18. Salah Paham

7.7K 644 46
                                    

Tok tok tok!

Gavin terus mengetuk pintu rumah Della. Ia sudah tidak tahan untuk meminta penjelasan. Apa benar Della bertanggungjawab atas hilangnya Raine. Belum ada sahutan, kali ini ia mengetuk lebih keras, masa bodo dengan kesopanan, Gavin sudah mengesampingkan itu. Sementara Gatra berdiri bersidekap di belakang Gavin, pikirannya juga gusar, tetapi ia mencoba tenang.

Ceklek. Della yang hanya memakai celana super pendek yang bahkan hampir tenggelam dengan kaus rumahannya, membuka pintu. Ia tersenyum sumringah, hampir memeluk Gavin, tetapi tidak berhasil karena Gavin langsung menghindar.

"Mana Rain?" tanya Gavin tanpa basa-basi. Della menyuruhnya masuk dulu, tetapi Gavin tidak bergerak, ia mengulang pertanyaan. "Mana Rain?"

Della mengerucutkan bibir. "Jadi kalian berdua datang ke sini, cuma mau cari Rain?" Ia menguap. "Mana aku tahu!" Hampir menutup pintu jika Gavin tidak segera mencegah.

"Lo gak usah sok bodoh ya, Del! Gue tau lo pasti bareng Rain kan tadi! Lo apain dia, haaa?!"

"Gav, jangan keras-keras ngomongnya,aku takut," ujar Della memelas.

"Vin-Vin," Gatra yang sedari tadi terdiam, akhirnya bersuara. Ia menyentuh bahu Gavin, lalu maju berusaha menengahi, bagaimanapun tingkah Gavin bisa memancing banyak orang datang.

"Sekarang kamu tinggal jawab di mana Rain, lalu selesai. Atau kamu mau masalah ini berlanjut ke jalur hukum?" tanya Gatra tenang, tetapi dengan sorot mata yang begitu tajam.

"Jawab!" seru Gavin.

Della tersentak, ia lekas berkata, "I-iya aku tadi emang bareng Raine, tapi dia udah pulang, kok."

"Bener?"

"I-iya Om beneran, aku gak bohong. Cek aja di tempat tinggalnya."

"Bener?"

"Iya, Vin, iya. Raine udah pulang."

"Awas lo bohong!" Gavin membalik badan, menuju mobil Gatra, kendaraan yang mereka bawa, sementara mobilnya sendiri ia tinggal di parkiran.

Sampai di aparterment, mereka segera menuju unit kamar Raine. Gavin berlari lalu mengetuk pintu, rasa khawatirnya sudah di ubun-ubun. Begitu pintu terbuka, Gavin langsung mendekap Raine. "Gue pikir lo kenapa-napa! Gue panik banget!"

Menyadari Gatra berdiri hanya menatap saja, Raine segera mendorong Gavin. "Apa-apaan sih lo, Vin," bentaknya.

Gavin terkejut, tetapi ia lebih terkejut melihat pipi Raine yang memerah dan sedikit biru. Ia lekas memegang pipi itu, tetapi Raine segera menerpisnya kasar. "Nggak usah sok peduli sama gue!"

Gavin semakin tercengang. Belum pernah Raine berlaku begitu ketus padanya. Seperti bukan Raine. Apa yang telah Della lakukan pada gadis ini?

"Rain, apa yang Della lakuin sama lo?"

"Bukan urusan lo!"

"Lo kenapa? Lo marah sama gue?"

"Iya, gue marah sama lo, marah banget, sekarang lo pergi?" Raine mendorong Gavin kasar, lalu memejamkan mata. Pengakuan Della tadi sungguh membuatnya terkejut dan ingin merebus Gavin hidup-hidup.

Gavin menatapnya sendu. Raine menggeleng, ia tidak boleh terkecoh dengan mimik itu. Gavin berengsek, ia kembali mendorong lelaki itu, lalu mengapit posesif lengan Gatra yang sedari tadi hanya memperhatikan mereka.

"Pergi! Gue gak butuh lo, gue cuma butuh pacar gue!" seru Raine, menahan cairan bening di pelupuk mata, lalu menarik Gatra masuk dan menutup pintu.

Gavin menatap pintu itu lemas, lalu berbalik pergi. Sementara itu, Gatra masih terdiam berusaha mencerna semua ini. Ia hanya memberi bahunya ketika Raine terisak di sana. Tangannya bergerak mengelus rambut Raine. Baru dua kali ia melihat Raine menangis, yang pertama karena hantu jadi-jadian, dan yang kedua benar-benar menangis, dan itu disebabkan oleh lelaki lain. Entah kenapa Gatra merasakan ada yang tidak wajar dengan dirinya.

Hey Pak Dokter, Ayo Menikah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang