Chapter 11

868 53 1
                                    

Viktor’s POV

Sekali lagi, aku hanya bisa mengganti saluran televisi dengan malas. Sudah malam, dan Georgia tidak menghubungiku sama sekali. Kupikir dia hanya sedang sibuk dengan cafenya yang baru, tapi seharusnya dia masih bisa mengirimiku pesan singkat. Jadi sepulangnya dari kantor, aku hanya sempat membersihkan diri di rumah sebelum melaju ke tempat kekasihku itu.

Tadi pagi, dia hanya bilang ingin mengurus beberapa hal di cafenya yang ada di pinggiran kota. Sempat terjadi perselisihan kecil karena dia kembali menolak Richard yang kukirim untuk mengantarnya, yang berakhir dengan kekalahanku. Tapi saat aku sampai dan hanya menemukan George yang baru bangun tidur, aku mendesah dengan kesal.

Handphone sama sekali tidak aktif sejak siang, dan George bahkan tidak tahu keberadaan kakaknya.

“Kakak pasti pulang. Dia tidak akan pernah tidur di tempat lain tanpa memberitahuku.”

Aku menatap George yang terkesan lebih tenang dari biasanya saat menyangkut tentang Georgia. Biasanya dia yang paling tidak bisa diam dan selalu panik berlebihan, tapi sekarang aku merasa menjadi yang lebih muda darinya.

“Ini sudah malam, George, dan kakakmu tidak menghubungi kita sama sekali, since morning.”

“Aku tahu. Setidaknya tunggu sebentar lagi, setelah itu kita mencarinya.”

George duduk disebelahku dan meraih handphonenya di meja. Dia sibuk menekan beberapa tombol dan mengacuhkanku, lagi.

“Kau sudah bertanya dengan pegawai di sana? Apakah Georgie masih di sana?”

“Belum, kupikir kakak sedang tidak ingin diganggu.”

Aku berdecak dan melempar remote dengan asal, tidak peduli kalau barang itu bukanlah milikku dan ini bukanlah rumahku. Rasa panik itu sudah melandaku sejak tadi pagi, dan tidak akan hilang kalau tidak juga ada kabar dari gadisku.

Entah untuk yang keberapa kalinya, aku memeriksa handphoneku dan melihat beberapa pesan laporan dari Richard.

Nona tidak ada di café, Tuan. Pegawai di sana mengatakan kalau Nona sudah pergi sejak siang.

Aku menekan beberapa tombol sebelum suara Richard menyahutiku diseberang. -Yes, Sir?-

“Kenapa kau tidak menghubungiku sejak tadi!? Dia sudah pergi sejak siang, dan kau tidak mengikutinya?!” Nada suaraku naik beberapa oktaf, dan televisi menjadi sasaran tatapan tajamku.

-Maafkan saya, Tuan. Istri saya sedang sakit, jadi saya harus kembali ke rumah setelah memastikan Nona sampai di café.-

Jawabannya membuatku sedikit melunak. Kalau sudah bersangkutan dengan istrinya, aku tidak bisa marah sama sekali. Aku tahu betapa Richard mencintai istrinya itu, dan aku tidak bisa menyalahkannya kalau dia mengkhawatirkan istrinya yang sedang sakit.

“Baiklah, maaf karena sudah membentakmu. Kau bisa mengambil cuti, Jonas akan menggantikan tempatmu sementara.”

Suara Richard penuh kelegaan, membuat amarahku hilang seketika. - Terima kasih, Tuan. Saya akan menghubungi Jonas untuk mencari Nona.-

“Okay. Semoga istrimu cepat sembuh.”

Aku memutuskan sambungan dan memasukkan handphone ke saku celana. Tatapan George tidak lepas dariku sejak tadi, membuatku akhirnya membalas tatapannya.

“Apa?”

“Kakak tidak ada di café?”

Aku bergumam kecil dan mengusap rambutku kasar. “Ya. Richard baru saja menghubungiku dan mengatakan Georgie sudah tidak ada di café sejak siang.”

Akhirnya aku melihat ekspresi gusar milik George seperti biasa. Dia menatapku dengan linglung sebelum mengutak atik handphonenya.

“Pelacaknya mati. Sepertinya handphone kakak mati, makanya dia tidak menghubungi kita. Tapi, dia hafal nomorku, kenapa tidak menghubungiku sama sekali?”

Aku mengangkat alisku dan melirik handphonenya. Hanya sebuah aplikasi pelacak yang bisa kulihat sebelum dia melemparkan handphonenya ke meja dengan kasar.

Aku masih menatapnya dengan bingung saat dia bangkit dan menarik jaketnya dari gantungan.

“Kau mau ke mana, George?”

“Mencari kakak.”

Dia terlihat gusar, dan menurutku itu tidak baik. Tadi dia membuatku bingung dengan sikap tenangnya, sekarang dia justru membuatku khawatir dengan tingkahnya.

“Kita cari bersama. Kau pikir aku tidak akan melakukan apapun?”

“Kalau begitu cepat.”

Bunyi nada dering milik George memecah keheningan kami. Aku menatap handphone itu dan menemukan nomor tanpa nama di sana. Tanpa menunggu persetujuannya, aku mengangkat telepon itu dan memasang mode loudspeaker.

-Hiks.-

Jantungku serasa berhenti saat mendengar isakan itu. Jelas sekali kalau itu adalah suara Georgia. Tapi sepertinya George bergerak lebih cepat dariku, karena dia sudah menyambar handphonenya dari tanganku dan menjawab dengan gusar.

“Kakak? Apa yang terjadi?”

-Hiks. George…-

“Apa yang terjadi?!” Aku bahkan bisa mendengar dia hampir memekik dengan marah.

-Tadi, kakak naik bus untuk pulang, hiks, tapi sepertinya kakak tertidur.-

“Di mana kakak?”

Isakan di sana membuatku bertambah gusar. Georgia jelas sekali sedang merasa panik dan bingung.

-Tidak tahu. Di sini sangat sepi, kakak takut.-

George memejamkan matanya sembari merutuk kecil. Aku segera mengeluarkan handphoneku dari saku dan menghubungi Thomas, sepupuku. Dia seorang detektif, pasti bisa melacak Georgia dengan nomor yang dia pakai.

Aku butuh bantuanmu. Tolong lacak nomor yang baru saja kukirim padamu.

Sebenarnya aku tidak begitu yakin dia akan melihat pesanku, karena dia pasti sedang menghabiskan waktunya dengan istrinya, tapi kuharap dia tidak begitu sibuk.

“Apa tidak ada seorang pun di sana? Tidak ada rumah sama sekali?”

-Hiks. Tidak ada.- Isakannya semakin keras, dan aku menatap handphoneku dengan penuh harap. Dan muncullah sebuah pesan Thomas. Dia tidak mengatakan apapun, hanya mengirimkan sebuah lokasi.

Aku berterima kasih padanya sebelum menyambar kunci mobil di meja. Setelah menyimpan handphone di saku, aku menarik lengan George untuk turun.

“Kita mau ke mana?”

“Menjemput kakakmu.”

George mengikuti langkah kakiku dengan tergesa kemudian masuk ke kursi penumpang. Aku menatap tetes-tetes hujan yang mengguyur jalanan dengan tajam. Cuaca sedang tidak menentu, dan gadisku sedang berada entah di mana.

Kuharap dia tidak kehujanan, dan kedinginan.

Setelah memastikan George memasang sabuk pengamannya, aku melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Walau hujan membuat jalanan licin, aku sama sekali tidak menurunkan kecepatan mobil. Lebih cepat kami menemukan Georgia, maka lebih baik.

“Kakak masih di sana?”

-Ya.-

Aku hanya meliriknya sebentar dan mencengkeram stir mobil sampai buku jariku memutih. Aku merasa sangat marah, tapi entah pada siapa.

“Berhentilah menangis, Kak.”

-Hiks. Kakak takut.-

George berusaha melembutkan suaranya walau aku bisa melihat rahangnya mengeras. Dia sama sepertiku, tidak suka melihat Georgia menangis, apalagi tanpa kami di sisinya.

“Kami akan menjemput kakak sekarang. Jadi jangan takut lagi, ya. Please, don’t cry.”

-Di sini tidak ada orang, George. Gelap sekali.-

“Apa kakak kehujanan?”

Dia sesenggukan untuk sesaat sebelum menjawab dengan suara seraknya. - Iya. Di sini tidak ada tempat untuk berteduh.-

“Shit!”

Aku mendahului mobil didepanku dengan cepat dan berbelok ke kanan. Lokasi yang diberikan Thomas cukup jauh, jadi aku tidak ingin berlama-lama dengan memilih jalan utama.

“Kami akan cepat. Kakak terus pegang handphonenya, mengerti? Keep in touch.”

-Ya.-

Setelah menemui jalan yang berliku-liku, akhirnya aku hampir sampai. Aku terus saja merutuki genangan-genangan air yang mulai menutupi sisi jalan. Entah bagaimana keadaan Georgia setelah berada di luar dengan cuaca seperti ini.

“Itu kakakmu.”

Aku menepikan mobil dan turun tanpa mematikan mesinnya. Georgia berjongkok dan memeluk lututnya di bawah sebuah pohon besar. Aku berlari menerjang hujan sembari melepas jaket tebal yang kupakai.

Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku karena dia masih saja menunduk. Seluruh tubuhnya basah kuyup dan tanganku bergerak menyelimutinya dengan jaketku.

“Sayang?”

Tidak ada suara menyahuti dan itu membuatku panik. Tanganku bergerak menyentuh lengannya dan sebuah handphone terjatuh ke tanah basah.

Sial, dia pingsan.

“Sayang.”

“Cepat bawa masuk, Kak!”

Aku mengangkat tubuh yang gemetar itu dan memasukkannya ke kursi belakang yang sudah dibuka oleh George. Dia memilih untuk menjaga kakaknya selagi aku menyetir menuju rumah café.

“Badannya sangat panas.”

“Kita pulang dulu. Rumah sakit terlalu jauh, nanti akan kutelepon dokternya saja.”

“Kakak sangat pucat. Is she okay?”

Aku tercekat napasku sendiri dan menginjak pedal gas. Sial, sial, sial. Kupikir saat aku mengizinkannya pergi sendirian, dia tidak akan ceroboh. Tapi, tertidur di bus? Kenapa juga dia naik bus? Aku bisa menjemputnya, atau biasanya juga dia memilih taksi.

“Kak Viktor.”

“She’ll be fine, George. Harus.”

Café sudah ada didepanku, dan aku langsung menepikan mobil. Aku turun lebih dulu dan menyambar payung dijok belakang untuk menaungi George yang menggendong kakaknya.

“Aku akan mengganti pakaiannya, Kakak telpon saja dokternya.”

Setuju tidak setuju, aku meraih handphone dan menghubungi dokter keluargaku untuk cepat datang. Mataku tidak berhenti mengawasi George yang membuka helai pakaian Georgia.

Seharusnya rasa ini tidak muncul, tapi aku langsung menepis tangan George yang hampir saja melepas bra hitam yang dipakai gadisku. Dia menatapku dengan kesal tapi tidak melawan.

“Keluarlah sebentar, aku yang akan menggantinya.”

George menatap kakaknya sebentar sebelum menatapku lama. Aku menunjuk pintu kamar dengan daguku dan dia mendesah kecil. “Jangan lama-lama.”

“Iya.”

Dia langsung keluar tanpa menutup pintu, bocah itu memang. Sembari berdecak melawan gairahku, aku berhasil melepas sepasang pakaian dalam itu dan memasang pakaian yang kering, tanpa bra. Jadi aku memilih memakaikannya sepasang pakaian training lembut yang cukup tebal.

Bagaimana bisa aku memakaikannya bra saat dia tergeletak tak berdaya seperti itu? Aku bukan profesional, okay?

Tepat setelah aku menyelimuti Georgia, George masuk lengkap dengan pakaian keringnya. Aku melirik tubuhku sendiri yang berbalut pakaian basah.

“Kak Viktor ganti baju dulu, aku yang akan menjaga Kakak.”

“Baiklah.”

Aku menyambar pakaian basah Georgia dan melemparkannya ke keranjang pakaian kotor, sebelum meraih sepasang piyamaku yang tersimpan di lemarinya. Karena aku lebih sering berada di sini daripada dirumahku sendiri, akhirnya aku sering meninggalkan beberapa pakaian, jadi tidak perlu repot membawa pakaian ganti lagi.

“Aku akan menunggu dokternya di bawah. Kakak bisa mengompres kakakku dulu?”

Aku segera meraih handuk diwastafel saat mendengar ketokan George dipintu kamar mandi. “Ya, I’ll do it.”

Setelah tidak mendengar sahutan lainnya dari luar, aku menyelesaikan mandiku dan dengan cepat memakai piyama.

Sebuah baskom dengan air hangat didalamnya, kini sudah berada ditanganku. Aku membasahi handuk kecil dengan air itu dan menyeka keringat diwajah Georgia.

Erangan kecil yang keluar dari mulutnya membuatku mengernyit tidak suka. Apakah mungkin kepalanya terasa nyeri walaupun dia tertidur?

“Georgia?”

Dia tidak menunjukkan reaksi apapun kalau dia mendengarkan suaraku. Sepertinya dia benar-benar tidak dalam keadaan sadar.

“Kak Viktor?”

Aku memasukkan handuk ke baskom saat suara George masuk ke telingaku. Dia masuk ke kamar dengan seseorang dibelakangnya.

Aku mengernyit bingung karena tidak mengenal dokter muda itu. Jelas sekali kalau aku menghubungi dokter keluargaku, yang mana adalah seorang pria paruh baya. Tapi yang datang sekarang adalah seorang pemuda yang bisa dibilang tampan, berbalut seragam dokternya.

“Siapa kau?”

Dokter itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya. Aku tidak mempedulikan uluran tangannya, masih tetap saja menatapnya tajam.

“Aku Jared. Doktermu mengirimku ke sini, karena dia ada operasi mendadak.”

“Kenapa dia tidak mengatakannya padaku?”

“Dia baru saja akan berangkat saat ada pasien darurat yang masuk.”

Mungkin sebaiknya aku memikirkan itu nanti. Sekarang yang penting adalah keadaan Georgia. Kalau dia tidak segera diperiksa, aku takut kalau dia harus dirawat di rumah sakit.

“Periksa saja gadisku sekarang. Jangan sentuh apapun yang tidak harus kau sentuh.”

Aku mengabaikan tatapan konyol George padaku dan segera mengawasi setiap gerak gerik dokter itu. Dia mengeluarkan stetoskop dari saku jasnya, memeriksa detak jantung, dan mengukur tekanan darahnya.

“Dia hanya demam biasa, tidak perlu memasang infus atau dibawa ke rumah sakit.”

Desahan lega itu keluar dari mulutku saat Jared akhirnya melepaskan tangannya dari tubuh Georgia. Aku lebih merasa lega karena tangan itu sudah tidak berada di sana, daripada mendengar kalau demam Georgia tidak terlalu parah.

“Aku mengerti.”

“Aku akan memberikan resep untuk menurunkan demam dan beberapa vitamin. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Dia memasukkan peralatannya kembali ke tas dan bangkir berdiri. Aku bergerak mendekat ke ranjang setelah George menggiring dokter itu turun, tanganku menggenggam jemari Georgia yang terasa hangat.

“Wake up, baby.”

Tidak ada sahutan, membuatku mengusap punggung tangannya dengan gusar. Dia tidak pernah sakit, itu adalah satu hal yang kupahami selama ini. Bahkan selelah apapun tubuhnya, dia hanya butuh tidur dan akan baik-baik saja. Aku bahkan sering merutuki kekebalan tubuhnya itu, karena selalu membuatnya berhasil memaksakan diri.

“Bangun, sayang. Kau butuh makan.”

“Kak Viktor ingin makan malam?”

Aku menoleh ke pintu dan menemukan George yang membawa kantung dengan lambang sebuah apotek. Sepertinya dia langsung ke apotek setelah mengantar dokter itu ke bawah.

“Kau memasak?”

“Aku akan memasak bubur untuk kakak. Kalau Kak Viktor lapar, aku bisa membuatkannya.”

Aku mengangguk menyetujuinya sebelum George berlalu pergi. Honestly, aku sangat bangga padanya, untuk beberapa alasan. Pertama, dia terlihat sangat dewasa walaupun usianya jauh dibawahku, dan aku tahu pasti perjalanan hidupnya sehingga kedewasaan itu berkembang dengan baik. Kedua, dia begitu mencintai Georgia, bahkan mungkin melebihi dirinya sendiri. Ketiga, dia tidak pernah mengeluh tentang apapun pada Georgia, bahkan aku pernah melihatnya menggunakan uang tabungannya untuk keperluan uang kampus tambahan, padahal Georgia maupun aku selalu mengatakan kalau keperluan kuliah, adalah tanggungjawab kami berdua, tapi dia masih tetap saja keras kepala. Dan yang terakhir, dia bisa memasak, membuatku sering merasa malu karena kalah dengannya.

Karena Katarina, adikku, yang sekarang sudah bersuami dan jarang pulang ke rumah, aku selalu memperlakukan George seperti adik kecilku sendiri. Mungkin karena akhirnya aku bisa merasakan memiliki adik laki-laki, sering kali aku bertukar pakaian dengan George atau membelikannya beberapa potong saat aku pergi ke luar negeri.

Setelah mendengar cerita Georgia tentang ketakutan George pergi jauh, aku dan gadisku ini jadi sering membawa George jalan-jalan. Ke mall, taman, bioskop, atau wahana bermain. Kami membiasakannya, jadi George bisa sedikit-sedikit menghilangkan traumanya.

Untuk serangan panik Georgia pun, aku jadi sering merasa khawatir. Saat dia ada urusan ke café atau somewhere, aku selalu memantaunya dengan mengirimkan seseorang. Bagaimana kalau dia sampai mengalami serangan panik dan terlibat kecelakaan? Itu adalah hal yang paling mengerikan yang pernah terlintas dikepalaku.

“George…”

Aku menatap bibirnya yang sedikit terbuka dan segera mengusap pipinya. George masihlah orang nomor satu dihidupnya, aku tidak mungkin egois, mengingat bagaimana perjuangan mereka selama ini.

“Sayang? Bangun.”

Aku berusaha membuatnya bangun dengan terus mengusap wajah pucatnya. Mungkin karena dia yang sudah setengah sadar, akhirnya kedua kelopak mata itu terbuka.

“Sayang, Georgie?”

Dia mengerang kecil dan memaksa membuka matanya. Aku tahu kalau dia pasti merasa sangat pusing dan berat dikepalanya.

“Viktor.”

“Ya, aku di sini.”

Setelah beberapa waktu, Georgia akhirnya berhasil membuka matanya dengan sempurna dan menatapku. Aku tersenyum lembut saat matanya berkaca-kaca.

“Viktor.”

“Ya, sayang.”

“I was so scared. I was lost, dan itu sungguh menakutkan.”

“It’s okay, you're safe now. It’s okay, baby.”

Aku segera meraih tangannya yang gemetar dan mengusapnya lembut. Dia ketakutan, dan itu jarang sekali terjadi. Terkadang bahkan dia menjadi sangat mandiri, dan membuatku merasa tidak berguna. Apapun dia lakukan sendiri, bahkan tidak pernah mengeluh, walaupun aku seringkali melihatnya muram.

“Aku tidak akan naik bus lagi, never.”

“It’s okay, baby, tenanglah.”

Dia memaksa untuk duduk, dan aku hanya bisa membalas pelukannya saat dia mulai terisak dileherku. Aku mengusap punggungnya dengan perlahan dan membiarkannya mencurahkan ketakutannya.

“Sudahlah, kau baik-baik saja.”

“Maaf. I should've listen to you.”

“Lain kali jangan membantah, okay? Just this time.”

Untuk beberapa lama, Georgia hanya terisak dileherku dengan tangan yang mencengkeram piyamaku erat. Aku hanya bisa menenangkannya sampai tangisannya itu berhenti.

“Kakak?”

Kami menoleh dan melihat George membawa masuk nampan penuh makanan ke dalam kamar. Aku melepaskan pelukan kami, jadi George bisa menyentuh kakaknya.

“Hei, babyboy. Maaf membuatmu cemas.”

George menggigit bibirnya sebelum memeluk Georgia dan bersandar dibahunya. “Jangan pernah lakukan hal ceroboh seperti itu lagi. Ever.”

“Maaf, it won’t happen again.”

“Jangan berbohong.”

“Kakak tahu, George. I promise.”

.
.
.

“Aku tidur di sini, Kak Viktor saja yang memakai kamarku.”

Aku mengernyit tidak suka dan bergerak mendekat ke arah Georgie. Sudah sejak gadisku sadar, George berhasil memonopolinya. Dan sekarang dia berani menyuruhku tidur dikamarnya?

“No way. Aku tidur di sini. Kau sudah memonopoli Georgia sejak tadi.”

“Tidak bisa! Aku tidur dengan kakakku hari ini.”

Aku melotot semakin kesal dan melirik Georgia yang hanya memperhatikan kami sejak tadi. Dia terlihat polos dan hanya menatap kami saja, membuatku bertambah kesal karena dia terkesan tidak peduli dengan siapa dia akan tidur malam ini.

“Kau sudah sering tidur dengan kakakmu, sekarang giliranku.”

“Tidak! Kak Viktor selalu tidur bersama kakak kalau menginap, kenapa aku yang harus mengalah?”

Salahkan saja ranjang Georgia yang hanya berukuran queen size. Dia tidak pernah setuju untuk mengganti ranjang queen sizenya itu. Kalau ranjangnya besar, aku tidak akan menolak untuk kami bertiga tidur bersama.

“Sayang, aku tidur denganmu malam ini, ya?”

Georgia tersenyum manis dan menatap kami berdua bergantian. “Bagaimana kalau aku tidur sendiri saja malam ini?”

“NO WAY!” Aku tidak tahu siapa yang berteriak lebih keras, yang pasti aku dan George sama-sama tidak setuju dengan pendapatnya. Apa-apaan maksudnya itu? Tidur sendirian? Siapa juga yang akan mengabulkannya?

“Kalau begitu siapa yang menemaniku malam ini? ”

Aku melirik George yang sama denganku, tidak percaya sekaligus kesal. Dia terlihat gemas pada saat bersamaan.

“Aku bisa tidur di sofa, kalau begitu.”

“Baguslah.”

Aku mengabaikan tatapan kesal mereka berdua dan menempatkan diri disisi lain ranjang. Hari ini cukup melelahkan, dan yang kubutuhkan saat ini hanyalah tidur dengan nyenyak. Dan itu hanya bisa kudapatkan kalau aku tidur di sini, bersama Georgie.

“Aku sangat lelah, bisakah aku tidur lebih dulu?”

“Tidurlah, Viktor. George akan menemaniku.”

Aku menguap sekali lagi dan berbaring. Georgia membuka lengan kirinya sehingga aku bisa meringkuk disisi dan bersandar dilekuk lehernya.

“Selamat malam. Aku mencintaimu, Georgie.” Satu kecupan lembut kudaratkan dipelipisnya sebelum aku mulai memejamkan mata dan tenggelam dalam istirahatku.

MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang