri diambang pintu. Dia terlihat bersalah dan berjalan dengan ragu ke arahku. Aku segera duduk dan memberinya ruang untuk bicara.
“Maafkan aku.”
“Hmm.”
“Kak, sungguh, aku minta maaf.”
“Kakak tahu.”
“Aku tidak akan melakukannya lagi.”
“Kau berjanji tadi malam dan baru saja melanggarnya. Kakak tidak yakin kau tidak akan melakukannya lagi.”
George berjalan mendekat padaku dan bersimpuh didepanku. Aku yang melihatnya langsung melotot tidak percaya dengan apa yang sedang dilakukannya. Dia bersimpuh didepanku berarti dia merendahkan harga dirinya untukku. “What are you doing George?”
“Maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku berjanji. Kalau dengan melakukan semuanya membuat kakak bahagia, aku tidak akan menolaknya. Kakak bisa lakukan apa yang kakak mau. Jadi, aku tidak akan melakukannya lagi kalau itu membuat kakak sedih. Maafkan aku.”
Aku menghembuskan napasku lelah dan melemaskan punggungku yang terasa tegang. “Kakak tidak marah padamu, George. Kau tidak perlu minta maaf. Kakak hanya sedang banyak pikiran akhir-akhir ini, jadi semuanya membuat emosi kakak tidak stabil.”
“Tetap saja aku membuat kakak sedih.”
“Baiklah. Peluk kakak.”
George mengangkat wajahnya dan tubuhnya memelukku. Karena dia masih setengah berlutut dan aku sedang duduk di ranjang, badan kami menjadi sama tinggi. Aku tidak kesusahan mengusap kepalanya dan bisa menyerukkan wajahku ke lehernya.
“Kakak mencintaimu, George.”
“I love you too.”
Setelah menenangkan pikiran dan emosiku, aku melepas pelukanku. Kuusap pipinya dan tersenyum lembut. “Kembalilah ke kamarmu dan istirahat. Kau pasti lelah. Maafkan kakak karena perdebatan tadi, ya?”
“H-mm. Kakak tidurlah. Selamat malam.”
George mencium keningku dan meninggalkan kamarku sebelum menutup pintunya. Aku kembali membaringkan punggungku ke ranjang dan menarik handphone dari saku celana. Karena berdebat dengan George, aku melupakan Viktor.
-Baiklah. Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau sedang bekerja?-
-Georgie?-
-Sepertinya kau sedang sibuk. Maaf aku mengganggu.-
Aku meletakkan handphone di atas nakas dan memutuskan untuk tidur. Satu hari melelahkan kembali terjadi dan aku harus menyiapkan tenaga untuk hari berat lainnya yang akan datang.
.
.
.
“George! Apa kau tidak kuliah?”
Aku meletakkan dua piring nasi goreng ke meja makan dan mengambil jus jeruk dikulkas. Ini sudah hampir jam kuliah George, tapi dia tidak kunjung keluar dari kamarnya. Apa mungkin dia belum bangun? Tidak biasanya sekali.
“George!”
Masih tidak ada sahutan. Setelah meletakkan dua gelas di meja, aku berjalan ke kamarnya. Kuketuk beberapa kali tetap saja dia tidak menjawab panggilanku.
“Kakak buka pintunya, ya?”
Aku menekan kenop dan melihat keadaan kamar yang gelap. Hanya lampu tidur yang menyala. Jendela terbuka dan tirainya sudah tidak pada tempatnya. Apa dia tidak menutup jendela kamarnya semalaman? Bagaimana kalau ada penjahat yang masuk dari sana? Bocah ini.
“George? Ini sudah jam 9. Kuliahmu satu jam lagi. Apa kau tidak akan bangun?”
Selimut ditubuhnya masih bergeming. Ada apa lagi dengannya? Aku menghela napas dan melangkah ke ranjangnya. Aku duduk disana dan membuka selimut yang menutupi kepalanya. George memang masih tidur, tapi dengan keringat diseluruh tubuhnya. Aku mencoba menyentuh keningnya dan mengernyit. Dia demam, setelah sekian lama.
“George? Bangun.”
Erangan keluar dari mulutnya saat aku mencoba membalik badannya ke arahku. Dahinya berkerut membuatku sedikit panik. Dia sudah lama tidak sakit dan aku pikir tidak akan lagi. Apa mungkin dia kelelahan?
“George! Bangun, George.”
Setelah memaksanya bangun, akhirnya dia membuka matanya perlahan. Aku mengusap keningnya yang basah oleh keringat dengan handuk. Dia pasti merasa sangat pusing.
“Bagaimana perasaanmu? Pusing?”
“Kakak.”
“Kakak disini. Kau bisa bangun tidak? Kita ganti pakaianmu dulu ya?”
Aku mengambil kaus putih dan celana kain milik George dari lemari. Kubantu dia duduk dan melepaskan pakaiannya. Tubuhnya terasa panas dan itu membuatku bergidik. George hanya bisa pasrah saat aku mengganti celana tidurnya.
“Kau tidak bisa berangkat kuliah. Kakak harus menghubungi siapa?”
“Stevan.”
Aku mengambil handphone George di meja belajarnya dan mencari kontak Stevan. Nada sambung terdengar untuk beberapa saat sebelum suara berat menyahuti panggilanku.
-What’s up, bro?-
“Hallo? Dengan Stevan?”
Aku mengompres kening George sambil menunggu jawaban Stevan. George terdengar merintih pelan dan menatapku kesakitan. Aku mengusap pipinya dan tersenyum menenangkannya.
-Ini siapa? Bukankah ini handphone George?-
“Iya. Aku kakaknya.”
-Oh. Ada apa kak? George dimana?-
“Bisa kau izinkan George hari ini? Dia tiba-tiba demam dan tidak bisa bangun.”
-Dia baik-baik saja?-
Aku tersenyum mendengar kekhawatirannya. Dia pasti seorang teman yang baik. Suara cemasnya bukanlah kehobongan, dan aku yakin dia sangat dekat dengan George. “He’ll be fine. Izinkan dia, ya?”
-Baik, kak. Aku akan meminta izin dosen nanti. Aku akan menjenguk George selesai kuliah.-
“Terima kasih, Stevan. Kau bisa datang kapan saja.”
-Sama-sama. Aku tutup dulu ya, kak.-
Aku meletakkan handphone ke nakas saat panggilan sudah dihentikan. Aku menarik selimut George sampai menutupi dadanya. “Kau makan dulu sebelum minum obat ya?”
Dia hanya bisa mengangguk lemah dan membuatku tersenyum sedih. Lebih baik dia terus membentakku daripada terbaring lemah seperti ini. Aku benar-benar tidak bisa melihatnya sakit seperti ini.
“Tunggu sebentar. Kakak akan memasak bubur dan turun ke bawah. Kakak akan kembali lagi nanti.”
Setelah mendapat persetujuan George, aku keluar dari kamarnya dan memasak bubur. Sambil menunggu bubur matang, aku turun ke bawah membawa piring nasing goreng milik George. Daripada kubuang, lebih baik kuberikan pada Sarah atau Fara. Tidak baik membuang-buang makanan.
“Sarah!”
Aku berhenti dimeja bar dan meletakkan piringku. Papan CLOSED masih terpasang dipintu kaca café. Biasanya kami buka jam 10 pagi, tapi biasanya pegawaiku sudah datang satu jam sebelumnya.
“Sarah!”
Aku menoleh saat mendengar langkah kaki dari etalase makanan. Sarah mendekat dengan sapu ditangannya. “Kau mau sarapan? Aku ada nasi goreng milik George.”
Sarah duduk disampingku dan melirik nasi goreng dimeja. “Kenapa bukan George yang memakannya?”
“George sakit. Aku sedang memasakannya bubur.”
Alisnya naik dan dia menatapku penuh selidik. “Kau apakan bocah satu itu? Apa kau memarahinya kemarin?”
“Mana bisa aku memarahinya? Dia kelelahan. Sudahlah, aku naik lagi, okay? Mungkin aku akan turun setelah keadaannya membaik.”
Sarah mengangguk dan tersenyum. “Berhentilah bersikap seolah kau pegawai disini. Ini cafemu, kau bisa melakukan apapun tanpa meminta izin.”
Aku mengedikkan bahu dan meninggalkannya dibelakangku. Yah, aku sudah terbiasa melakukan apa yang pegawaiku lakukan. Jadi, tidak mudah kalau hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun.
“Terima kasih sarapannya. Aku akan memakannya.”
“Ya.”
Aku naik tangga dan langsung menuju dapur. Buburnya sudah jadi, dan beruntung belum hangus karena kutinggal cukup lama. Dengan cepat aku menyiapkan bubur dan obat penurun panas sebelum membawanya ke kamar George. Dia mungkin sedang menunggu atau kembali tidur.
“George? Kakak bawa buburnya.”
“Hmm.”
“Kakak bantu duduk dulu.”
Kuletakkan nampan dinakas dan membantu George bersandar diatas tiga bantal. Dia meringis saat aku melakukannya. Mungkin karena kepalanya sakit saat dia bergerak. Biasa terjadi pada orang sakit, kan?
Aku menyuapinya sampai bubur dimangkuk habis. Beruntung dia mau menghabiskannya. Padahal kalau dia sedang sakit, dia sama sekali tidak mau memakan apapun. Hanya obat dan teh hangat yang diminumnya.
“Minum obatnya dan istirahat.”
Dia melakukan semuanya dengan baik. Bahkan saat sakitpun dia tidak ingin merepotkanku. Dia sudah bukan George kecilku lagi. George sudah semakin dewasa dan aku hampir tidak mengenalnya. Tiga tahun kepergianku, dan dia berubah drastis. Banyak hal yang kulewatkan selama waktu itu.
Aku mengompres keningnya lagi dan memutuskan duduk dilantai. Kutopang daguku ke ranjang dan memperhatikan wajah pucatnya. Dia kembali menjadi anak kecil saat sakit. Wajahnya kembali terlihat polos dan tenang.
“Tetaplah menjadi adik kecil kakak, George.”
Aku teralihkan saat mendengar handphoneku berbunyi. Siapa yang menghubungiku sepagi ini? Kurang kerjaan sekali orang ini.
Viktor’s calling…
Viktor? Apa dia benar-benar seorang CEO? Kenapa dia terkesan sangat tidak sibuk? Dia seperti pengangguran yang berkelana kesana-sini. “Hallo?”
-Hai, Georgie.-
“Aku sedang sibuk. Ada apa?”
Terdengar kekehannya disana yang membuatku mengernyit bingung. “Kau gila?”
-Aku ada dicafemu, tapi tidak melihatmu dimanapun. Kau bisa menemuiku? Temani aku sarapan.-
“Kau dimana?”
-Dicafemu. Aku bertanya pada baristamu, kau tidak bekerja hari ini.-
“Tunggu sebentar.”
Aku mematikan sambungan dan bangkit berdiri. Bagaimana bisa Viktor ke sini? Ada apa dengannya sebenarnya?
“Kakak ke bawah sebentar. Tekan belnya kalau ada sesuatu, ya?”
Aku mencium keningnya dan meninggalkan kamarnya. Dengan langkah perlahan, aku menuruni tangga dan berdiri disamping bar. “Dimana pria yang mencariku?”
“Dia ada ditempatmu biasa duduk. Itu.”
Aku mengalihkan pandanganku pada meja disebelah dinding kaca. Viktor duduk disana sedang menikmati kopinya. Aku menghembuskan napas panjang sebelum melangkah mendekat. Viktor belum menyadari kehadiranku karena tatapannya masih terpaku ke jalanan.
“Viktor.”
Dia menoleh dan tersenyum lebar. “Kau disini.”
“As you can see. Kau tidak bekerja?”
Dia mengangkat punggungnya dari sandaran dan meletakkan kedua tangannya diatas meja. “Aku masuk lebih siang. Kau tidak sibuk, kan? Berarti kau bisa menemaniku mengobrol.”
Aku mengedikkan bahuku dan bersandar. Kusilangkan kakiku dan memanggil Fara mendekat. “Bisa bawakan aku secangkir cokelat hangat?”
“Tentu, bos. Anda ingin tambah, Tuan?”
Aku melirik Viktor yang ikut menatap Fara. Dia mengangguk pelan. “Ya, satu paket sarapan dan teh hijau.”
“Paket sarapan dan teh hijau. Tunggu sebentar.”
“Terima kasih.”
Fara meninggalkanku bersama Viktor. Aku meletakkan handphone dimeja dan fokus pada Viktor. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”
Dia menyesap habis kopinya sebelum menjawabku. “Aku tidak memiliki teman untuk mengobrol. Jadi maafkan aku kalau mengganggu waktumu.”
“It’s fine. Aku sedang ada waktu hari ini.”
“Terima kasih.”
Aku masih diam menunggunya bicara. Entah kenapa raut wajahnya berubah sedih dan aku tidak ingin menyela ceritanya. Dia pasti sudah mengalami hal yang buruk sebelumnya.
“Ini terjadi 12 tahun yang lalu, saat aku masih 17 tahun. Kami mengalami kecelakaan besar. Orangtuaku meninggal ditempat. Adikku menghilang entah kemana.”
Aku menegang mendengar dia memulai ceritanya. Entah bagaimana kalau semua itu terjadi padaku. Tidak pernah sekalipun terbayang dikepalaku untuk berpisah dengan George. Dia satu-satunya yang kumiliki.
“Kau tahu? Aku terpisah dengan adikku selama 12 tahun.”
“Apa?” Napasku tercekat. Ternyata, ada orang lain yang mengalami takdir yang lebih kejam dariku. Kehilangan kedua orangtuanya dan terpisah selama 12 tahun dari adiknya. Apa yang terjadi padaku bukanlah apa-apa dibanding yang terjadi pada Viktor.
“Ya, dia hanyut disungai dan aku tidak sadar dengan apa yang terjadi saat itu. Aku koma selama beberapa hari dan setelah terbangun, semuanya sudah menghilang dariku. Aku yang masih muda dan shock, tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
Aku menarik napasku dan menatapnya lembut. “Viktor, kau tidak harus menceritakan semua itu kalau kau tidak ingin. Aku bisa memakluminya.”
Dia tersenyum sedih dan menggeleng. “Tidak. Aku menceritakannya karena aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Aku sudah memendamnya terlalu lama.”
Fara datang tepat setelah Viktor mengatakannya. Aku tersenyum berterima kasih padanya dan menyeruput coklat hangatku. Aku tahu Viktor berusaha menahan air matanya dan entah kenapa itu membuatku sedih. Dia pasti sudah menahannya selama 12 tahun. Aku tidak tahu bagaimana dia menghadapi semuanya sendirian selama ini. Dia pasti seseorang yang kuat.
“Makanlah dulu, Viktor.”
“Ini pertama kalinya kau menyebut namaku.”
“Tidak. Itu bukanlah hal yang penting.”
Aku melihatnya makan dengan tenang. Sesekali meminum cokelatku, aku memperhatikannya dalam diam. Kurasa kemarin aku tidak terlalu memperhatikan wajahnya. Dia sangat tampan, jelas. Rahang dan hidungnya sangat tegas. Matanya tajam dengan tulang pipi yang menonjol. Rambutnya jelas berwarna tembaga khas orang eropa.
Tinggi badannya sedikit lebih tinggi dari George, jadi mungkin sekitar 180 cm. Urat ditangannya terlihat samar membuatnya terkesan seksi. Semuanya terlihat sempurna dimataku, apalagi pantat penuhnya itu.
“Jangan melihatku seperti itu. Nanti kau jatuh cinta padaku.”
Aku mendengus dengan tidak percaya dan mengalihkan pandanganku pada jalanan diluar. Aku bisa mendengar kekehan Viktor samar-samar. Dia pasti berusaha keras untuk tidak tertawa didepanku.
“Jadi, kau ingin melanjutkan yang tadi atau tidak?”
Viktor melirik jam tangannya dan mengangguk. “Kurasa aku masih bisa bercerita beberapa lagi sebelum berangkat bekerja.”
“Go on, then.”
Dia meneguk habis teh hijaunya sebelum memulai. “Sampai dimana aku shock dan bingung, pikiranku sempit waktu itu. Pengacara dan sekretaris daddy yang mengurus semuanya. Aku mencoba mencari kabar tentang adikku, tapi semuanya tidak membuahkan hasil. Aku frustasi untuk waktu yang lama sebelum akhirnya depresi. Beberapa tahun tidak ada kabar, aku sempat merasa putus asa. Perusahaan dan kuliah membuatku lelah dan tertekan.”
Sepertinya aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. Frustasi. Depresi. Pikiran sempit. Dan jawabannya hanyalah satu.
“Aku mencoba bunuh diri. Entah apa yang aku pikirkan waktu itu, aku menghabiskan satu botol obat penenangku. Dan berakhir overdosis.”
Ya, bunuh diri.
“Apa adikmu mengetahui hal ini?”
Dia menggeleng dan menatapku sedih. “Dia tidak perlu tahu apa yang terjadi padaku. Masalahnya sudah cukup berat. Dan aku tidak ingin dia mengkhawatirkanku.”
“But, she deserve to know.”
“I know that. Dia sudah cukup bahagia sekarang.”
“Viktor.”
Dia menatapku tidak setuju dan melanjutkan ceritanya. “Itu saat aku berusia 19 tahun. Sahabatku, Keenan, dia menemukanku terkapar dikamar mandi. Dia langsung membawaku ke rumah sakit dan akhirnya aku terselamatkan, tapi aku tidak merasa senang sama sekali. Aku terus berpikir kenapa aku tidak mati saja waktu itu? Kenapa Keenan datang disaat aku memutuskan untuk mati?”
Aku mencengkeram lengan kursi dan menatapnya sedih. Mungkin dia sangat frustasi dengan kehidupannya saat itu. Tapi bagaimanapun bunuh diri bukanlah solusi untuk semua masalahnya. Itu hanyalah sikap pengecut karena tidak mau menghadapi kenyataan. Dia melarikan diri.
“Aku hanya bisa menerima keadaan, sekali lagi. Keenan menyadarkanku kalau segalanya belum berakhir. Aku ingat dia mengatakan ini dulu, ‘Kau pikir mati adalah jalannya? Bagaimana jika adikmu sedang menunggumu disuatu tempat? Bagaimana kalau dia tahu kakaknya ingin mati sebelum sempat menemukannya? Kau pikir dia akan bangga padamu? Berpikirlah dengan otakmu!’. Dia bahkan masih 17 tahun, dan aku benar-benar dipermalukan olehnya. Aku seperti pengecut yang terus menyangkal kenyataan.”
Viktor mencengkeram cangkir ditangannya secara spontan. “Aku tidak bisa menyerah, akhirnya. Beberapa bulan yang lalu, akhirnya aku berhasil menemukan adik kecilku itu. Dia sempat tidak mengenalku, karena amnesianya. Aku sangat sedih waktu itu. Semua yang kualami tidak sebanding dengan apa yang terjadi pada Katarina. Dia tidak menyerah pada hidupnya, dan aku menyesal karena pernah berpikir untuk meninggalkannya.”
“Kemudian beberapa waktu yang lalu, kenyataan kembali menamparku. Adikku memiliki trauma, entah apa yang terjadi dulu. Dia kembali diteror oleh orang yang melukainya dulu. Dia disiksa dipanti asuhan, dan aku baru mengetahuinya belum lama ini. Dia bungkam dan tidak mengatakan apapun padaku atau kekasihnya.”
Kenyataan memang tidak akan seindah apa yang kita bayangkan atau pikirkan. Semuanya bisa menjadi sangat kejam pada kita. Sekuat apapun kita berusaha, kenyataan tidak pernah sejalan dengan pikiran kita.
“Kami berlibur ke Bali kemarin karena Katarina baru saja menerima teror lainnya. Aku hanya takut, orang itu mengambil Katarina dariku. Aku takut dia akan memisahkanku dengan adikku. Kenyataan memang kejam, kan?”
Viktor menghembuskan napasnya panjang dan menatap keluar. Raut wajahnya menunjukkan segalanya. Dia kacau, takut, sedih dan khawatir. Yang terjadi memang sangat berat. Aku tidak berharap hal seperti itu terjadi padaku atau siapapun.
“Aku sangat sibuk, sebenarnya. Pekerjaan menuntut banyak dariku. Tapi setelah kembalinya adikku, aku berusaha ada disetiap dia membutuhkanku. Aku ingin menebus 12 tahun yang kami lalui tanpa satu sama lain. Tapi dia sekarang sudah menemukan belahan jiwanya, waktunya denganku hanya di rumah.”
“Adikmu tidak mungkin melupakanmu, Viktor.”
Dia mendengus pelan. “Ya, aku tahu. Tapi Keenan menyita banyak waktu darinya. Aku tidak bisa menyalahkan mereka yang saling jatuh cinta. Aku hanya merasa cemburu dengan Keenan karena menerima banyak perhatian dari Katarina.”
Ini jelas bukan salah siapapun. Mereka saling jatuh cinta. Sekuat apapun rasa cinta pada kakaknya, pasti lebih banyak untuk pria yang dicintainya. Dan Viktor hanya merasa kalau waktunya bersama Katarina berkurang lebih lagi. Dia iri karena tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengan adiknya.
“Kalau begitu, kau harus menemukan wanita yang kau cintai. Kau akan merasakan apa yang mereka rasakan.”
Telinganya memerah walau hanya beberapa detik. “Aku sedang mencobanya. Wanita ini sangat sulit didekati.”
Entah hanya perasaanku saja atau bukan, tapi Viktor menatapku dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Bukankah itu adalah maksud tersembunyi? Apakah dia menyukaiku?
“Apa kau merasa bersalah pada Katarina?”
“Ya. Kurasa semua yang terjadi padanya adalah kesalahanku. Kau tahu, dia tidak akan terlempar dari mobil kalau aku tidak membiarkannya melepas seatbeltnya. Aku membiarkannya duduk dipangkuanku, dan saat kecelakaan itu terjadi, dia terlempar. Semua itu salahku.”
Aku menyandarkan punggungku dan bersedekap. Kalau dipikir dengan logika, mungkin dia memang salah. Tapi kita tidak tahu bagaimana takdir akan menuntun kita. Bisa saja, kalau Katarina tetap memakai seatbeltnya, yang selamat hanya Viktor. Katarina bisa mengalami kondisi yang lebih parah kalau tetap terjebak didalam mobil. Dan secara tidak langsung, Viktor sudah menyelamatkan nyawa Katarina.
“Kau tahu apa yang kupikirkan, Viktor?”
Dia menatapku bingung dan menggeleng. “Apa?”
“Kau tidak bisa menyesali perbuatanmu itu. Kau mungkin salah dengan membiarkan adikmu melepas seatbeltnya. Tapi tidak ada yang tahu kalau keadaannya akan lebih baik dengan tetap terjebak didalam mobil. Aku benar, kan?”
“Memang. Adikku juga mengatakan itu.”
“Kalau begitu, apa lagi yang kau sesalkan? Adikmu tidak menganggapmu bersalah, dan dia baik-baik saja sekarang. Dan tanpa sadar, kau sudah menyelamatkan nyawa adikmu.”
Dia mengacak rambutnya frustasi dan mendengus keras. “Kau tahu, perasaan yang tidak bisa meninggalkanmu? Aku merasa tercekik, dan tidak ada yang bisa membuatku merasa lebih baik selain tetap merasa bersalah. Itu terjadi dengan sendirinya, Georgie. Aku tidak bisa mengontrolnya. Setiap kali melihat adikku tertidur dengan mimpi buruknya, rasa bersalah itu kembali menamparku. Seharusnya aku menemukannya lebih cepat. Seharusnya aku tidak sempat menyerah. Seharusnya aku mencarinya ke semua tempat. Banyak kata seharusnya yang berputar dikepalaku.”
Aku menghembuskan napas lelah dan menatapnya tenang. “Kalau begitu terus saja merasa bersalah seumur hidupmu. Dan adikmu akan semakin jauh darimu. Kau mungkin akan membuatnya lelah dengan semua rasa bersalahmu, dengan ketakutanmu itu.”
Dia menatapku tidak percaya, tapi aku memotongnya dengan cepat. “Waktumu bekerja, Viktor. Ada seseorang yang harus aku jaga. Sampai jumpa.”
Aku meraih handphone dimeja dan melangkah dengan cepat ke meja bar, sebelum naik ke lantai dua. Aku tidak mendengarkan panggilan Viktor dibelakangku. Mau bagaimana lagi, aku tidak suka dengan seseorang yang terus merasa bersalah tanpa memikirkan perasaan orang lain. Viktor sama seperti George. Mereka sama-sama merasa bersalah dan tanpa sadar membuat orang lain sedih.
“Menyebalkan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)
RomanceCerita ini tentang Georgia Alexander (25), gadis dengan semua kenangan masa lalunya. Setelah menghadapi segala penderitaan hidupnya, dia bertemu dengan Viktor Junior Black (29), seorang CEO yang dianggapnya bodoh. Perjalanan kisah mereka menjadi cob...