tujuh -- study tour

125 7 2
                                    

Hari hari telah berlalu, namun tetap saja, Clara masih marah padaku. Bahkan, Clara menatapku lebih sinis daripada sebelum-sebelumnya. Tapi sejak aku diberi motivasi oleh Lira, aku semakin ndak peduli sama Clara. Nanti ujung-ujung nya dia juga minta maaf.

Pelajaran pagi ini diawali oleh Bu Riska, guru mata pelajaran sosiologi. Ia masuk ke kelas mengucapkan salam lalu kita juga menjawab salam dari Bu Riska.

"Anak-anak, satu bulan lagi akan diadakan study tour ke candi borobudur, candi prambanan, dan malioboro." ucap Bu Riska,

Kenapa study tour nya deket banget sih? Lagian kalau malioboro aku udah pernah kesana. Aku pikir study tour nya mau ke mana gitu, eh ternyata di kota ku sendiri. Yogyakarta.

"Deket banget, bu!"

"Bu, kenapa ndak ke bali aja toh?!"

"Malioboro? Candi prambanan? Candi borobudur? Duh bu, sudah sering kesana!"

Jelas saja semua anak protes mendengar kabar itu, yang kita tahu, study tour itu harusnya jauh. Ini malah disini-sini aja.

"Ikuti aturan sekolah. Nanti info selengkapnya bisa ditanyakan ke Bu Hana."

"Dalam mata pelajaran sosiologi, ibu mempunyai tugas kelompok. Yang didalamnya beranggotakan 2 kelompok."

"Bu, cari sendiri ya?"

"Bu! Saya sama Farrel dong!"

"Bu saya sudah dapet! Saya ndak mau dirubah kelompoknya!"

Bu Riska memukul meja menggunakan penghapus papan, "Sstt! Ibu yang bagi kelompoknya!"

Semua anak tampaknya kecewa. Ada yang berharap satu kelompok bersama Farrel, ada yang tertunduk lesu, dan sebagainya.

"Kirana dengan Adi. Viola dengan Joey. Lira dengan Roy. Gita dengan Valen. Clara dengan Evan........" Bu Riska terus melanjutkan nama kelompok yang akan di bagi sampai terakhir. Namun, hingga sampai terakhir, namaku belum dipanggil. Apakah aku harus gabung dengan kelompok yang lain?

"Ada yang belum dipanggil?" tanya Bu Riska,

Aku dan Farrel mengacungkan tangan lalu berucap "Saya, bu!" berbarengan. Astaga, apa ini tanda aku harus satu kelompok lagi sama Farrel?

"Oh yasudah. Kalian satu kelompok." ucapan Bu Riska tersebut membuatku kaget. Lagi lagi dengan Farrel. Bosan. Tentunya saat Bu Riska berucap seperti itu, Clara membalikkan badan lalu menatapku sinis. Seperti ndak suka.

Kemudian, pelajaran sosiologi kembali dilanjutkan. Aku tetap heran, sebenarnya Pak Bondan dan Bu Riska ini sengaja memasukkan aku satu tim dengan Farrel atau bagaimana?

Aku melihat ke arah Farrel, dengan santainya dia seperti tidak berfikir apa apa. Apa Farrel ndak mikir gimana nasib Clara nanti? Duh.

***

Bel pulang telah berbunyi, saat nya aku pulang. Hari ini aku jalan kaki, karena ibu masih arisan. Oh iya, bapak ku sudah pulang dari 3 hari kemarin. Tapi sama saja, bapak belum bisa jemput karena ada rapat dengan warga RT sekitar. Masa iya aku dijemput adik ku?

Sebenarnya jarak rumah dengan sekolah dekat, hanya sekitar 700m saja. Jadi, aku bisa jalan. Tiba-tiba, di tengah jalan, ada mobil yang sengaja menciprati aku dengan air yang tergenang di jalan. Tadi sempat hujan sebentar.

"Aduh!" ucapku kaget sambil berusaha membersihkan noda tersebut, "Duh mobil siapa toh? Ndak sopan banget! Mobilnya juga ngebut banget. Dasar. u
Untung udah mau sampe."

Setibanya di rumah, ternyata ada adik ku, namanya Raskha. Dia perempuan ya. Adik ku ini sedang kelas 10 SMA. Tapi sayangnya, dia ndak satu sekolah sama aku.

"Mbak, kok bajunya kotor?"

"Iya, ndak tau ini tadi ada yang nyipratin aku air yang lagi nggenang dijalan."

"Oalah mbak, yaudah mandi aja."

Aku mengangguk dan segera masuk kedalam kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku duduk di ruang keluarga bersama Raskha.

"Kamu ndak mandi, Ras?"

"Mbak ini kok ngeledek aku! Aku udah mandi dari tadi."

"Dari tadi apa dari kemarin? Kok masih bau?"

Raskha langsung menggelitiki pinggangku.

"Eh, hop hop." ucapku. Yang dalam artian 'Eh, sudah berhenti.'

"Mbak, aku mau nanya!"

"Nanya apa? Ndak boleh yang aneh aneh."

Raskha berdecak, "Ndak mbak." "Cuma mau nanya, mbak sudah punya pacar?"

Aku kaget mendengarnya, "Apa sih pertanyaanmu. Bocah umur 16 tahun mana ngerti pacar-pacaran?"

"Duh mbak, aku cuma tanya gitu aja kok salah."

"Aku belum punya. Jangan jangan... kamu udah punya ya?" Aku menggelitiki pinggang Raskha sampai dia marah.

"Apa sih mbak. Aku itu nanya ke mbak, kok malah aku yang ditanyain balik."

Aku tertawa kecil, "Aku ndak punya pacar."

"Bohong! Kemarin pas hari rabu aku diceritain ibu, kamu pulang sama anak laki laki gitu. Trus besoknya, kamu dijemput sama anak laki laki. Apa itu bukan pacarmu?" Duh Raskha kalo nanya ngalah-ngalahin wartawan.

"Hah? Bukan! Itu temen sekelasku, dia anak baru pindahan dari Jakarta. Rumahnya di blok F. Jadi pas itu kebetulan aja dia mau jemput aku karena rumahnya deket."

"Oh.... mbak, kalo punya pacar cerita ke aku ya!"

Aku berdiri dan mengusap rambutku yang masih basah dengan handuk dan segera masuk ke kamar, "Apa sih? Ya seharusnya kamu tuh, kalo udah punya pacar cerita ke mbak. Ndak usah dipendem sendiri!" Aku menutup pintu kamarku, dan masih mendengar Raskha teriak,

"MBAK AKU NDAK PUNYA PACARRR"

Aku balas lagi dari dalam kamar,
"KAN KALO PUNYA RASKHA! UDAH AH TIDUR SANA. MBAK MAU TIDUR. CAPEK." Wajar saja aku ngomongnya nge-gas. Karena aku teriak dari dalam kamar.

YogyakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang