Chapter 15

905 54 2
                                    

Georgia’s POV

Bayangkan kalian bangun setelah setahun tertidur. Menurutmu, apa yang mungkin kau rasakan? Apakah bingung, marah, sedih, kecewa, atau mungkin bahagia?

Karena hal terakhir yang kuingat adalah pertengkaran hebat yang terjadi diantara kami bertiga, aku terbangun dengan rasa sakit hati dan kecewa, karena rasanya seperti kenangan yang baru saja terjadi. Tapi kalau sebenarnya itu sudah setahun yang lalu, masih bisakah aku merasa kecewa pada mereka, setelah apa yang mereka rasakan selama aku dalam keadaan koma?

Bukan itu saja yang membuat aku terdiam selama beberapa saat. Entah itu hanya ilusiku atau memang itulah yang sesungguhnya terjadi, tapi kepalaku mendengar begitu banyak suara yang aku sendiri tidak tahu dari mana asalnya. Bahkan saat dokter itu sibuk menanyaiku, aku hanya bisa mengangguk tanpa benar-benar mendengar apa yang dibicarakannya.

Aku bisa mendengar suara George, dan bahkan Viktor saat mereka sungguh tidak sedang membuka mulut untuk berbicara. Seperti suara hati, tapi terdengar samar.

Apakah aku gila karena bisa mendengar suara pikiran mereka? Sepertinya aku tidak pernah mendengar ada kasus orang yang bisa mendengar pikiran manusia. Apa mungkin efek dari benturan dikepalaku waktu itu bisa membuatku menjadi gila?

Aku bahkan tidak berani bertanya pada siapapun karena mereka mungkin saja mengiyakan kalau aku ini sungguh gila.

Pasalnya, aku merasa begitu sehat, walaupun aku tidak yakin kakiku bisa digunakan untuk berjalan dalam waktu dekat. Tapi seperti tidak ada rasa sakit yang tersisa dari kecelakaan yang kualami.

“Selamat pagi.”

Aku mengalihkan pandanganku dari jendela saat mendengar seseorang berbisik.

Kasihan sekali dia, setelah koma setahun, akhirnya justru tidak mau bicara sama sekali.

Bisa kurasakan wajahku memerah karena mendengar perkataan itu. Mungkin diamnya diriku dianggap sebagai suatu kesalahan, makanya mereka mengasihaniku.

Aku terdiam karena sedang mencerna semua yang sudah terjadi, suster. Kenapa kau justru mengasihaniku yang sudah sehat ini?

“Kami akan melakukan pemeriksaan rutin. Apakah kau sudah bisa mencerna makanan dengan baik, Nona?”

Aku hanya mengangguk dan membiarkan dokter itu mengganti kantung infusku.

“Di mana adik dan kekasihmu? Mereka tidak pernah absen di tempat ini.”

Malas untuk menjawab, aku hanya bisa mendengarkan saat dokter itu terus saja bercerita. “Sepertinya Anda tidak tahu, Nona. George, adik Anda, sempat dirawat seminggu setelah Anda dinyatakan koma. Keadaannya syok berat, sehingga tekanan darahnya harus dipantau selama seminggu penuh.”

Apa? George sakit? Kenapa tidak ada yang memberitahuku?

Tentu saja karena kau tidak berbicara sama sekali pada mereka, Georgia. Sepertinya kau jadi lebih bodoh sekarang.

“Apa yang terjadi?”

Tatapan terkejut itu tidak bisa dia tutupi dengan baik, apalagi dengan pikirannya yang terbaca dengan mudah.

“Sepertinya Anda hanya terkejut kemarin ya, Nona. Semua orang berpikir kau tidak akan bicara lagi.”

“Apa yang terjadi pada adikku, Dokter?”

Dia tersenyum sembari memeriksa tekanan darahku. “Dia terlalu syok dengan keadaanmu, lalu pingsan begitu saja. Tapi setelah itu, demam tinggi menyerangnya jadi kami memaksanya tetap dirawat sampai dia sembuh.”

“Tidak ada yang serius dengannya, kan?”

“Tidak perlu khawatir, dia sudah baik-baik saja.”

Setelah kupikir-pikir, aku tidak memperhatikan George dengan baik kemarin. Aku hanya mengingat wajah sedihnya dan suara-suara pikirannya. Apa mungkin aku benar-benar lupa atau tidak begitu sadar kemarin?

“Sepertinya Anda hanya perlu melakukan fisioterapi sebelum diperbolehkan pulang.”

“Terima kasih.”

.
.
.

Suara ketukan pintu tidak membuatku beranjak dari depan jendela. Tadi pagi, aku sudah mulai menjalani beberapa terapi yang memang diperlukan, apalagi mengingat aku tidak menggerakkan tubuhku selama setahun. Bahkan aku sampai banjir keringat hanya untuk melangkah sepanjang 2 meter.

“Kakak?”

Kupikir kakak sedang tidur. Aku menyesal tidak menemaninya terapi tadi. Kalau saja dosen itu mengizinkanku cuti, aku pasti ada di sini.

“Bagaimana terapinya tadi? Kakak lelah?”

Dia datang padaku dan langsung mencium keningku lembut. Sebenarnya aku sudah tidak tahan untuk memeluknya sejak kemarin, tapi dia terbukti tidak datang ke sini dan baru muncul sore ini. Tapi kami memang harus menyelesaikan masalah kami dulu, jadi aku bisa mengobati rasa sakit di hatiku ini.

“Kau masih meragukan kakak?”

Aku bisa melihat ekspresi terkejutnya sekaligus pikirannya yang tersentak. Apakah dia terkejut karena aku bicara padanya atau karena pembahasanku barusan?

“Kakak bicara padaku?”

“Jawab saja.”

Dia menelan ludah sembari menatapku dalam. “Meragukan apa? Aku tidak pernah meragukan kakak sama sekali.”

Aku melengos dan menautkan kedua tanganku dibalik selimut yang menutupi tubuh bawahku. Tidak meragukanku? Lalu apa yang dia katakan terakhir kali?

Itu hanya emosi sesaat, aku tidak pernah meragukan kakak sama sekali.

“Sungguh, Kak. Waktu itu marah menguasaiku, dan aku tidak bermaksud berbicara sekasar itu, maaf.”

“Lalu kau akan selalu lepas kendali setiap kali amarah menguasaimu? Pada kakakmu ini?”

Dia terdiam dan langsung menundukkan wajahnya. Posisinya yang memang berlutut memudahkanku memperhatikan ekspresi wajahnya. Menyesal dan malu, mungkin.

“Maafkan aku.”

“Kau pikir maaf saja cukup?”

Kakak sudah menghukumku setahun ini, apakah belum cukup untuk memaafkanku?

Dadaku terasa nyeri saat pikirannya masuk dikepalaku. Adilkah kalau aku juga mengatakan itu sebagai hukuman? Aku bahkan tidak sadar saat menghukum mereka, apakah itu pantas?

“Then what should I do?”

Memang apa yang aku inginkan untuk menghukumnya? Apakah aku sebenci itu hanya karena satu kalimatnya? Apakah aku sejahat itu pada adik kecil yang selalu kujaga ini?

“Hiks.”

Isakan itu tidak bisa kutahan karena rasa sesak yang tiba-tiba menyerang dadaku. Perasaan itu berkecamuk didadaku, membuatku sesak.

“Kak, ada apa? Apa yang sakit?”

Aku menepis tangannya yang mencengkeram bahuku dan segera memeluk tubuhnya erat. Tubuhnya terasa lebih besar dari terakhir kali, dan otot-ototnya tidak selemah dulu. Apa saja yang kulewatkan selama setahun ini?

“Kakak?”

“Hiks. Sorry, I’m so sorry.”

“Kak, ada apa? Kenapa menangis? Katakan mana yang sakit.”

Aku tidak mempedulikan pertanyaan khawatirnya, karena menangis terasa lebih tepat untuk saat ini. Aku sudah melewatkan begitu banyak hal selama setahun ini tanpa menyadarinya. Kenapa aku harus tidur selama itu? Apakah George makan dengan baik selama ini? Apakah Viktor mengkhawatirkanku juga? Apakah mereka bisa hidup dengan baik selama aku tidur?

“Kakak.”

“Maaf, karena sudah bersikap menyebalkan.”

“Aku yang salah. Ada apa dengan kakak?”

Aku bersandar dibahunya dan mencoba menghentikan tangisanku, menunggu pikiran-pikiran yang mungkin muncul dari George.

Seharusnya aku yang terluka, bukan kakak. Kenapa kakak minta maaf padaku? Aku yang menyebabkan kakak mengalami kecelakaan.

“Kenapa badanmu besar sekali sekarang?”

What? Kakakku memang aneh sekali. Tadi menangis histeris, sekarang mempertanyakan badanku ini.

“Di mana George kakak yang kecil? Kemana kau membawanya?”

Fix, kakak sudah melantur. “Biar aku lihat dulu wajah kakak.”

Aku menghembuskan napas panjang sebelum mengusap wajah basahku. “Kenapa? Wajah kakak bengkak.”

“Sudahlah, kakak tetap saja cantik.”

Karena George yang memaksaku melepas pelukanku, akhirnya dia bisa melihat wajah sembabku. Aku mencebikkan bibirku dengan tidak suka saat dia mengusap sudut mataku, mungkin masih ada sisa air mata di sana.

“Kakak jadi kurus, aku tidak suka.” Tapi kenapa masih saja cantik untukku?

Rasa panas itu menjalar ke pipiku dengan cepat. Kenapa rasanya aku jadi mengetahui segalanya? Bukankah secara tidak langsung, George tidak memiliki privasi lagi dihadapanku?

“Kau juga jadi besar sekali. Apa saja yang kau makan? Apa kau menghabiskan seisi kulkas untuk sehari?”

George terkekeh pelan sebelum tangannya berhenti mengusap keningku. Raut mukanya kembali sedih saat matanya terpaku pada keningku. Ada apa? Apa yang salah dengan keningku?

“Kakak sudah melihat cermin?”

Aku menggeleng dengan tidak paham. Memangnya ada apa dengan wajahku?

“Luka ini tidak akan hilang. Akankah baik-baik saja?”

“Memangnya luka apa?”

Sepertinya kakak tidak ingat detail kecelakaan itu. “Kening kakak sobek beberapa senti, dan bekas luka ini tidak akan hilang.”

Kupikir ada apa karena dia terlihat begitu bersalah. Memangnya kenapa kalau keningku memiliki bekas luka, bukankah aku juga memiliki bekas luka lain dipelipisku?

“It’s fine, bukankah Harry Potter juga memiliki luka di kening?”

Sepertinya kakak butuh bertemu dengan psikiater. Kupikir sebentar lagi kakak akan menjadi gila.

“Kakak tidak gila, George.”

Dia meringis salah tingkah dan bangkit berdiri. “Kakak harus istirahat, bukankah terapi tadi membuat kakak lelah?”

“Hmm.”

George langsung mengangkat tubuhku dan kembali membaringkanku ke ranjang. Aku hanya bisa diam sembari memperhatikannya menata selimutku.

“Kakak sudah bisa mandi?”

“Hmm, tadi suster membantu kakak setelah terapi. Apa kau sudah makan?”

George meraih tas bekal di nakas, aku baru saja melihatnya. “Aku memasak tadi, kakak lapar? Aku membawa makanan kesukaan kakak.”

Aku tersenyum kecil dan mengangguk. Makanan rumah sakit sungguh membuatku muak, sepertinya masakan George seratus kali lebih baik. “Apa yang kau masak?”

“Banyak, ada sandwich, massed potato, nasi goreng, dan ayam pedas favorit kakak. Mau yang mana?”

Dengan sedikit tidak enak, aku memberitahunya kalau ayam itu masih terlalu berat untukku. “Tapi kakak bisa memakan yang lain, kau makan saja ayamnya.”

Sayang sekali, padahal aku sudah menyiapkannya dari pagi. Tapi yang penting kakak makan.

Aku menatap matanya dalam saat dia mengeluarkan beberapa kotak makan dari tas. Walaupun aku ingin sekali, tetap saja perintah dokter nomor satu.

“Setelah kakak sembuh, kau bisa memasakkan apapun untuk kakak. Don’t be upset, okay?”

Kakak benar, yang penting sekarang adalah kesembuhan kakak. “Tidak apa-apa, Kak. Mau aku suapi?”

Aku mengangguk saja dan menerima semua suapannya. Dia tidak berhenti cerita tentang apa yang terjadi selama setahun ini, yang mana Viktor selalu memaksanya untuk tetap kuliah dan melakukan banyak hal lainnya, bahkan selalu memarahinya jika dia melewatkan makan. Menurut ceritanya, Viktor lebih sering tidur di rumah daripada rumahnya sendiri.

“Bagaimana dengan cafe? Apa kau merawatnya dengan baik?”

Dia tersenyum, “Aku sudah berencana untuk membuka cafe cabang yang ketiga.”

“Ketiga?” Aku tercenung sembari mencerna perkataannya, kurasa aku baru saja membuka cabang yang pertama, tapi tadi George bilang yang keberapa? Ketiga?

“Ya, ketiga. Kenapa?”

“Kau tidak sedang bercanda?”

Dia terkekeh sebelum mengeluarkan handphone dari saku celananya. “Aku punya foto-fotonya, sungguh.”

Setelah dia memberikan handphonenya padaku, aku bisa melihat foto-foto cafe yang identik dengan cafe pertamaku, hanya berbeda bagian dalamnya yang disediakan panggung kecil dengan sebuah piano kayu yang indah.

Persis dengan desain yang selalu kubayangkan.

“Siapa yang mendesainnya?”

“Kak Viktor bilang kalau kakak selalu ingin memiliki cafe seperti ini. Karena cafe kedua tidak bisa dirubah lagi, jadi aku membuat cafe baru dengan desain ini. Bagaimana, kakak suka?”

Aku tidak bisa menutupi rasa haru. Awalnya kukira George akan menelantarkan cafeku karena terlalu sibuk dengan keadaanku, tapi dia justru merawatnya dengan sangat baik, bahkan mungkin melebihi usahaku sendiri. “Kemari kau, anak nakal.”

George tersenyum mengerti sebelum masuk ke dalam pelukanku, walau semua orang pasti akan mengira kalau aku yang berada dalam pelukannya.

“Terima kasih, karena tetap merawat dirimu sendiri, dan cafe, dengan baik.”

“Kak Viktor banyak membantuku, dia selalu memberiku banyak nasihat dalam berbisnis.”

Entah kenapa George selalu saja membawa Viktor dalam pembicaraan kami. Mungkin karena dia begitu bangga pada Viktor, atau tidak tahu kalau aku masih sakit hati padanya.

“Berhenti membicarakan Viktor. Kita bahas saja rencanamu ke depan, ya?”

“Kenapa? Kakak masih marah padanya?”

Aku terdiam, dan hanya menatap dinding sembari bersandar dengan nyaman dibahunya. Mungkinkah aku masih marah padanya? Sebenarnya tidak, aku hanya tidak suka dia mengurusi sesuatu yang tidak seharusnya dia campuri.

“Dia membuat kakak kecewa, George.”

“Why are you so tough on yourself? Semua orang tahu kalau Kak Viktor hanya ingin kakak merasa lebih bebas dengan melepas tanggung jawab pada orang itu. Bukankah kita memang tidak lagi berurusan dengannya?”

Tanganku bergerak memeluk punggungnya lebih erat. “Walau bagaimanapun, dia sudah merawat kita, George.”

“Dan Kak Viktor sudah melakukan yang terbaik untuk kita.”

“Dia hanya ingin memamerkan kekayaannya.”

“Kakak.” Suaranya sedikit naik, tapi aku masih tidak ingin melepaskan pelukanku padanya. “Bisakah kakak berhenti keras kepala? Selama kakak tidak bisa merawatku, Kak Viktor selalu ada di sana. Dia terkadang melewatkan waktu tidurnya untuk membantuku menyelesaikan tugas kuliah, menghandle cafe, bahkan saat aku sakit, ada Kak Viktor yang merawatku.”

Aku terdiam mencerna semuanya. Aku tahu, sungguh tahu, tapi kepalaku sekeras batu, aku tidak suka seseorang mengabaikan batas-batas yang sudah kubuat dan melakukan apa yang kubenci.

“Dia terlalu mencintai kakak, itu sebabnya dia melakukan itu. Supaya kakak bisa bebas, kakak bisa memandang masa depan dengan lebih leluasa, tidak memikirkan beban yang tidak seharusnya kakak tanggung sama sekali. Kakak pikir itu tidak cukup?”

Kenapa dia malah membela Viktor sampai seperti itu? Bukankah dia seharusnya berada dipihakku?

Seharusnya kakak tahu kalau Kak Viktor hampir saja depresi lagi, bahkan sempat bunuh diri, lagi. Coba saja Kak Viktor mengizinkanku menceritakan hal itu.

Apa yang baru saja kudengar? Depresi? Bunuh diri? Siapa? Viktor?

“Bisakah kakak memaafkan saja Kak Viktor? Kita sudah sangat menderita tanpa kakak. Bukankah kakak tidak sejahat itu?”

Aku menutup mataku. Memang seharusnya aku tidak sekeras kepala itu, hanya karena masalah dia memberi uang untuk memutus tanggungjawabku bukan berarti aku harus merusak hubungan kami.

Viktor pernah menceritakan tentang depresinya dulu. Seharusnya aku lebih hati-hati karena dia sudah pernah depresi satu kali. Kalau sampai aku menjadi  penyebab depresinya, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Dia sudah lebih baik sejak bersamaku, apakah aku akan dengan semudah itu membuatnya jatuh ke lubang yang sama lagi?

“Dia sangat mencintai kakak.”

Aku sangat mencintainya. Bisakah aku benar-benar hidup tanpanya, merusak sesuatu yang sudah kami bangun bersama? Mampukah aku menahan rindu padanya, melepaskannya?

TIDAK! Aku tidak mau.

“Bisakah kau menghubunginya dan menyuruhnya kemari?” Dengan suara parau aku menyembunyikan wajahku dilehernya.

“Lepas dulu jadi aku bisa menelponnya.”

“Tidak mau.”

Helaan napasnya tidak membuatku berubah pikiran. Dia akhirnya menghubungi Viktor dengan satu tangannya yang bebas.

“Kak Viktor? Di mana? Bisa ke rumah sakit sekarang? Aku akan menjelaskannya nanti. Hati-hati.”

.
.
.

“Ada apa, George?”

Aku mengeratkan cengkeraman tanganku pada kaus yang dipakai George.

“Sayang, kenapa? Ada yang sakit?”

Saat merasakan usapannya dikepalaku, aku melepaskan pelukanku pada George dan menatap Viktor dengan wajah berurai air mata. “Maafkan aku.”

Tanpa menunggu reaksinya, aku menariknya mendekat sehingga bisa memeluk pinggangnya dengan erat. “Maaf.”

“Sayang, ada apa ini? Mana yang sakit?”

“Biarkan saja kakak menangis, dia hanya butuh itu.”

Walau aku sangat ingin berterima kasih pada George, aku hanya bisa menangis dalam pelukan Viktor. Dia tidak mengatakan apapun, hanya membalas pelukanku dan menciumi puncak kepalaku.

“Maafkan aku, Viktor.”

“Sudahlah, aku tidak ingin mengingatnya lagi.”

“Aku memang bodoh.”

Dia beralih mengusap kepalaku dan berbisik pelan ditelingaku. “Aku mencintaimu, sayang. Dan kau, tidak bodoh.”

“Aku mencintaimu, Viktor. Sorry, for everything.”

“Berhentilah menangis, sayang. Aku yang seharusnya meminta maaf untuk semuanya. Maaf karena sudah melebihi batas, aku tidak akan mengulanginya lagi.” Dia mencium pelipisku dan kembali berbisik. “Terima kasih, karena sudah kembali.”

.
.
.

“Lelah?”

“It’s okay.”

Aku meneguk habis air mineral digelas sebelum bersandar dengan lelah dikepala ranjang. “Kapan aku bisa pulang?”

“Dokter belum mengizinkan, sayang. Bersabarlah sedikit, okay?”

Viktor mulai memijat kakiku setelah dia naik ke ranjang. Dia selalu menemaniku terapi selama seminggu ini, dan setelah terapi yang melelahkan itu, dia semakin rajin memijat kakiku.

“George mana?”

“Ada sedikit urusan di kampus, sebentar lagi mungkin pulang.”

Untung saja aku meminjaminya mobil tadi, jadi dia tidak perlu bolak-balik mencari taksi.

“Naik apa dia?”

“Mobil.”

Aku mengangkat sebelah alisku saat dia menghindari tatapanku. Tentu saja aku bisa membaca pikirannya baru saja, tapi sepertinya dia tidak ingin jujur padaku.

Dia pasti marah kalau tahu George membawa mobil sendiri. Apa yang harus kukatakan? Kuharap George cepat pulang.

“Sayang, siapa yang mengantarnya?”

“Dia, membawanya sendiri.”

“Dia belum memiliki SIM, Viktor. Kalau ada apa-apa di jalan bagaimana?’

Viktor mendongak menatapku dan tersenyum lembut. “Dia sudah mendapatkan SIMnya, sayang. Tidak akan ada apa-apa, tenanglah, dia menyetir dengan baik.”

Aku menghela napas dan memejamkan mataku. Semoga saja memang George menyetir dengan baik, dan tidak akan tersesat lagi. Padahal kukira dia tidak akan berani membawa mobil sendiri, dia sudah dewasa ya.

“Kenapa? Kepalamu pusing?”

Usapannya dipelipisku memaksaku membuka mata. “Tidak, aku baik-baik saja.”

Dia menatapku penuh selidik. “Sungguh?”

“Iya, sayang. Aku hanya tidak bisa menerima kenyataan kalau George memang sudah dewasa.”

Viktor tersenyum lembut sebelum turun dari ranjang dan berpindah duduk dibelakangku. Dia menyandarkan tubuhku pada dada bidangnya dan memeluk perutku dari belakang. “Dia tetap saja adik kecilmu.”

Dia memang masih seperti anak kecil, walau terkadang bersikap seperti dia adalah kakakku.

“Bagaimana George selama setahun ini? Apakah dia makan dengan baik? Dia pernah sakit? Apa dia sudah memiliki kekasih?”

Tangannya mengusap perutku dan dengan nyaman menyandarkan dagunya ke bahuku. “Kau banyak sekali bertanya, sayang. Aku harus menjawab yang mana dulu?”

Aku menyentuh lengannya dan bersandar dengan nyaman. “Ceritakan saja semuanya.”

“Baiklah, tapi informasinya tidak gratis, aku akan meminta bayarannya nanti.”

“Kenapa begitu?”

Aku hanya akan menciummu, sayang. Kau selalu saja menghindar selama ini. “Kalau tidak mau, ya sudah.”

Dengan setengah kesal, aku hanya mengangguk walaupun sudah mengetahui apa yang dia inginkan. Sepertinya aku memang harus belajar mengendalikan kepalaku untuk tidak mendengar banyak hal yang memang tidak seharusnya kudengar.

“Kau sudah tahu kalau dia sempat tinggal di rumah sakit untuk beberapa lama. Setelah dia sembuh, dia masih saja menyalahkan dirinya sendiri dan tidak ingin meninggalkanmu. Aku sudah memaksanya untuk pergi kuliah, tapi dia masih menolak, dan membandingkan tingkahnya denganku.”

“Dia banyak menangis, kau tahu? Sesekali, aku melihatnya mengusapkan tanganmu ke wajah dan kepalanya, bahkan pernah tertidur dengan posisi seperti itu.”

Aku mendengarkan dengan baik, karena George tidak menceritakan hal ini padaku. Dia hanya menceritakan garis besarnya saja tanpa benar-benar menjelaskan keadaan mereka berdua.

“Setelah aku menceramahinya, dia kembali menangis, tapi akhirnya menuruti perintahku. Dia mulai berangkat kuliah dan mengurus cafe. Walaupun setiap hari rutin menemanimu, aku selalu memastikan George makan dengan benar dan membawanya pergi ke gym. Kau lihat kan bagaimana perubahan pada tubuhnya sekarang? Aku juga tidak percaya dia bisa mendapatkan tubuh seperti itu.”

Aku tersenyum kecil saat mengingat tubuh kekarnya yang nyaman untuk dipeluk. Ternyata mereka berdua berolahraga bersama, menggemaskan.

“Aku sebenarnya tidak membantunya dalam urusan cafe, tapi dia melakukannya dengan sangat baik. Kau tahu kalau dia hampir saja membuka cabang ketiga, kan? Aku benar-benar tidak campur tangan, itu murni kerja kerasnya sendiri. Kadang, saat aku merasa dia terlalu dewasa, George tiba-tiba berubah manja dan kekanakan, sampai aku bingung dengan sifat aslinya.”

Aku menimpalinya begitu saja, “Dia selalu seperti itu.”

Suara kekehannya membuatku kembali tersenyum. “Kau benar. Dia juga sering sekali tidak ingin tidur sendiri. Bayangkan saja aku harus tidur sekamar dengannya, aku merasa seperti seorang ayah yang menemani anaknya tidur. Belum lagi kalau dia bersikap manja, aku hanya bisa mengingat kalau ini semua demi kau, karena dia sungguh sangat menyebalkan.”

Aku tertawa dan menghentikan usapannya diperutku, karena dia mulai nakal dengan masuk ke piyama rumah sakitku. “Hentikan tanganmu, nakal sekali.”

“Ayolah,” Suaranya berubah sangat manja. “kita sudah lama sekali tidak bermesraan, aku hanya ingin menyentuhmu.”

“Tanganmu itu tidak bisa berhenti. Lagipula kau belum selesai bercerita.”

Dia menghela napas dan menarik tubuhku ke belakang sehingga kami berdua menjadi setengah berbaring. “Apa lagi? Aku sudah menceritakan semua yang ingin kau tahu.”

Aku menepis beberapa suara dipikiranku dan mengusap punggung tangan Viktor. “Bagaimana denganmu? Apa saja yang kau lakukan selama ini?”

Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku sampai sebuah suara masuk ke dalam pikiranku.

Aku tidak ingin menceritakannya. Kenapa Georgia penasaran?

“Sayang, aku bicara padamu.”

“Aku mendengarnya.” Tapi dia tidak kunjung mengatakan apapun. Aku sungguh tidak ingin menceritakan hari-hari seperti neraka itu, tapi kalau Georgia sampai marah bagaimana?

Aku menghela napas pelan sebelum mengalah. “Ya sudah, tidak perlu bercerita padaku, untuk saat ini. Aku tahu kalau hari-hari itu sungguh berat, kan? Aku tidak ingin kau mengingatnya lagi.”

Rasanya seperti Georgia bisa membaca pikiranku.

Memang, sayang. Hanya kau tidak tahu saja.

“Terima kasih.”

Kami hanya terdiam setelahnya, sampai suara pintu terbuka memecahkan keheningan kami berdua. George masuk dengan diikuti sepasang orangtua dibelakangnya. Setelah mengenali mereka, tubuhku menegang.

“Kenapa kau membawa mereka ke sini?!”

“Sayang, tenanglah.”

Saat Viktor memeluk tubuhku, aku mencengkeram pakaiannya dengan kuat untuk mencurahkan ketakutan dan kepanikanku. Sejak kapan George bertemu mereka? Apa hubungan mereka baik? Kenapa tidak ada yang menjelaskannya padaku?

“Suruh mereka keluar! Aku tidak mau melihat mereka.”

“Sayang.”

“Kakak.”

Aku mengabaikan keadaan sekelilingku dan memeluk Viktor dengan sangat erat, karena aku benar-benar ketakutan.

“Suruh mereka keluar, Viktor.” Mungkin karena mendengar suaraku yang melemah, aku mendengar mereka keluar dan menutup pintu.

“Kakak baik-baik saja?”

Suara George begitu dekat dengan telingaku, membuat tubuhku secara otomatis berbalik dan menatapnya marah.

“Kenapa kau membawa mereka ke sini? Kakak tidak pernah mengizinkan kau melakukannya, George!”

George terpaku mendengar bentakanku, dia berhenti melangkah dan menatapku dengan penuh rasa bersalah.

Aku tidak tahu kalau membawa mama dan papa bisa membuat kakak ketakutan seperti ini.

Mama dan papa? Sejak kapan George memanggil mereka seperti itu?

.

MY ANXIETY ✔ (SUDAH ADA DI EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang