14. Menunggu

7.1K 691 58
                                    

Anita menatap sendu gadis kecilnya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Sudah sejak semalam Aima rawat inap. Setelah serangkaian pengobatan yang ia usahakan, hari ini ia mantap mengikuti saran Gatra untuk melakukan kateter ablasi demi kesembuhan Aima.

Janda satu anak itu tahu untuk melakukan prosedur tersebut tidaklah murah. Ia bahkan rela menjual mobil untuk menambah dana di tabungannya. Dan masih lumayan beruntung, kerena mantan suaminya mau membantu seperempat biaya. Anita mengela napas, demi melihat senyum manis itu terbit di wajah putrinya, ia rela melakukan apa saja.

"Gimana, Cantik? Kamu udah siap?" Suara bariton itu membuat mereka menoleh. Ternyata Dokter Gatra. Anita tersenyum sambil menundukkan kepala.

"Siap dong, kata Mama kalau mau sembuh harus semangat!"

Gatra tersenyum, dibanding pasiennya yang lain, bocah ceria itu memang yang paling dekat dengannya. Tiba-tiba ia jadi teringat seseorang yang selalu semangat dalam hidup, siapa lagi kalau bukan Raine. Gatra memejamkan mata sebentar, di saat seperti ini kenapa ia malah terpikir gadis absurd itu.

"Bagus!" Gatra mengacungkan kedua jempolnya.

Anita menatapnya dalam, Gatra mengangguk, berusaha meyakinkan wanita itu. Anita pun mengangguk, seperti yang dikatakan Gatra tempo hari, setiap prosedur medis pasti ada resikonya, tetapi jika peluang keberhasilan lebih tinggi, tidak ada salahnya dicoba. Lagipula Anita sudah tidak tega, melihat gadis kecilnya harus mengkonsumsi obat-obatan setiap hari.

"Dek, kamu beneran udah puasa kan semalem? Yakin nggak minum apa-apa?" tanya Gatra lembut.

"Enggak, Dok. Walau Aima haus banget, tapi nggak dibolehin sama Mama."

Gatra kembali mengacungkan jempol, lalu menyuruh para perawat yang datang bersamannya memindahkan Aima ke ranjang beroda yang mereka bawa.

"Tenang saja, Mbak. Insya Allah, kami akan berusaha semaksimal mungkin. Yang terpenting tetap bantu dengan doa," ujar Gatra seraya mengusap pelan lengan Anita. Wanita itu tersentak pelan, seperti ada aliran listrik saat mendapat kontak fisik dari Gatra. Namun, ia segera mengagguk untuk menutupi kegugupan yang ia sendiri tidak mengerti disebabkan oleh apa.

Setelah itu mereka pun bersama membawa Aima ke ruang yang akan digunakan untuk melakukan salah satu tehnik katalisasi jantung tersebut.

"Kamu nggak takut kan, Dek?" tanya Gatra pada Aima.

"Nggak dong, kata mama ini kan buat kesembuhan Aima. Lagipula Aima juga ditemani dokter ganteng, jadi gak takut sama sekali," jawab Aima polos.

Gatra terkekeh, mengusap pelan rambut anak itu. Masih kecil tapi sudah pandai menggombal. Jangan-jangan ketika dewasa Aima sebelas dua belas dengan Raine. Eh, kok Raine lagi? Gatra memutar bola mata, tapi segera tersenyum kembali ketika Aima menatapnya.

"Saya percaya sama Dokter," ujar Anita, menahan matanya yang memerah.

Gatra mengangguk. "InsyaAllah, sekuat tenaga saya akan menjaga kepercayaan Mbak Anita."

Anita manahan napas ketika Aima berserta perawat dan Gatra hilang di balik pintu. Wanita itu memejamkan mata, mulai memanjatkan doa.

*****

Rasa penat menyelimuti Gatra. Semalaman ia menginap di rumah sakit. Sebenarnya ada tenaga medis yang berjaga, tapi entah kenapa ia ingin mengontrol langsung keadaan Aima. Beruntung pemasangan threading catheter atau kabel fleksibel panjang di pembuluh darahnya, berkembang lumayan baik dan pagi tadi anak itu sudah diizinkan pulang.

Gatra merasa sangat lega. Ia tidak bisa membayangkan jika sampai upaya itu tidak berhasil. Lelaki itu menggelengkan kepala, mengusir pikiran buruk dalam otaknya. Ia mendorong pintu, langsung menuju kamar dan berbaring di ranjang. Kasur adalah satu hal yang paling ia rindukan selain,

Hey Pak Dokter, Ayo Menikah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang