Raine berjalan ke balkon seraya meregangkan tangan, menghampiri sinar matahari yang mulai mencuat sedikit demi sedikit. Ketika menoleh ke samping, ia kaget melihat Gatra yang juga berada di balkon sedang menjemur pakaian. Sepersekian detik mereka bertatap, sebelum Gatra membuang muka kembali menekuri altivitas paginya.
Lelaki itu memang rajin, lebih memilih mencuci pakaian sendiri dibanding mempercayakan pada jasa laundry. Pernah Raine menawarkan untuk membantu menyetrika, tetapi Gatra menolak. Hanya masakan, satu hal yang tidak pernah Gatra tolak dari dirinya. Dan ia cukup bersyukur untuk itu.
Biasanya ketika bersamaan berada di balkon seperti ini, Raine akan menyapa memberikan senyuman termanisnya. Namun, kali ini ia hanya ngengir sekilas, lalu berlari masuk ke dalam. Kejadian semalam masih membuatnya malu untuk bertatap muka lama dengan Gatra.
Terlebih sebenarnya tidak bermaksud mamakai pakaian mini seperti itu, jika bukan karena perkataan konyol Gavin. Ah, rasanya ia ingin membuat perhitungan dengan lelaki tengil satu itu.
Raine mencari ponsel, membuka aplikasi pesan. Biasanya pagi seperti ini ia sudah mengucapkan selamat pagi pada Gatra. Namun, kembali tidak ia lakukan. Entah bagaimana anggapan Gatra tentang kelakuannya semalam. Barangkali lelaki itu benar-benar menganggapnya murahan.
***
Tok tok tok.
"Ais, siapa sih?" Raine mengacak rambut, lalu meletakkan laptop yang dipangkunya. "Eh, tunggu dulu, jangan-jangan Pak Gatra."
Gadis itu berlari kecil, dan ketika membuka pintu, Raine mendesah kecewa melihat Gavin yang berdiri di hadapannya. "Apa? Gue lagi sibuk," ucapnya, kemudian berlalu duduk di sofa, Gavin mengikuti.
"Lo kenapa blokir nomor gue?"
Raine mengangkat kepala, menatap Gavin. "Karena lagi-lagi gue kesel parah sama lo. Gara-gara omongan lo waktu itu, gue sama Pak Gatra kembali salah paham."
"Maksud lo?"
"Yang lo bilang pak Gatra gay!" serunya. "Gila lo, gue udah membuktikan dan lo tau? Dia itu straight. Lo denger, straight! "
"Lo udah membuktikan? maksudnya lo sama om Gatra udah?"
"Enggak, buang pikiran jorok itu dari otak lo!" seru Rain seraya melempar bantal sofa ke Gavin. Namun, tiba-tiba ia menutup muka, mulai terisak.
Akhir-akhir ini banyak sekali persoalan yang harus ia pikirkan. Penyusunan proposal yang harus segera diajukan. Sikap cuek Gatra yang tidak pernah berubah, membuatnya jadi tidak fokus mengerjakan. Terhitung sudah dua hari ini mereka kembali renggang. Lelaki cuek memang susah dimengerti, sulit dipahami, Raine lama-lama tidak tahan.
Haruskah ia menyerah? Secepat ini? Tangis Raine semakin keras. Gavin yang melihat itu kalang kabut, beranjak duduk di sebelah Raine, lalu merengkuh tubuhnya. Memberikan tumpuan untuk gadis itu mencurahkan perasaan.
"Gue capek, Vin, capek!" rancaunya.
Gavin meniupi ubun-ubun Raine, karena hal itu kadang ampuh membuat Raine tenang. Setelah tangis Raine cukup reda, Gavin menyuruhnya menarik napas panjang-panjang, lalu menanyakan kembali masalahnya.
"Gue capek jatuh cinta sendirian, gue capek berjuang sendirian. Gue Cepek ..., huhuhu!"
Gavin meregangkan rengkuhan, menupukan kedua tangan di pundak Raine. "Raine lihat mata gue, lihat."
"Rain!"
Tidak Raine lakukan, ia terus terisak, hingga membuat Gavin tidak sabar, lalu mengguncang tubuh Raine. "Stop, Rain!" bentaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey Pak Dokter, Ayo Menikah!
RomanceA romace comedy Sebelumnya Raine tidak pernah begitu semangat dalam menjalani hidup. Kira-kira seminggu yang lalu ketika apartemen sebelah yang semula ditinggali sepasang suami-istri, kini berganti penghuni jadi seorang dokter yang membuat bola mata...