11. Perhatian

6.8K 635 32
                                    

Gadis itu menggerutu, lalu duduk di depan gedung rektorat. Sudah hampir sehari ia berada di kampus, menunggu dosen pembimbing untuk menanyakan kelayakan judul skripsi yang akan disusun, tapi sampai menjelang pukul empat sore dosen itu belum juga menampakkan diri.

Sebenarnya hal itu tidak sepenuhnya buruk, andai dosen itu langsung memberi tahu ketidakhadirannya di kampus sejak awal saat Raine menanyakan hal tersebut melalui pesan. Namun,

Satu jam

Dua jam

Tiga jam

Empat jam

.
.
.

Dan sekarang sudah hampir setengah lima pembimbingnya baru mengabari ulang kalau ia ada kepentingan mendadak.

Tarik napas, hembuskan. Raine mengambil buku tipis di tas, mulai mengipasi dirinya sendiri.

"Ck, perasaan gue jadi cewek di-PHP-in mulu sama cowok," celotehnya, mengingat dosen pembimbingnya itu laki-laki.

Kesal, tentu saja. Meski Raine orang yang tergolong ceria dan lebih sering menghadapi masalah apapun dengan senyum. Namun, adakalanya sebagai manusia biasa yang bernapas, ia juga merasakan kekesalan yang nyaris merampas akal sehat. Jika sudah seperti ini hanya satu yang dapat menolong, pergi ke warung mie mercon langganannya, dan memesan mie level 10.

Makan pedas memang dapat menetralkan pikiran. Tidak perlu melakukan hal buruk, ia hanya perlu makan sampai bibirnya jontor, dan moodnya akan kembali normal. Sesimpel itu.

"Moga aja masih buka," putusnya lalu beranjak.

Warung mie tersebut memang tidak berjarak jauh dari kampus. Mungkin hanya butuh waktu sepuluh menit lebih jika ditempuh dengan jalan kaki. Lagipula, sebagai mahasiswi yang hanya mengandalkan uang kiriman, ia harus pandai mengatur pengeluaran.

Huft, Raine duduk di bahu jalan seperti pengemis, mengatur napasnya yang putus-putus. Sudah capek-capek jalan ditambah perut keroncongan ternyata tulisan pertama yang ia baca di warung tersebut,

SUDAH HABIS.

warung mie pedas itu memang sangat laris, sehingga pukul empat biasannya sudah tutup. Sekarang bagaimana ia bisa menuntaskan kekesalan. Ditambah sekarang moodnya malah makin buruk.

****

Sambil menenteng sekantong plastik berisi sayur dan ikan mas mentah yang baru ia beli di swalayan tadi, Gatra menatap pintu kamar Raine.

Sebenarnya saat di swalayan ia hanya berniat membeli beberapa peralatan mandi, tapi ketika melihat rak sayur, ia jadi teringat Raine, dan ingin gadis itu memasakan bahan-bahan ini. Terdengar gila memang. Namun, entah mengapa ia merindukan rasa masakan gadis itu.

Gatra agak ragu, apakah Raine ada di kamarnya. Terakhir ia bertemu gadis itu kemarin sore di lobby. Namun, ada yang sedikit aneh. Tidak seperti biasanya, saat berpaprasan Raine tidak menunjukkan rampang ramah. Bahkan, terkesan cuek, pun tersenyum atau  menyapa.

Gatra jadi penasaran, kesalahan apa yang mungkin diperbuat hingga membuat gadis cerewet itu berubah. Namun, apapun itu Gatra tidak mau ambil pusing. Dan untuk sekarang ia berharap Raine sudah kembali normal.

Entah normal yang versi bagaimana, Gatra sendiri juga bingung. Ah, sudahlah, lalaki itu berdecak, lalu mengetuk pintu. Ia menggerutu saat entah ketukan yang keberapa, pintu itu belum juga dibuka.

Apa tidak orang di dalam? pikir Gatra. Sudah sejak pagi ia tidak melihat gadis itu. Biasanya pagi-pagi sudah muncul dengan kata-kata tidak penting andalannya.

Menggunakan sebelah tangannya yang bebas, Gatra merogoh celana, mengambil ponsel. Tersambung, tapi tidak diangkat. Lagi, tidak ada jawaban. Tak menyerah, kembali mencoba, pada dering ke-empat terdengar suara lirih gadis itu diujung sana.

Hey Pak Dokter, Ayo Menikah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang